Jadi Ibu Negara Pertama, Nyai Sinta Nuriyah Konsisten Bahas Kesetaraan Gender
Ahad, 9 Maret 2025 | 19:00 WIB
Surabaya, NU Online Jatim
Mustasyar PBNU Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid lahir pada 8 Maret 1948 dan tahun ini berusia 77 tahun. Nyai Sinta menjadi ibu negara pertama yang sangat konsisten membahas kesetaraan gender bagi perempuan.
Nyai Sinta menjelaskan perjuangan untuk kesetaraan gender dan hak-hak bagi perempuan sejak tahun 1997 hingga saat ini.
“Karena saya kuliahnya women studies, saya ingin mengetahui seberapa jauh keterlibatan antara agama dengan perempuan dalam masyarakat. Sampai saat itu perempuan masih terbelenggu dalam ketidakbolehan. Ini tidak boleh, itu tidak boleh,” ujar Nyai Sinta dalam siniar Menjadi Indonesia ditayangkan melalui kanal Youtube NU Online, diakses pada Ahad (9/3/2025).
“Saya merasa diriku tidak mendapatkan keadilan. Jadi semua perempuan itu tidak mendapat perlakuan yang adil, sementara agama tidak mengatakan seperti itu. Jadi saya menonjol pertama kali pada waktu itu adalah masalah poligami, itu sangat merugikan sekali buat perempuan, itu harus diperjuangkan,” lanjutnya.
Ia kemudian mendirikan Yayasan Puan Amal Hayati yang konsisten bergerak bersama masyarakat dan pesantren untuk pemberdayaan perempuan serta hak-hak kelompok rentan.
“Saya akhirnya bersama teman-teman kuliah itu mendirikan Puan Amal Hayati, sampai sekarang itu tujuannya untuk memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan, kitab-kitab kuning masih tidak menguntungkan perempuan,” ungkapnya.
Menghadapi situasi rumah tangga
Istri Presiden Ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu mencontohkan saat dirinya bersama Gus Dur mengelola keuangan rumah tangga yang tidak pernah ada kesulitan.
“Tidak pernah kesulitan, uangnya yang dikelola tidak ada, memang faktanya begitu,” ujar Nyai Sinta.
Ia menegaskan bahwa dalam menghadapi situasi dalam rumah tangga tidak boleh berkeluh kesah dan mudah menyerah.
“Jadi dalam menghadapi situasi rumah tangga, kita (suami dan istri) tidak boleh rumah tangga itu dihiasi dengan keluh kesah dan tidak ada perjuangan untuk mengatasi (masalah),” katanya.
Ia mengatakan bahwa pasangan suami dan istri harus saling melengkapi, menghormati dan mencintai satu sama lain.
“Jadi kita harus ingatkan bahwa perempuan adalah pakaian bagi laki-laki dan laki-laki adalah pakaian bagi perempuan, artinya saling melengkapi kekurangan satu sama lain, saling menghargai dan hormati, saling mencintai,” ungkapnya.
Terpopuler
1
Sejarah Puasa Tasu’a dan Asyura serta Tata Cara Pelaksanaannya
2
Tragedi Karbala dalam Timbangan Ahlussunnah wal Jamaah
3
Gus Baha Isi Muharram dengan I’tikaf, Khataman, dan Majelis Al-Qur’an
4
Dilantik, Berikut Susunan Kepengurusan PCNU Surabaya 2024-2029
5
2 Juta Anak Yatim dan Difabel Terima Bantuan Kemenag
6
Kaderisasi 3 Matra, Ketua Ansor Jatim Ingatkan Kader Warisi Akhlak Ulama
Terkini
Lihat Semua