Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network

Opini

Muktamar dan Bukti Kebesaran Nahdlatul Ulama

Pembukaan Muktamar Ke-34 NU di Lampung oleh Presiden dan Wapres RI. (Foto: NOJ/MKa)

Sejak 22-23 Desember 2021, Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai acara besar dan hajat agung yakni Muktamar ke-34. Karena dilaksanakan oleh organisasi dengan jumlah warga demikian besar dan diisi orang-orang berpengaruh, tentu saja harapannya menghasilkan kemaslahatan agung bagi jamaah NU dan seluruh umat manusia pada umumnya. Gambaran kebesaran acara muktamar dapat dilihat dari mulai penetapan tempat, waktu pelaksanaan, materi aneka sidang, jumlah peserta, juga perhatian out sider (para pemerhati) NU  yang demikian luar biasa.
 

Di media online atau elektronik beberapa bulan terakhir, diskusi tentang Muktamar NU sudah bisa dirasakan, mendominasi berita yang ada di Tanah Air. Beragam opini dapat dibaca dengan ragam tema, mulai tentang kepesantrenan, kemandirian NU, pemberdayaan umat, pengelolaan pendidikan tinggi, perekonomian, kepemimpinan, hubungan luar negeri, moderasi beragama, Ahlusunnah wal Jama’ah (Aswaja), kajian fiqih ketatanegaraan, disabilitas, kontemporer, politik dan sebagainya. Ilustrasinya, sekarang umat Islam nampaknya memberi perhatian kepada NU, apalagi kali ini dilaksanakan di tengah pandemi. Semua harus taat protokol kesehatan, yang berbeda dengan kondisi normal. Dengan demikian muktamar adalah perhelatan terbesar, tempat berkumpulnya ulama NU seluruh dunia.  
 

Gambaran umum itu membuktikan bahwa NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Dengan demikian estimasi mayoritas penduduk muslim Indonesia adalah warga NU. Kebesaran ini akhirnya menjadikannya sebagai institusi ulama yang menjadi perhatian semua orang. Disebut institusi ulama karena pengurusnya mulai anak tingkat dusun, desa, kecamatan, kabupaten maupun kota, provinsi, hingga pusat di Jakarta. Artinya, ulama adalah kaum intelektual muslim yang paham agama (tafaquh fiddin) dan sisi keagamaan di masyarakat (relegiousitasity). Dari sisi kepengurusan ini sudah menggambarkan bahwa NU adalah institusi ulama.    
 

Bila diibaratkan, NU adalah organisasi yang seksi, menarik, syarat dengan potensi, baik dari sisi kuantitas jamaah maupun soliditas jamiyah. Akhirnya begitu banyak orang menghendaki mencari berkah dari NU. Mulai dari kaderisasi ulama di pesantren yang mempunyai adalah NU, orang kampung yang minta bantuan kirim doa untuk keluarga, datangnya ke NU. Demikian pula kepala desa atau pejabat yang menghendaki menjadi kepala daerah saat minta restu, termasuk calon anggota legislatif mau mencalonkan diri. Pun juga pemerintah dan kementerian dalam menjalankan program, sejumlah NGO (Non-Governmental Organization ) dalam melakukan pemberdayaan masyarakat juga demikian. Termasuk aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam melakukan advokasi kerap menggandeng NU, pebisnis dalam mengembangkan usahanya juga bersama NU. Tidak sedikit non-muslim dalam melakukan sharing kegiatan juga demikian. 
 

Bila ada masalah, petani mengadukan nasibnya kepada siapa? Aparat TNI dan Polri dalam menjalankan program pertahanan dan keamanan juga demkikian. Akhirnya NU seolah sebagai tempat mengadu elemen masyarakat. Nyaris tidak ada sekat suku, ras, agama atau pun kepercayaan, sehingga semua menaruh kepercayaan yang besar kepada jamiyah kebangkitan ulama ini.
 

Dengan dialektika problematika masyarakat itulah, dalam muktamar kali ini semua mempunyai ekpektasi terhadap pemimpin NU, yang dapat menjadi katalisator bagi persoalan yang sedang dialami masyarakat ataupun yang akan terjadi. Sehingga warga NU sekarang berandai-andai dan berharap terhadap sosok pemimpinnya yang akan datang. Karena organisasi sosial keagamaan ini adalah tempat berkumpulnya para kiai dan pasti nanti pemimpinnya adalah seorang kiai. Sebagaimana sekarang pemimpin NU di berbagai levelnya, semua diisi kiai di komunitasnya masing-masing, baik dalam struktur mustasyar, syuriyah ataupun tanfidziyah.  
 

