• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

Menilik Makna Bulan Sya’ban dan Keistimewaannya

Menilik Makna Bulan Sya’ban dan Keistimewaannya
Ilustrasi bulan Syaban. (Foto: NU Online)
Ilustrasi bulan Syaban. (Foto: NU Online)

Seperti yang telah diinformasikan bahwa di tahun 2024 M atau 1445 Hijriyah, hari pertama bulan Sya’ban jatuh pada Senin (11/02/2024). Bulan kedelapan dalam kalender hijriyah ini mengandung makna yang mendalam, termasuk pula memiliki banyak keistimewaan.

 

Secara bahasa, Sya'ban berasal dari kata syi'ab yang artinya jalan di atas gunung. Makna ini selaras dengan posisi bulan Sya’ban yang menyongsong bulan Ramadlan. Hal ini sebagai kiasan bahwa bulan Sya’ban merupakan momentum untuk menapaki jalan kebaikan dalam mempersiapkan diri menyambut Ramadlan. 

 

Dari segi linguistik, kata Sya’bān (شَعْبَانَ) merupakan singkatan dari huruf shīn yang berarti kemuliaan (الشَّرَفُ). Huruf ‘ain yang berarti derajat dan kedudukan yang tinggi yang terhormat (العُلُوُّ). Huruf ba’ yang berarti kebaikan (البِرُّ). Huruf alif yang berarti kasih sayang (الأُلْفَة). Huruf nun yang berarti cahaya (النُّوْرُ). Hal tersebut berdasarkan penjelasan Al-Imam ‘Abdurraḥmān As-Shafury dalam kitab momumentalnya Nuzhatul Majâlis wa Muntakhabun Nafâ’is.

 

Posisi bulan Sya’ban yang terletak di antara Rajab dan Ramadlan seringkali kurang mendapat perhatian lebih dibanding dua bulan mulia yang menghimpitnya itu. Pada Rajab, keutamaan-keutamaan seputar puasa dan amalan lainnya kerap kita dengar. Di bulan Rajab pula kita mengenang peristiwa dahsyat yang dialami Rasulullah, yaitu Isra’ Mi’raj.

 

Bulan Ramadlan lebih hebat lagi. Orang-orang seakan-akan menjadi manusia baru, berburu fadilah dan pahala berlipat di bulan suci ini. Semua berlomba-lomba berbuat kebaikan, mulai bersedekah hingga laku baik lainnya. Tidak demikian dengan Sya’ban.

 

Dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Nasai, Nabi menyebut Sya’ban sebagai bulan yang biasa dilupakan umat manusia. Dilupakan bukan berarti terhina. Ia diabaikan manusia karena manusianya sendiri yang kurang menyadari kemuliaan bulan Sya’ban, bukan akibat bulan Sya’ban itu sendiri tidak mulia.

 

Keistimewaan Bulan Sya’ban

Bukti dari mulianya bulan Sya’ban, bisa kita lihat dari sejumlah peristiwa penting bersejarah di dalamnya. Peristiwa-peristiwa ini bisa dipandang bukan semata sebagai fakta sejarah tapi juga pertanda bahwa Allah memberikan perhatian spesial terhadap bulan ini.  

 

Pertama, pada bulan Sya’ban Allah menurunkan ayat perintah bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang tercantum dalam Surat al-Ahzab ayat 56:

 

 إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا 

 

Artinya: “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” 

 

Mayoritas ulama, khususnya dari kalangan mufassir, sepakat bahwa ayat ini turun di bulan Sya’ban. Secara bahasa, shalawat berakar dari kata shalât yang berarti doa. Dalam ayat tersebut ada tiga shalawat: shalawat yang disampaikan Allah, shalawat yang disampaikan malaikat, dan (perintah) shalawat yang disampaikan umat Rasulullah SAW. 

 

Kedua, bulan Sya’ban merupakan saat diturunkannya kewajiban berpuasa bagi umat Islam. Imam Abu Zakariya an-Nawawi dalam al-Majmû’ Syarah Muhadzdzab menjelaskan bahwa Rasululah menunaikan puasa Ramadlan selama sembilan tahun selama hidup, dimulai dari tahun kedua hijriah setelah kewajiban berpuasa tersebut turun pada bulan Sya'ban. 

 

Ketiga, bulan Sya’ban juga menjadi sejarah dimulainya Ka’bah menjadi kiblat umat Islam yang sebelumnya adalah Masjidil Aqsha. Peristiwa peralihan kiblat ini ditandai dengan turunnya ayat 144 dalam Surat al-Baqarah:

 

   قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ 

 

Artinya: “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” 

 

Saat menfasirkan ayat ini, Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkâmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban. Kiblat menjadi simbol tauhid karena seluruh umat Islam menghadap pada satu tujuan.

 

Beralihnya kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram juga menegaskan bahwa Allah tak terikat dengan waktu dan tempat. Hal ini ditunjukkan dengan sejarah perubahan ketetapan kiblat yang tidak mutlak dalam satu arah saja. Umat Islam tidak sedang menyembah Ka’bah ataupun Masjidil Aqsha melainkan Allah SWT.


Keislaman Terbaru