Pustaka

The Qur’anything: Jembatan untuk Menyelami Kalam Ilahi

Selasa, 17 Juni 2025 | 19:00 WIB

The Qur’anything: Jembatan untuk Menyelami Kalam Ilahi

Sampul Buku The Quranything. (Foto: Istimewa)

“Al-Qur’an adalah sastra tertinggi”
“Al-Qur’an adalah pedoman hingga akhir zaman”
“Al-Qur’an adalah Kalamullah”

 

Al-Qur’an tidak diturunkan hanya untuk para mufassir, namun untuk seluruh umat manusia. Namun, masihkah ungkapan-ungkapan tersebut sakral, jika kita sebagai umat Islam tak betul-betul menyelaminya?

 

The Qur’anything, sebuah buku yang mengulas surah-surah dalam Al-Qur’an ini hadir sebagai jembatan untuk menghubungkan realita kehidupan dengan romansa dan intimasi yang terkandung dalam Al-Qur’an. Buku ini tak hanya menguak dan mengisahkan, namun juga memancing minat pembaca untuk benar-benar menggeluti isinya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Bukan sekadar bacaan dan tulisan, namun lebih dari itu, Al-Qur’an memiliki makna dan esensi di baliknya. Seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Abbas dalam pengantar buku oleh KH Ismael Al-Kholilie:

 

جَمِيْعُ الْعِلْمِ فِي الْقُرْآنِ لَكِنْ تَقَاصَرَ عَنْهُ أَفهَامُ الرِّجَالِ

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Artinya: “Semua ilmu itu ada dalam Al-Qur’an, hanya saja banyak pemahaman yang tidak sampai ke sana”

 

Memang benar bahwa terjemahan maupun tafsir Al-Qur’an sudah menjamur di sekitar kita. Namun, tak banyak orang yang betul-betul mampu menghidupkan jiwa yang selaras dengan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Dalam buku ini, Lora Ismail Al-Ascholy mampu menyandingkan pemaknaan bahasa Al-Qur’an dan menyepadankan dengan praktik dalam kehidupan. Daripada terasa jauh karena keagungannya, Al-Qur’an justru terasa begitu nyata, dekat, hidup, serta mudah dijangkau efeknya. Bahasa yang digunakan juga santai, sehingga alih-alih membaca buku berbobot, pembaca seperti diajak berdiskusi bertemankan kopi dan hanyut dalam renyahnya obrolan. 

 

Begitu santainya gaya bahasa dalam buku ini, sehingga sempat mengira bahwa penulis menyediakan hidangan siap saji yang cocok ditelan masyarakat umum. Ternyata tidak. Meski santai, namun terdapat istilah-istilah yang umumnya bisa dipahami jika pembaca setidaknya pernah berhadapan dengan kitab kuning. 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Seperti ketika mengupas intisari Surah Al-Kautsar: “Kalau ada seorang kekasih memberikan satu saja pemberiannya, itu sudah sangat spesial. Apalagi pemberian yang katsir? Apalagi yang aktsar? Lah, ini a’thaina kautsar?” (hlm. 107)

 

Pada kutipan tersebut, Lora Ismail tidak menyertakan pengertian katsir, aktsar, dan kautsar. Namun hanya mencantumkan, “Fal kautsar huwa ma fauqa katsir wa aktsar” (hlm. 113). Hal ini tentu tak masalah bagi pembaca yang sudah familiar dengan istilah tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan pembaca dari kalangan umum akan sedikit kesulitan memahaminya.

 

Di samping itu, tak jarang buku ini juga mencantumkan beberapa kutipan dari Al-Quran, syair, atau kitab-kitab berbahasa Arab, namun tidak disertai terjemah atau pemaknaannya. Yang menarik, penulis seakan melibatkan partisipasi pembaca dengan mengatakan, “Terjemahannya jangan lupa dilanjut sendiri ya. Wkwk.” (hlm 290)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Memang, Lora Ismail banyak menyertakan kalimat-kalimat yang bersifat “pancingan” untuk menarik pembaca agar mengupas lebih dalam topik yang sedang dibicarakan secara mandiri. Menurut pengalaman peresensi, upaya ini berhasil. Banyak sekali pernyataan dan kutipan penting dan menarik yang dipaparkan dalam buku ini.

 

Sayangnya, buku ini tidak disertai catatan kaki atau daftar pustaka. Bagi pembaca yang tidak bisa hanya sekadar menunggu “disuapi” hidangan bacaan, hal ini tentu agak menyulitkan jika ingin menyelami tafsir atau kisah di balik ayat-ayat yang dipaparkan dalam buku itu secara lebih dalam karena tak adanya daftar referensi.

 

Terlepas dari hal-hal tersebut, secara umum, buku ini cocok dibaca bagi siapapun, baik kalangan santri maupun kalangan umum. Bagi kalangan santri, buku ini dapat menjadi kawan yang menemani hari-hari dan mengawal hati agar tetap berada di koridor Qur’ani. Sebab bagaimanapun, memahami Al-Qur’an tentu berbeda dengan menjiwai dan mengimplementasikan dalam kehidupan. Bagi kalangan umum, gaya bahasa buku ini tetap dapat mengakomodir pemahaman, serta dapat menjadi ‘pengantar’ untuk menjelajahi lebih jauh terkait pemaknaan ayat-ayat suci. 

 

Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah ilmu, bagi siapapun yang sudah atau belum pernah mempelajari Al-Qur’an secara khusus, buku setebal 372 halaman ini tetap relevan dibaca. Tentu, sebagai pengingat bahwa kitab suci kebanggaan umat Islam ini akan tetap layak untuk diselami di manapun, sampai kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun.

 

Entah penulis akan mengkhatamkan Al-Qur’an atau tidak, namun sebagai pembaca, peresensi menantikan apa yang dijanjikan penulis di halaman terakhir buku: “Bersambung ke edisi selanjutnya…”

 

Identitas Buku:

Judul buku: The Qur’anything; Sepuluh Surat dari Tuhan
Penulis: Ismail Al-Ascholy
Penerbit: TIEMAS (Turast Ilmie Madrasah Al-Ma’arif Syaichona Moh Cholil)
Tahun terbit: Maret 2025
Tebal: 372 halaman
Peresensi: Vika Nailul R, pengajar di Madrasah Diniyah Tarbiyatul Muballighin Blitar, sekaligus alumnus UIN Sunan Kalijaga.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND