• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Menimbang Kiprah dan Keberpihakan PMII

Menimbang Kiprah dan Keberpihakan PMII
Sejumlah aktivis PMII menyuarakan ketimpangan. (Foto: NOJ/RB)
Sejumlah aktivis PMII menyuarakan ketimpangan. (Foto: NOJ/RB)

Oleh: Firdausi
 

Predikat kritikus diberikan kepada kelompok aktivis mahasiswa NU. Mereka dicap demonstran, baik dalam maupun di luar kampus. Predikat ini tak jarang diberikan kepada kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena mereka secara kultur dan ideologi gerakannya lebih dekat ke NU dan mayoritas dari kalangan santri atau sempat mengenyam pendidikan pesantren.

 

Di pesantren bergerak kurang bebas, di kampus mereka memaknai kesempatan itu sebaik mungkin dan seluas-luasnya. Di pesantren bermutalaah kitab klasik, di kampus mereka melahap berbagai buku yang memberikan sentuhan ideologi pembebasan. Kitab yang berasal dari dua kutub intelektualisme Barat dan Timur, pelan-pelan bermesraan di dalam otak mereka. Itulah yang menyebabkan mereka lincah layaknya kancil membodohi buaya. Mereka dicaci, tapi masih diperhitungkan lantaran daya kritisnya.

 

Di luar pesantren, mereka anti kemapanan, tapi tak dendam terhadap semangat perbaikan. Mereka juga cultural oriented, tapi tak pernah lari dari beragam problematika kehidupan. Mereka senang turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi untuk membela rakyat kecil. Teman mereka adalah buruh, tukang becak, pedagang kaki lima, petani, nelayan, dan hampir semua lapisan masyarakat yang tertindas, di mana akan menyuarakan anspirasinya kepada beberapa elemen bangsa, termasuk kepada trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Hal ini dilakukan karena memiliki tanggung besar bagi bangsa Indonesia, yakni PMII harus mengenal segala kebijakan pemerintah yang ada serta menjadi garda terdepan dalam menangkal gerakan radikalisme di kalangan mahasiswa khususnya. 

 

Semua itu dilakukan oleh kader PMII, karena NU bukan sekadar organisasi massa keagamaan yang sifatnya cenderung berwujud halaqah, seperti majelis taklim, pengajian, dan kumpulan tradisional. Lebih dari itu, kader PMII memaknai NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi basis sosial guna mentransformasikan visi besar harakah para muassis atau pendiri. Karena hakikat tujuan mulia PMII yang tertuang dalam AD/ARTnya sama dengan gerakan yang dilakukan oleh para muassis NU, yakni terbentuknya pribadi yang muslim Indonesia yang bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

 

Sebagai kaum pergerakan, para mahasiswa NU sangat memahami apa yang layak dilakukan demi capaian ideal gerakan sosial ke-NU-an. Kalau terjadi otokritik secara teoritis terhadap beberapa fenomena sosial, lebih-lebih realita kultural di tubuh NU, tak lain sebagai wujud kepedulian dan kecintaan mereka untuk mencegah krisis sosial bagi warga NU. Kaidah yang dijunjung tinggi oleh kader PMII adalah mencegah kerusakan atau penyakit itu lebih baik daripada mengobati kemudian hari atau dar'ul mafaasid muqaddamum ala jalbil mashalih (Abd Mun'im DZ, 2004).

 

Anak-anak muda NU seperti PMII, memiliki kecerdasan tersendiri yang layak diapresiasi oleh  kiai untuk mengangkat nama jamiyah. Kreatifitas mereka menyimpan tatanan nilai etis tersendiri dari beberapa kelompok mahasiswa lainnya. Dengan ini, mereka harus mampu mengatasi segala bentuk permasalahan yang terjadi di masyarakat. Sehingga mereka harus menguasai berbagai hal dalam pandangan arah pergerakan, diantaranya adalah kecerdasan intelektual (IQ).

 

Hal ini sangat penting, baik untuk kepribadian kader. Karena yang dikedepankan adalah rasionalitas. Dalam hal ini, seorang aktivis NU mampu bertindak terarah, berpikir secara  rasional dan menghadapi lingkungan secara efektif. Artinya, ketika seseorang menjadi kader PMII, maka ia harus mampu memberikan yang lebih baik bagi organisasinya, contoh kecilnya adalah di kelas seorang kader PMII harus tampil beda, dimana IPK ( Indeks Prestasi Kumulatif)nya harus tinggi dari teman lain.

 

Selain itu, anak-anak muda NU harus mampu mengasah kecerdasan emosionalnya (EQ), dimana PMII merupakan organisasi kemahasiswaan yang mengedepankan intelektual, harus mampu mengontrol emosinya dalam situasi dan kondisi apapun, sehingga kecerdasan emosional itu dapat mengasah kemampuan untuk meredam emosi dan mengarahkannya kepada hal-hal yang bermanfaat. Sebab tujuan akhir mahasiswa adalah memberikan konstribusi positif bagi masyarakat.

Selain menguasai IQ dan EQ, anak-anak muda NU harus menguasai kecerdasan spiritual (IS), karena kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah nilai-nilai keagamaan yang nantinya membawa kader mencapai kebahagiaan hakiki dan mampu menyeimbangkan antara tugasnya sebagai thalabul 'ilm, keluarga, dan tentunya tugas sebagai khalifah fil ardhi. Artinya, arah gerakan aktivis muda NU tak hanya menyelesaikan berbagai problematika yang terjadi di tataran sosial masyarakat. Tetapi juga, ideologi Aswaja yang ditularkan oleh para mu'assis mampu disalurkan oleh para kader kepada masyarakat yang orientasinya memberikan kedamaian kepada seluruh bangsa serta menjelaskan bahwa perbedaan itu indah (pluralism).

 

Jelas sudah bahwa warga pergerakan harus mampu menyelesaikan persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat, menjadi garda terdepan kaum tertindas, bersinergi dengan segala elemen masyarakat untuk bersatu padu menjaga NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945 dari pengaruh paham-paham luar yang saat ini meracuni pemikiran masyarakat.

 

Hal terpenting bagi anak-anak muda NU adalah menjadi aktivis di dalam kelasnya, yakni menjadi pembeda secara intelektual dengan mahasiswa lainnya. Karena hakikat tujuan pengkaderan yang diselenggarakan oleh senior-senior PMII seperti Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba), Pelatihan Kader Dasar (PKD), dan lainnya, tidak lain ingin menjadikan seorang kader yang berintelektual secara profesional, bukan hanya menjadi kader demonstran, tetapi diimbangi dengan kapasitas keilmuan yang matang dan mampu menjawab tantangan zaman.

 

Wakil Sekretaris Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pragaan, Sumenep. 
 


Editor:

Opini Terbaru