Pustaka

Ummi Kulsum dan Rubaiyat Khayam: Sebuah Musikalisasi Puisi Samawi

Rabu, 20 Agustus 2025 | 17:00 WIB

Ummi Kulsum dan Rubaiyat Khayam: Sebuah Musikalisasi Puisi Samawi

Ilustrasi lagu Rubaiyat Al-Khayam yang dibacakan oleh Ummi Kulsum. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Ummi Kulsum tak hanya menyanyi. Ia selalu bercerita, berpuisi, berteriak, meratap, dan bahkan menyuarakan kesadaran ilahiah. Begitu yang selama ini saya yakini. Lima tahun yang lalu, saat pembacaan karya-karya Jalaluddin Rumi masih aktif dilakukan pada pengajian bulanan yang dibawakan Kiai Kuswaidi Syafi’ie –Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi di Sewon, Bantul, Yogyakarta– di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, telah benar-benar mengisi dahaga serta memantik ide tulisan ini dibuat.

 

Sekumpulan syair dalam Rubaiyat Umar Khayam, sang pendahulu Rumi, telah mempertemukan saya dengan rekaman lawas Umi Kulsum akhir-akhir ini. Dulu yang masih tersisa di ingatan adalah kala Cak Kus —panggilan akrab Kiai Kuswaidi, pernah bertutur jika syair Rubaiyat Khayam sejauh ini masih lekat dan ruhnya begitu hidup ketika dibawakan oleh Ummi Kulsum. Dan sekarang saya harus benar-benar bersimpuh dengan pernyataan itu. Beberapa hari yang lalu, rekaman lawas Ummi Kulsum di radio Ashria yang diabadikan di Youtube kembali saya putar dan judul Rubaiyat menemani lolongan malam yang sunyi.

 

Lagu “Rubaiyat Al-Khayam” mungkin tak sepopuler Alfi Leila, Enta Omry, Amal Hayati, Al-Athlal dan beberapa lainnya yang masih dinyanyikan di panggung-panggung orkestra gambus hari ini. Tapi sejatinya semua lagu yang dinyanyikan Ummi Kulsum selalu menyimpan energi spiritual yang tinggi.

 

Seperti pada kebanyakan lagu-lagu yang dibawakannya, Ummi Kulsum membuka syair ini dengan penyampaian yang tenang dan membangkitkan telinga pendengar pelan-pelan, seperti bejana air yang pelan-pelan memanas di atas tungku api. Orkestra musik yang mengiringi serasa begitu lekat dengan setiap cengkok piawai sang “Bintang Timur” itu.

 

Dalam syair yang diterjemahkan Ahmad Ramy itu, Khayam hendak membangunkan tidur panjang manusia atas seruan-seruan ilahiah setiap penghujung malam. Ummi Kalsum berhasil menyihir dengan memulaikannya pada sentilan irama Rast pembuka sebelum melanjutkannya pada dinamika irama yang lain.

 

Lirik awal Rubaiyat Al-Khayam ditulis serasa seperti seseorang yang sayup-sayup mendengar panggilan nun jauh dari gelapnya malam. Sami’tu Shautan Haatifan fii al-Sahr, Ummi Kalsum mengulangi sampai tiga kali dengan pengantar irama Rast selayaknya jiwa yang baru tergugah dan tak berdaya. Barulah pada kata seruan Hubbu imla’uu!, Bangkit dan datangilah! Ummi Kulsum menambahkan ketegasan dengan nada pancingan yang naik.

 

Irama Rast yang terbilang tegas begitu terdengar sangat ciamik dibawakan. Bait-bait awal Rubaiyat ini banyak menyinggung tentang larangan menyesali masa lalu hingga kegagalan hidup. Namun sebagai kelanjutannya, bait-bait awal ini juga berisikan semangat untuk menjemput harapan dan pertolongan Tuhan pada manusia yang tidak pernah padam. Dalam bait yang tandas itu, perpaduan Rast dan segenap variasinya, Salalin Suud, Salalin Nuzul, hingga Syabir, selalu ditempatkan pada wadah masing-masing.

 

Saya benar-benar terhanyut, irama itu serasa memiliki kelekatan dengan syairnya. Laa Tasyghal al-Baali bi Maadhi al-Zamaan, Wa Laa bi aati al-‘Aisy Qabla Al-Awaan, Waghnam min Al-Haadiri Lidzaatihi, Fa Laisa Fi Thab’i al-Layali al-Amaan (Jangan kau sibukkan hati dengan masa yang telah berlalu, ataupun yang akan datang yang belum terjadi, raihlah yang ada hari ini kelezatannya, karena keamanan itu bukan sifat alami malam).

 

Selalu menjadi ciri khas Ummi Kulsum, dalam satu bait lagu proses perpindahan irama begitu halus dan serasa terhanyut oleh lirik yang dibawakan. Segmen selanjutnya, Rubaiyat dituliskan tentang misteri kehidupan yang selalu mengintai setiap hidup manusia. Dalam lirik Ghadun bi Dhahri al-Ghaibi (Esok ada dibalik yang gaib), lagu Hejaz oleh Ummi Kulsum selipkan dengan pembawaan yang begitu mencekam.

