• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Metropolis

Kasus Perceraian Naik Drastis, Alissa Wahid: Bukan Covid-19 Penyebabnya

Kasus Perceraian Naik Drastis, Alissa Wahid: Bukan Covid-19 Penyebabnya
Sekretaris LKK-PBNU, Alissa Wahid (Foto: NU Online)
Sekretaris LKK-PBNU, Alissa Wahid (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online Jatim
Akhir Agustus bulan lalu sempat muncul video viral tentang antrean orang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung. Video yang menunjukkan ratusan orang antre itu melengkapi berita dari sejumlah kota di Indonesia yang mengabarkan melonjaknya kasus perceraian di tengah pandemi Covid-19. 


    
Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK-PBNU), Alissa Wahid mengatakan banyak yang mengemukakan bahwa sebagian alasan perceraian karena hilangnya penghasilan dan ketidakpastian yang menciptakan tekanan mental berat bagi pasangan suami istri. Belum lagi masuk tahun ajaran baru, anak-anak mesti mengikuti sistem pembelajaran jarak jauh, membuat orang tua harus ikut blingsatan menyediakan gawai dan pulsa yang tidak sedikit merogoh kocek mereka.

 

“Alasan lainnya yang dikemukakan adalah tekanan psikologis akibat hidup bersama yang menciptakan ketegangan bahkan sering kali berujung pada kekerasan. Kekerasan tidak hanya terjadi di antara suami-istri, tetapi juga dilakukan orang tua saat menghadapi anak-anak yang frustrasi dengan perubahan kehidupan mereka,” tulis Alissa di rubrik Udar Rasa, harian Kompas (6/9/2020). 


Alissa menyodorkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menunjukkan, pada periode10-22 Mei 2020 saja, layanan kesehatan jiwa dibanjiri aduan kekerasan sebanyak 453 kasus dalam bentuk kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis.

 


“Sebelum masa pandemi, orang mengeluhkan kurangnya waktu bersama orang-orang yang dicintainya. Tahun 2017, Badilag mencatat, setidaknya terjadi 1.000 perceraian per hari di Indonesia dan penyebab utama yang dilaporkan adalah cek-cok berkepanjangan. Orang menuduh karier, terutama karier perempuan, sebagai penyebab kehancuran keluarga karen aterlalu sibuk di luar rumah,” sambung perempuan bernama lengkap Alissa Qotrunnada Munawaroh.

 

Orang juga menuduh ketidakhadiran ayah, lagi-lagi karena kesibukan mencari nafkah dan berkarier, menyebabkan rusaknya mental generasi muda yang kurang mendapatkan panduan nilai-nilai kehidupan secara langsung.

 

Menjadi ironis, pandemi Covid-19 harusnya menggugurkan asumsi-asumsi yang diributkan tersebut. Karir tak lagi menghalangi karena suami-istri tidak harus menghabiskan belasan jam di luar rumah. Secara leluasa, ayah dan ibu sama-sama hadir bagi anak-anaknya.

 

“Mengurus rumah yang sebelumnya lebih banyak dibebankan kepada Ibu, kini dapat ditangani bersama. Waktu yang dulunya menjadi barang begitu langka, sekarang tersedia 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Namun, alih-alih menjadi kesempatan untuk memperkuat kualitas keluarga, justru waktu penuh selama beberapa bulan saja berbuah bencana. Ketegangan yang biasanya membuat pasangan suami-istri hanya merasa perlu break atau me-time saat ini mendorong mereka memutuskan untuk keluar sepenuhnya dari ikatan perkawinan mereka,” tulis Alissa.

 

Alumnus Fakultas Psikologi UGM ini mengatakan pandemi ini membuktikan bahwa ternyata bukan waktu dan kebersamaan fisik yang menjadi persoalan keluarga selama ini. Bukan juga soal anak-anak yang menguji kesabaran karena 24 jam orang-tua harus menjadi orang tua, bahkan mendadak juga harus menjadi guru.

 

“Kehancuran keluarga juga ternyata bukan soal karier dan segala efek turunannya, termasuk beban ganda istri yang bekerja dan mengurus rumah-tangga tanpa uluran setara dari suami. Bahkan, sejatinya kemiskinan, kondisi ekonomi, atau ketidakpastian masa depan juga bukan penyebab,” ujar putri sulung KH Abdurrahman Wahid ini.

 

Alissa mengungkap sebagian besar generasi yang lahir di tahun 1970-an tumbuh dalam kondisi ekonomi keluarga yang kurang sejahtera, tetapi faktanya sebagian besar orang tua mereka juga tidak bercerai.

 

“Pengalaman keluarga-keluarga Indonesia di masa pandemi ini semakin menebalkan keyakinan dasar penulis sebagai psikolog bahwa ketangguhan keluarga menjadi faktor paling penting dalam menentukan seberapa besar daya lenting keluarga menghadapi dinamika kehidupan keluarga,” lanjutnya.

 

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini menganalogikan keluarga sebagai sebuah bangunan, konstruksi yang kokoh akan tahan terhadap gempa, hujan badai, dan gangguan lainnya. Sementara gempa ringan bisa langsung merobohkan konstruksi bangunan yang lemah karena fondasi yang kurang kuat atau pilar yang hampir patah.

 

“Fondasi keluarga yang kuat adalah berupa prinsip-prinsip luhur yang menghidupi keluarga. Misalnya prinsip keadilan dan keseimbangan. Faqihudin Abdul Kadir (2018) menambahkan prinsip kesalingan. Apabila ketiga prinsip ini dijadikan sebagai pijakan dalam setiap tindakan keluarga, niscaya setiap tantangan akanlebih mudah dikelola,” kata Alissa.

 

Di ujung lain, sambung dia, prinsip kemaslahatan menjadi perspektif payung yang akan mengayomi keluarga. Dengan prinsip ini sebagai atap, kehidupan keluarga diarahkan untuk dapat memberikan kebaikan bersama bagi setiap anggotanya. Kekerasan dalam rumah tangga dan semua praktik keluarga berisiko, seperti perkawinan anak dan poligami akan dihindarkan dengan prinsip ini.

 

“Komitmen merupakan salah satu pilar bangunan keluarga, diikuti dengan keyakinan bahwa perkawinan dikelola berpasangan bagaikan sepasang sayap. Demikian juga sikap baku-baik dan dialog (musyawarah). Pilar-pilar ini menjadi panduan bersikap, berperilaku di dalam keluarga. Anggota keluarga saling berlaku baik, mampu mendialogkan ketegangan, bahkan mampu berkonflik dengan baik dan benar,” kata Alissa.

 

Alissa menyakini, dengan fondasi, pilar, dan atap bangunan keluarga yang terpelihara baik, masa pandemi ini dapat menjadi masa yang lebih nyaman. Bahkan, hidup #dirumahaja menjadi sebuah pengalaman yang memperkuat keluarga.

 

“Pandemi ini adalah sebuah gempa berskala sedang bagi semua keluarga. Seberapa besar dampaknya akan sangat bergantung pada kekuatan dan kekokohan bangunan keluarga itu sendiri. Bangunan keluarga yang tangguh membuat keluarga tetap aman di tengah ayunan gempa. Namun, bangunan keluarga yang rapuh membuat anggota keluarga berhamburan karena ayunan gempa memorak porandakan bangunan keluarga. Bukan Covid-19 yang menyebabkannya,” pungkas Alissa.
 


Metropolis Terbaru