Rahadhyan Wisena Yusuf, Dari Santri Gontor ke Panggung Kaligrafi Dunia
Selasa, 22 Juli 2025 | 11:00 WIB

Rahadhyan Wisena Yusuf saat menerima piagam penghargaan dari Direktur OIC IRCICA Prof Mahmud Erol Kilic didampingi Maestro Kaligrafi Maroko dan Dewan Hakim Kompetisi Kaligrafi Internasional Syekh Bilaid Hamidi di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin (21/7/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)
Surabaya, NU Online Jatim
Rahadhyan Wisena Yusuf, seorang pemuda yang belum genap berusia 22 tahun kelahiran Bandung, meraih juara harapan dalam kategori Khat Diwani pada Kompetisi Kaligrafi Internasional ke-13 yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sejarah, Seni, dan Budaya Islam (IRCICA) yang berkedudukan di Istanbul, Turki.
Prestasi ini dicapai setelah melewati proses panjang yang ia jalani dengan disiplin dan konsistensi. Meski kini menyandang gelar juara internasional, Rahadhyan tetap memilih untuk mengabdi sebagai pengajar kaligrafi di Pesantren Darul Qiyam, cabang Pondok Modern Darussalam Gontor, yang terletak di Dusun Gadingsari, Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Namun capaian itu bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Kecintaannya pada kaligrafi tumbuh sejak duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Saat itu, ia mewakili sekolahnya dalam lomba kaligrafi tingkat kota.
“Saya waktu itu diutus sekolah ikut lomba tingkat kota, dan Alhamdulillah juara dua,” kenangnya.
Sejak itu, Rahadhyan semakin tertarik pada dunia seni menulis indah ini. Ketika melanjutkan pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor Pusat, Ponorogo, ketertarikannya terhadap kaligrafi makin kuat. Ia masuk Gontor pada 2019 dan lulus pada 2023.
Saat ini, ia tengah menjalani masa pengabdian selama satu tahun di Darul Qiyam, cabang Gontor yang ada di Magelang. Di sana, ia membimbing para santri dalam pelajaran kaligrafi, yang mereka ikuti secara sukarela.
“Sekarang yang belajar ada 15 orang. Yang sudah hampir ijazah ada dua orang,” katanya.
Rahadhyan baru mulai belajar kaligrafi secara serius ketika menjalani masa pengabdian di Magelang. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya, Ustadz Anggo Triono, seorang kaligrafer nasional yang pernah meraih juara harapan dalam Lomba Kaligrafi Khat Maghribi di Kanada pada 2022. Bersama sang guru, ia mulai menekuni berbagai gaya tulisan Arab (khat), antara lain Naskhi, Diwani, dan Riq’ah.
Ia mengaku, untuk menyelesaikan ijazah khat ketiganya, ia harus menjalani latihan intensif selama satu setengah bulan. Setiap hari, ia menulis tiga kali: pagi, siang, dan malam, lalu menyerahkan hasilnya kepada sang guru untuk dikoreksi.
"Kalau sudah disetujui, baru lanjut pelajaran berikutnya. Ijazah itu juga jadi tanggung jawab untuk meneruskan metode pembelajaran ke santri,” ujarnya.

Bagi Rahadhyan, belajar kaligrafi bukan hanya soal teknik menulis, tapi juga bagian dari tradisi keilmuan Islam yang memiliki sanad atau silsilah.
"Ada sanadnya, dari saya ke Ustadz Anggo, beliau ke Ustadz Afif Hamidi, Ustadz Afif ke Ustadz Emnur, lalu ke Syekh Belaid Hamidi. Ini yang membuat belajar kaligrafi jadi bermakna secara spiritual,” jelasnya.
Informasi mengenai kompetisi kaligrafi internasional IRCICA ia dapatkan dari seorang teman. Ia juga sempat mendengarkan podcast yang membahas lomba tersebut. Awalnya ia tidak terlalu yakin, tetapi kemudian memutuskan ikut sebagai bentuk ikhtiar.
“Saya ikut karena ingin mencoba. Alhamdulillah, ternyata juara harapan di kategori Khat Diwani,” katanya.
Saat pengumuman pemenang, Rahadhyan tak kuasa menahan rasa syukurnya. Ia langsung sujud syukur, lalu menghubungi orang tuanya di Bandung dan gurunya di Magelang.
"Orang tua saya kaget dan terharu saat saya kabari. Mereka belum bisa datang ke sini, jadi kami hanya video call,” ujarnya sambil tersenyum.
Di tengah tugasnya sebagai pengajar, ia menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah menjaga semangat dan konsistensi para santri. Ia mencontohkan salah satu santri yang harus mengulang tulisan huruf ‘qaf’ hingga tujuh lembar.
“Saya terus motivasi mereka agar istiqamah. Konsistensi itu yang paling sulit dijaga,” ujarnya.
Dakwah dan dzikir
Menurutnya, kaligrafi tidak hanya sekadar estetika, tetapi juga media dakwah dan ekspresi spiritual.
"Menulis kaligrafi itu seperti berdzikir. Ada ketenangan dan nilai ibadah di dalamnya,” kata Rahadhyan. Ia menilai bahwa seni ini perlu terus dilestarikan, apalagi di era digital yang serba instan.
Ia juga menaruh harapan besar pada generasi muda untuk tertarik pada kaligrafi. Selain karena keindahannya, kaligrafi memperkenalkan nilai kesabaran, ketekunan, dan kedekatan dengan Al-Qur’an.
"Dengan menulis ayat-ayat suci, kita seperti ikut menjaga kemurnian Al-Qur’an, sebagaimana qari menjaga lewat bacaan, dan hafidz lewat hafalan,” jelasnya.
Rahadhyan merasa bersyukur pernah dibimbing oleh Ustadz Anggo, yang menurutnya sangat telaten dalam mengajar.
“Beliau tidak kaku. Kalau tulisan saya bagus, langsung lanjut ke pelajaran berikutnya. Itu sangat memotivasi,” kenangnya.
Ke depan, setelah masa pengabdian selesai, ia bercita-cita membuka tempat belajar kaligrafi yang bisa diakses semua kalangan.
“Saya ingin buka kursus sederhana, bisa untuk anak-anak sampai orang dewasa. Siapa saja yang mau belajar, ayo belajar. Tidak perlu harus santri atau siswa pesantren,” tegasnya.
Ia menyadari bahwa kaligrafi bukan hanya milik komunitas terbatas, melainkan warisan budaya Islam yang bisa dinikmati dan dipelajari siapa saja.
"Kita jaga Al-Qur’an lewat tulisan. Jangan sampai seni kaligrafi ini hilang karena kita tidak mewariskannya,” tutup Rahadhyan.
Terpopuler
1
Fenomena Fatherless, Inilah 4 Peran Ayah dalam Islam
2
Keadilan Gender: Antara Wacana dan Realitas
3
Direktur Womester di Jepang: Prinsipnya Jangan Merugikan Orang Lain
4
GP Ansor Bangkalan Luncurkan BUMA 'Abang' di Rutinan MDS Rijalul Ansor
5
FK Unisma Kukuhkan 34 Dokter Muslim, Kelulusan Membanggakan
6
Resmi Dikukuhkan, Digdaya Digital dan Ekonomi Jadi Tema Besar GP Ansor Sidoarjo
Terkini
Lihat Semua