Opini

Sekolah di Tengah Pandemi  ‘Urusan Anak Jangan Coba-coba’ 

Selasa, 4 Agustus 2020 | 16:37 WIB

Sekolah di Tengah Pandemi  ‘Urusan Anak Jangan Coba-coba’ 

Kegiatan sekolah dengan memperhatikan protokol kesehatan. (Foto: NOJ/Cnn)

Oleh:  Dr Dwi Astutiek SAg MSi


Juli adalah bulan awal masuk sekolah yang mendebarkan. Biasanya debaran ini dirasakan oleh anak-anak yang akan masuk sekolah karena bakal bertemu teman barunya. Berdebar karena naik satu level kelas, pakai buku, tas, sepatu dan baju baru. Tapi kali ini beda, yang berdebar-debar ganti para orang tua / wali murid karena karena was-was alias khawatir anak-anaknya akan masuk sekolah di tengah pandemi.   

 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Para orang tua / wali murid menunggu pengumuman dari sekolah. Sekolah menunggu instruksi kepala dinas pendidikan provinsi dan kabupaten / kota masing-masing. Semuanya terkait pola pembelajaran tahun ajaran  2020/2021 tetap Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau tatap muka? 

 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Sementara pandemi Covid-19 di Indonesia sudah 4 bulan berjalan semenjak 2 Maret 2020 kasus pertama diumumkan. Begitu dahsyat daya rusaknya, pandemi telah mengubah tatanan kehidupan. Multiplier effect pandemi termasuk pada dunia pendidikan mengalami disrupsi. Fenomena yang ada terjadi pergeseran aktivitas pembelajaran di sekolah. Pembelajaran awalnya dilakukan dengan tatap muka, beralih ke dunia maya yakni menggunakan digital dengan pola PJJ.

 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Setelah dilakukan proses PJJ baik dengan daring (online) maupun luring (offline) terdapat kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihan pembelajaran jarak jauh menurut Rusman (2011:351), pertama, peserta didik dapat belajar atau me-review bahan pelajaran setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan. 

 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Kedua, bila peserta didik memerlukan tambahan informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, dapat mengakses di internet secara mudah. Ketiga, baik pendidik maupun peserta didik dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak. 
Keempat, peserta didik dapat benar-benar menjadi titik pusat kegiatan pembelajaran karena senantiasa mengacu kepada pembelajaran mandiri. 

 

Adapun kekurangan PJJ adalah, pertama, kurangnya interaksi antara pendidik dan peserta didik atau bahkan antarsesama peserta didik itu sendiri. Kedua, gangguan jaringan atau sinyal internet dan keterbatasan kuota dapat menghambat kegiatan pembelajaran. Ketiga, peserta didik yang kurang memiliki motivasi yang tinggi cenderung gagal. Empat, selain itu Belajar Dari Rumah (BDR) dengan PJJ dalam tempo yang cukup lama / berbulan-bulan ternyata mengalami kebosanan (boring). Akhirnya anak ingin bertemu teman dan guru secara fisik atau belajar dengan tatap muka tentunya dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Mengingat tahun ajaran 2020/2021 kurang beberapa hari lagi, maka perlu mengacu Surat Keputusan Bersama 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021 di masa pandemi Covid-19. Satuan pendidikan yang berada di daerah zona hijau dapat melakukan tatap muka dengan seizin pemerintah daerah. Adapun daerah yang dalam kondisi zona kuning, orange dan merah dilarang melakukan pembelajaran dengan tatap muka disatuan pendidikan dan tetap melanjutkan BDR. 

 

Keputusan bersama 4 menteri ini dilakukan dengan tahapan strategi yang telah ditentukan dan persyaratan yang harus dipenuhi. Pola pembelajaran tatap muka harus memenuhi persyaratan protokol kesehatan. Terdapat 9 item yang perlu disiapkan di setiap sekolah di antaranya: termogun, hand sanitizer, kran cuci tangan dengan air mengalir dan sabun.

 

Juga masker cadangan, toilet bersih, disinfektan dan alat penyemprot, UKS lengkap, ruang belajar yang memenuhi jarak fisik 1,5m yang non SLB dan PAUD, mampu mengakses fasilitas layanan kesehatan (Puskesmas, klinik, rumah sakit atau lainnya). 

 

Pertanyaannya, mampukah setiap sekolah memenuhi 9 item standar protokol kesehatan tersebut? Selain infrastruktur kesehatan harus dipenuhi, tata kelola baru pembelajaran juga harus diplanning dengan tepat. Pengaturan jumlah siswa dalam kelas, lama sekolah, perlu sift/rolling atau paralel yang semuanya disesuaikan dengan jumlah ruang kelas dan jumlah guru yang dimiliki tiap lembaga. Sudah siapkah?

 

Mengatasi pandemi Covid-19 tidak cukup hanya urusan materiil di luar manusia yang harus disiapkan, akan tetapi urusan personal manusia kaitannya dengan kesiapan jiwa dan skill baik orang tua maupun guru harus tuntas atas dirinya. Maksudnya, tidak ada masalah di dalam dirinya karena harus segera membantu anak-anak dan siswanya. 

 

Berdasarkan tiga tahapan yang dialami manusia pada masa adaptasi menghadapi pandemi Covid-19 yakni dengan tanda-tanda awal mengalami punic buying, ketegangan, marah dan akhirnya berefek pada belanja berlebih hingga menimbun barang. 