 

Bait-bait selanjutnya irama Hejaz terus dibawakan dengan penuh ratapan. Untaian kegelisahan serasa menghunjam bertubi-tubi; hati lelah, kerinduan akan keindahan, serta dada yang sesak atas ungkapan yang tak tersampaikan, bahkan semuanya diulangi sampai berkali-kali. Dan puncaknya teriakan ratapan itu pada untaian gugatan diri pada Tuhan, Yaa Rabbi Hal Yurdhiika Hadza Al-Dzhama’u? Wa al-Maa’u yansaabu Amaami Zulaal? Wahai Tuhan apakah kehausan ini memuaskan-Mu? sedangkan air jernih mengalir di hadapanku dengan lamban? Teriakan itu menggema, melepaskan ketakberdayaan seorang salik atas segala kebesaran sang pencipta.

 

Dinamika perpindahan irama itu terus terjadi. Ummi Kalsum benar-benar membawakan syair sufi itu dengan alur cerita yang begitu sampai di telinga pendengar. Fakam Tawaala Al-Lail ba’da an-Nahaar (entah sudah berapa malam mengganti siang), telah diulangi berkali-kali dan mulai terdengar melodi Bayyati yang lembut dan terkesan melankolis di sana. Semacam ungkapan kelimpungan. Namun kelembutan itu lagi-lagi harus kembali pada ratapan ketakberdayaan yang selalu digeser kembali pada irama Hejaz di kalimat-kalimat selanjutnya.

 

Bahkan, saya tak berhenti bergidik kala suasana Hejaz yang emosional itu dibawakan pada kalimat, Faqad Tasaawaa Fi al-Tsaraa Raahilun Ghadan Wa Maadhin Min Uluufi al-Siniin, bagaimanapun kita akan sama berada dalam kubur, baik yang menjalani esok ataupun yang telah mati sejak ribuan tahun lalu. Dan kata siniin itu benar-benar menggema dengan pembawaan suara Ummi Kulsum yang lantang serasa menunjuk semua ruh yang telah bersemayam menunggu hari peradilan.

 

Syair Esoterik yang Mengetuk Langit

Rubaiyat versi Ummi Kulsum merupakan gubahan ulang, yang disusun oleh Riyad Al-Sunbati, dan diterjemah dengan naskah Arab oleh Ahmad Ramy. Sehingga bisa dipastikan syair final yang dinyanyikan Ummi Kulsum merupakan sekumpulan bait (kuatrain) yang didapat dari banyak karya tulis Umar Khayam yang belum terabadikan.

 

Syair ini adalah bentuk kefanaan hidup seorang manusia. Bentuk teguran keras akan terlelapnya hidup telah dilancangkan beberapa kali dalam sekumpulan tulisan Khayam itu. Manusia harus segera tersadar, terbangun melihat realitas kefanaan dan mempersiapkan segalanya untuk bekal kehidupan yang abadi. Bait dilanjutkan dengan kesadaran bahwa masa lalu dan yang akan datang hanyalah kesia-siaan dan misteri. Untuk itu manusia harus berjalan saat ini, memberikan kehidupan yang terbaik tanpa terbelenggu dua masa yang menikamnya itu.

 

Di bagian akhir syair, kelalaian itu akhirnya disampaikan dalam ratapan permohonan ampunan. Segenap pujian keagungan dilayangkan selayaknya tangisan penyesalan yang mendalam atas segala kelalaian hidup yang selama ini manusia jalani. Ya ‘Alima al-Asraar ‘ilma al-Yaqiini, Yaa Kaasyifa al-Dzurri ‘An al-Baaisiin, Yaa Qaabila al-A’dzaar ‘Udnaa Ila Dhullika, Faaqbal taubata Al-Taaibiin. (Wahai Dzat yang Maha Mengetahui rahasia, wahai Dzat yang Maha Mengetahui keyakinan! Wahai Yang Maha Menghilangkan kesusahan dari orang-orang yang tercela! Wahai Yang Maha Menerima alasan, kami telah kembali ke perlindungan-Mu! Maka terimalah taubat orang-orang yang bertaubat).

 

Umi Kulsum dan Rubaiyat Umar Khayam adalah dua sayap yang menerbangkan keagungan seni dan sastra sekaligus. Goresan pena sang penyair besar Persia telah disuarakan begitu indahnya oleh suara Bintang Timur. Keduanya adalah legenda, yang sama-sama mewakili kejayaan seni dan kesusasteraan Islam hingga saat ini. Pada akhirnya tak berlebihan jika harus mengatakan dan mengakui bahwa, ini tak sekadar syair yang digubah menuju lagu, tapi ini adalah musikalisasi puisi langit. Tabik!

 

Data Lagu:

Judul: Rubaiyat Al-Khayam
Penyanyi: Ummi Kulsum Ibrahim Al-Baltagi
Pengarang lirik: Ahmad Rami (terjemah kuatrain Omar Khayyam ke Bahasa Arab)
Komposer musik: Riad Al-Sunbati
Tahun Produksi: Pertama, 1950
Durasi: 36.51 menit (7 bagian)
Peresensi: Muhammad Farhan, lulusan Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus anggota JQHNU Bangil, Pasuruan.