• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 16 April 2024

Tokoh

Pengalaman Almaghfurlah KH A Masduqie Mahfudh dan Shalawat

Pengalaman Almaghfurlah KH A Masduqie Mahfudh dan Shalawat
KH A Masduqie Mahfudh saat mendampingi KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: PWNU Jatim)
KH A Masduqie Mahfudh saat mendampingi KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: PWNU Jatim)

Saat berada di bulan Rabiul Awal atau disebut dengan Maulid, kaum Muslimin diingatkan kembali untuk kian meningkatkan intensitas dalam bershalawat. Tidak hanya itu, perayaan maulid dimeriahkan dengan aneka kegiatan sebagai bukti kecintaan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

 

Kisah mereka yang diangkat derajat dan merasakan berkah shalawat demikian nyata. Diceritakan oleh para pengarang kitab dan juga disampaikan ulama terdahlu, termasuk kiai yang pernah diamanahi sebagai Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH A Masduqie Mahfudh.

  

Kisahnya disampaikan oleh sejumlah santri, berdasarkan pengakuan dari Kiai Masduqie sendiri dalam banyak kesempatan. Salah satunya adalah berikut ini.

 

Bahwa shalawat dan shalat jamaah adalah dua ‘senjata’ KH Achmad Masduqie Machfudh kala belia. Tiap menerima aduan masalah dari masyarakat, selalu berwasiat untuk membaca shalawat, minimal seribu kali setiap hari dan sepuluh ribu kali setiap Kamis malam atau malam Jumat.

 

Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmah 2010-2015 yang juga pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Nurul Huda Mergosono Malang tersebut memiliki pengalaman menarik tentang shalawat Nabi, tepatnya pada tahun 1956, saat masih duduk di sebuah SLTA di Yogyakarta.

 

Suatu ketika, Masduqie muda mendapat gangguan jin di sebuah masjid tempat belajarnya sehingga selama tiga hari merasa ingin banyak makan tapi anehnya tidak bisa buang hajat. Di hari ke empat, tubuhnya pun sangat panas dan saat itu juga berpesan kepada adiknya.

 

“Dik, nanti kalau aku mati, tolong jangan bawa pulang janazahku ke Jepara tetapi dikuburkan di Yogyakarta saja,” pinta kiai yang wafat pada 1 Maret 2014 kepada sang adik.

 

Kiai Masduqie datang ke Yogyakarta berniat untuk mondok. Dirinya khawatir syahidnya hilang jika wafat di Yogyakarta namun jenazahnya dimakamkan di Jepara. Sontak saja adiknya semakin khawatir kondisinya. Maka diajaklah sang kakak menemui seorang kiai.

 

“Mari kita pergi ke kiai itu, kiai yang mas biasa ngaji di hari Ahad,” kata sang adik.

 

Kiai Masduqie menerima ajakan adiknya. Pergilah berdua naik becak dan sampai di rumah kiai dimaksud pada pukul satu malam. Ketika datang, pintu rumah kiai masih terbuka. Tentu tengah malam itu sang tuan rumah sudah tidak melayani tamu, karena sejak pukul 10 malam adalah waktu khusus untuk ibadah kepada Allah SWT.

 

Namun karena melihat Masduqie yang datang di tengah malam dengan keadaan payah, kiai pun mempersilakan beristirahat di rumah. Masduqie muda pun tertidur di rumah kiai itu. Baru beberapa jam di rumah kiai, tepatnya pukul 3 malam, terbangun karena merasa mulas ingin buang hajat. Setelah itu, rasa sakit dan panas yang dirasakan sedikit hilang.

 

Pada pagi harinya, Masduqie yang masih panas badannya bertemu dengan kiai. “Pak kiai, saya sakit.”

 

Bukannya merasa iba, kiai hanya tersenyum. Dan anehnya, rasa panas yang dirasakan hilang seketika itu.

 

Kiai berkata: 

“Mas, sampean gendeng mas.”

“Kenapa gendeng, kiai?” tanya Masduqie muda.

 “Ya, wong bukan penyakit dokter, sampean kok bawa ke dokter, ya uang sampean habis. Pokoknya kalau sampean kepengin sembuh, sampean tidak boleh pegang kitab apa pun,” jawab kiai.

 

Jangankan membaca, menyentuh saja tidak diperbolehkan. Padahal pada saat itu, Masduqie muda dua bulan lagi akan mengikuti ujian akhir sekolah.

 

“Kiai, dua bulan lagi saya ujian, kok tidak boleh pegang buku?” Masduqie muda ‘protes’ kepada kiai.

 

Seketika itu kiai menanggapinya dengan marah:

 

“Yang bikin kamu lulus itu gurumu? Apa bapakmu? Apa mbahmu?”

 

Masduqie muda menjawab: “Pada hakikatnya Allah, kiai.”

 

“Lha iya gitu!” timpal sang kiai.

 

“Lalu bagaimana syariatnya (upaya yang dilakukan), kiai?” tanya Masdqie muda lagi.

 

“Tiap hari, kamu harus baca shalawat yang banyak,” jawab, kiainya.

 

Masduqie muda kembali bertanya: “Banyak itu berapa, kiai?”

 

Sang kiai pun menjawab: “Ya, paling sedikit seribu, habis baca seribu shalawat, minta ‘dengan berkat shalawat yang saya baca, saya minta lulus ujian dengan nilai bagus’.”

 

Akhirnya Masduqie muda tidak berani memegang kitab maupun buku, karena memang ingin sembuh.

 

Mendengar cerita dari Masduqie muda, pamannya marah. “Bagaimana kamu ini? Dari Jepara ke sini, kamu kok nggak belajar?”

 

Masduqie muda tidak berani komentar apa-apa. Karena menuruti  pesan kiai untuk tidak menyentuh kitab atau buku, dia nurut saja. Dan menjelang beliau ujian, pelajaran bahasa Jerman, bukunya ternyata diganti oleh gurunya dengan buku yang baru. Karena masih dilarang menyentuh buku, maka dia tetap taat titah kiai.

 

Setelah ujian, Masduqie muda dipanggil guru bahasa Jerman.

 

Guru: Kamu her (mengulang ujian, red).

 

Masduqie: Berapa nilai saya pak?

 

Guru: Tiga!

 

Masduqie: Ya, pak. Kapan, Pak?

 

Guru: Seminggu lagi  

 

Namun setelah seminggu, Masduqie muda tidak langsung mendatangi guru bahasa Jerman, karena larangan pegang buku belum selesai.

 

Baru setelah selesai, Masduqie muda mendatangi sang guru. Masduqie: Pak, saya minta ujian.

 

Guru: Ujian apa?

 

Masduqie: Ya ujian bahasa Jerman, pak.

 

Guru: Lha kamu bodoh apa?

 

Masduqie: Lho kenapa, pak?

 

Guru: Nilai delapan kok minta ujian lagi. Kamu itu minta nilai berapa?

 

Masduqie: Lho, ya sudah Pak, barang kali bisa nilai sepuluh.

 

Dari nilai angka 3, karena shalawat, mingkem menjadi angka 8. Dan setelah itu, Kiai Masduqie tidak pernah meninggalkan untuk membaca shalawat.

 

Kepada almaghfurlah KH A Masduqie Mahfudh, alfatihah.

 


Editor:

Tokoh Terbaru