 

Yang kedua; ada masa belajar menerima kenyataan dengan berhenti membaca berita yang menimbulkan kecemasan dan menyeleksi berita hoaks. Hingga mulai sadar diri mematuhi himbauan pemerintah atas protokol kesehatan. Yang terakhir, tumbuh rasa empati yakni mulai memikirkan orang lain. 

 

Jadi, masa adaptasi bagi orang tua dan guru diharapkan segera selesai dan selanjutnya bisa membantu anak dan siswanya secara maksimal untuk mengatasi berbagai macam bentuk disrupsi. Orang tua dan para guru diharapkan mampu menyemangati dan menetralisir situasi dan kondisi dengan membuat tetap semangat dan ceria saat mendampingi anak-anak dan siswanya. Pendampingan yang menyenangkan dan menyemangati harus selalu dilakukan oleh guru apalagi dalam situasi pandemi di mana pembelajarannya menggunakan pembelajaran jarak jauh diharapkan lebih inovasi dalam melakukan proses pembelajaran. 

 

Empat kompetensi guru yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional harus dimaksimalkan dan dikolaborasi menjadi suatu rangkaian stimulasi layanan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang anak.

Bagaimana pembelajaran dengan tatap muka saat pandemi Covid-19? Ketika diberlakukan dengan ketat protokol kesehatan terjadi keterkejutan anak secara spontan atas perubahan sosial yang ada. Hal ini akan nampak pada: Pertama, interaksi sosial antar anak yang biasa dilakukan dengan spontan, ternyata tiba-tiba ada perubahan aturan sosial atas perlakuan kebiasaan atau budaya berinteraksi dengan teman.  

 

Kedua, juga kaitanya dengan sikap etika ajaran agama hormat pada guru, yang di Negara Indonesia diekspresikan dalam budaya berjabat tangan atau cium tangan dan sejenisnya. Ternyata terdapat perubahan tatanan interaksi sosial antara anak dengan guru. Sehingga pembelajaran dengan tatap muka akan perpengaruh pada kesiapan psikososial anak.

 

Jadi, urusan yang satu ini pun juga belum selesai, perlu adaptasi dan pendampingan yang cukup waktu. Sehingga perubahan sosial condition yang membatasi perilaku sosial anak sungguh patut menjadi bahan pertimbangan, karena hal ini akan mempengaruhi perkembangan psikososial anak. Perkembangan psikososial merupakan kepribadian yang saling berkaitan dengan hubungan sosial. 

 

Namun menjadi dilema juga manakala guru atau lembaga pendidikan kurang menjaga ketat protokol kesehatan saat terjadi interaksi sosial anak. Maka yang terjadi keamanan atas kesehatan anak terancam. Jangan sampai ada klaster baru penyebaran Covid-19 di sekolah dan menjadi ladang pembantaian massal seperti yang terjadi di beberapa negara.

 

Di Finlandia, ada sebanyak 17 siswa dan 4 guru yang telah terpapar virus Corona di sekolah menengah yang memiliki 550 siswa itu. Kini, semua siswa yang masuk sekolah saat pandemi dan dinyatakan positif terpapar Covid-19 melakukan karantina di rumah. Namun, beberapa kelas yang siswanya tidak terpapar Covid-19 akan melanjutkan sekolah seperti biasanya, dengan mengikuti pedoman kesehatan dan kebersihan. 

 

Prancis; melansir dari Dailymail dari Grid Health bahwa usai dibuka kembali, setidaknya 1,4 juta anak kembali sekolah. Ada 70 kasus Covid-19 yang dilaporkan yang terdeteksi. Kasus tersebut terjadi di kalangan penitipan anak dan sekolah dasar. Korea Selatan, 250 sekolah dibuka dan sekarang ditutup kembali karena meningkatnya kasus Covid-19 saat masuk sekolah dengan pola tatap muka. 

 

Setelah kejadian bertambahnya kasus Covid-19 di beberapa negara, termasuk Cina dalam klaster sekolah, selanjutnya otoritas negara itu memilih melanjutkan sekolah daring atau PJJ. Hal itu demi keselamatan anak walaupun terdapat kelebihan dan kekurangan. 

 

Beda dengan Filipina justru memilih tidak akan membuka kembali sekolah di tengah pandemi yang belum usai. Pasalnya membuka sekolah kembali di tengah pandemi akan mendatangkan risiko yang cukup tinggi. Bahkan negara ini bertekad tidak akan membuka sekolah sampai vaksin dari virus Corona tersebut ditemukan. Juga tetap memutuskan pembelajaran jarak jauh daring dan luring dengan menayangkan pelajaran sekolah di televisi.

 

Jadi, berdasarkan beberapa persoalan yang ada dan contoh negara, maka dalam membuat keputusan pemberlakuan pola pembelajaran tahun ajaran 2020/2021 tidak bisa main coba-coba. Keputusan ini menyangkut keamanan anak dan keberlangsungan generasi. Kesiapan orang tua, guru, kepala sekolah, satuan pendidikan juga akses kesehatan dan pemerintah menjadi bahan pertimbangan yang kuat. Keputusan pemerintah daerah adalah ujung tombak penentuan nasib. Jangan sampai kebijakan yang kurang tepat berefek akan muncul masalah baru ‘hungry man becomes angry man’, tsumma naudzubilah.

 


Adalah Anggota Dewan Pendidikan dan Ketua Forum PAUD Jawa Timur

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait