Kediri, NU Online Jatim
KH Reza Ahmad Zahid adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah, Lirboyo, Kediri. Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur tersebut memiliki pemahaman dan pandangan luas. Termasuk terkait kondisi kekinian. Hal tersebut tentu tidak dapat dipisahkan dari pengalaman merampungkan studi dan mondok, serta pergaulan dengan beragam kalangan.
Yang juga menjadi perhatian adalah terkait gencarnya gerakan khilafah di Tanah Air. Bahwa pembicaraan masalah tersebut tidak dapat dipungkiri karena khilafah ada di zaman Nabi Muhammad.
“Saat itu Nabi sendiri menjadi khalifah atau pemimpin. Kemudian setelah wafat, dilanjutkan para sahabat. Mulai dari khulafaur rasyidin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali,” katanya sebagaimana dilansir Jawa Pos Radar Kediri beberapa waktu berselang.
Setelah khilafah Utsmaniyah dihancurkan kemudian berimbas pada negara-negara kawasan tersebut ikut hancur. Termasuk Arab Saudi.
“Mengetahui kehancuran itu, para ulama Islam berkumpul untuk merajut khilafah kembali,” ungkap Gus Reza, sapaan akrabnya.
Namun pembicaraan tersebut buntu karena beberapa pertanyaan tidak mampu dijawab. Misalnya siapa yang menjadi khalifah, ibu kotanya di mana? Semuanya terjadi tarik ulur. Kalau jadi khilafah, bagaimana sistem kenegaraannya? Antara satu dan yang lain berbeda pendapat.
“Karena itu, akhirnya mereka menyepakati untuk tidak sepakat dengan khilafah. Karena ulama tidak menemukan poin. Apalagi, dari era satu ke era lain, setiap kekhalifahan memiliki kebijakan dan karakteristik pemerintahan yang berbeda,” jelasnya.
Dikemukakan Gus Reza bahwa berdasarkan dari berbagai literatur, khilafah adalah wasilah atau media untuk mencapai kemaslahatan. Bukan maksud atau tujuan pokok.
“Memang istilah khilafah itu kita temukan di al-Quran dan hadits, mulai penafsiran secara umum dan khusus,” ungkapnya.
Secara umum maksudnya semua manusia itu adalah khalifatullah fil ardh atau khalifah Allah di muka bumi. Itu artinya manusia bertugas menjaga kedamaian, keharmonisan, dan keberlangsungan hidup manusia dan alam sekitarnya. Sementara secara khusus pemaknaannya adalah pemimpin negara atau agama.
“Tapi perlu kita ingat, sistem kenegaraan khilafah itu sebagai wasilah untuk menggapai maqasid atau tujuan. Karena itulah, kesimpulanya tidak menutup kemungkinan ada wasilah lain untuk mencapai tujuan tersebut,” sergahnya. Bisa lewat cara demokrasi, monarki atau kerajaan, lanjutnya.
Di ujung penjelasannya, bahwa yang terpenting dari tatanan yang dipilih tersebut adalah hendaknya dapat menjamin kemaslahatan warga. Karena sistem apapun yang dipilih, maka ujung-ujungnya adalah maslahatul ammah atau kemaslahatan bersama.
“Yang terpenting tujuan utama di sini adalah membentuk tatanan manusia yang damai, harmonis, dan penuh kemanfaatan bagi warganya,” pungkasnya.