Hal ini rasionalisainya sama dengan struktur yang ada dalam pondok pesantren bahwa pemimpin tertingginya adalah seorang kiai dan pelaksananya yakni pengurus atau asatidz pesantren. Karena dalam dunia pesantren, kepemimpinan kiai adalah sebuah keharusan, berhubungan dengan aspek historisitas keilmuan santri pesantren yang selalu berpegang teguh terhadap ketersambungan sanad sampai kepada Rasulullah SAW. Untuk NU, figur kiai juga sesuatu yang harus dipenuhi, agar supaya elan vital keulamaan tidak tercerabut, apalagi pemimpin pada struktur tertinggi yakni Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
 

Mungkin di internal NU, sebutan kiai adalah representasi ulama itu sendiri, yakni yang menguasai kitab kuning, mempunyai naluri perjuangan ala pesantren, serta memiliki sikap moderat dan fleksibel, atau dalam bahasa kajian sekarang consent dan komitmen moderasi beragama. Hal ini mengingat pluralitas masyarakat Indonesia dan dunia sebagai obyek dakwah NU. Ini adalah karakteristik kiai pesantren yang selama ini nguri-nguri NU. 
 

Organisasi yang berusia hampir 100 tahun ini, sudah melaksanakan muktamar ke 34. Demikian juga sukses dalam pelaksanaan. Termasuk materi diskusi, sampai teknis pelaksanaan. Muktamar merupakan rutinitas sebagai forum curhat umat NU seluruh dunia, dalam menjalankan program organisasi. Kalau ada catatan dalam pelaksanaannya akan dilakukan penyempurnaan, penyesuaian, perbaikan, ataupun penguatan dari program yang sudah berjalan. Misalnya dari masalah pendidikan, baik formal maupun non formal. Kalaupun sudah berjalan dengan baik, tinggal meningkatkan kualitasnya. 
 

Akhir-akhir ini program yang digerakkan adalah tentang perguruan tinggi NU yang sudah banyak berdiri di berbagai kota dan kabupaten. Tinggal memperbanyak dan mengelola sesuai kaidah pendidikan tinggi. 
 

Dari sisi ekonomi, sudah banyak gerakan di daerah yang menghidupkan Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU), juga semakin kuatnya posisi pondok pesantren di bawah Rabithah Maahid al-Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) di tengah masyarakat. Pun lembaga bahtsul masail yang sampai sekarang masih menjadi rujukan hukum Islam dan program lainnya. Semua perlu untuk ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Termasuk dalam masalah perundangan, NU juga terlihat demikian aktif dengan terlibat dalam diskusi dan memberikan masukan berarti bagi lahirnya aturan yang berpihak kepada kalangan bawah. Hal itu diperjuangkan secara nyata bagi lahirnya konstitusi dan perundang-undangan baru. 
 

Muktamar adalah forum evaluasi, penguatan dan perbaikan program. Untuk program yang belum maksimal dalam pelaksanaannya akan dijalankan pada waktu yang akan datang. Misalnya pekerjaan rumah yang dihadapi di semua level adalah digitalisasi dalam berbagai bidang. Karena semua kegiatan kehidupan sekarang sudah tergantung kepada fasilitas teknologi dan informasi. Taruhlah dalam pelaksanaan organisasi semua berbasis digital, mulai dari pengelolaan data asset, anggota, pengurus, program dan lain-lain. Kalau ini dapat diwujudkan dalam periode yang akan datang, maka kemaslahatan NU menjadi rahmatan lil alamin akan semakin dekat dengan kenyataan. 
 

Juga dalam wilayah hubungan politik, sejak adanya konsensus khittah 1926 yang menyatakan bahwa NU bukan partai politik dan memberikan kebebasan kepada warga NU untuk berafiliasi dalam partai politik manapun, tentunya menjadi interpretable di wilayah praktiknya. Diyakini banyak kader yang aktif dalam partai politik, yang semuanya harus dapat menjadi wasilah bagi umat menyalurkan aspirasi, dalam bidang kepesantrenan, pendidikan, ekonomi, pertanian, kesehatan dan sebagainya. Kalau potensi politik warga ini dapat dimaksimalkan, baik politik praktis maupun politik kebangsaan, maka NU akan lebih besar perannya dalam dakwah. Artinya kader-kader akan berlomba melakukan dakwah sesuai kapasitasnya, baik dalam wilayah politik praktis atau politik kebangsaan, baik dalam wilayah non-gevermen atau masuk dalam program pemerintah.Dengan demikian kehidupan berbangsa dan bernegara di Nusantara akan selalu diwarnai misi Ahlusunnah wal Jama’ah yang moderat, ramah, santun dan berbasis nilai-nilai keadilan.
 

Akhirnya, selamat dan sukses atas terselenggaranya Muktamar NU, semoga menghasilkan konsensus Nahdliyin dalam melaksanakan program yang lebih baik. 
 

Waallahu a’lam bisshawab.  
 

KH Asmawi Mahfudz adalah pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamal, dan Fungsionaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Blitar.              
 

KH Asmawi Mahfudz
Editor: Syaifullah

Artikel Terkait