Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network

Madura

Budayawan Sumenep Ajak Pelajar NU Pertahankan Bahasa Ibu

Seminar Kebahasaan oleh PAC IPNU-IPPNU Pragaan, Sumenep. (Foto: NOJ/Firdausi).

Sumenep, NU Online Jatim

Di abad Kontemporer ini, banyak sekali perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Madura. Mulai dari busana, tingkah laku atau tatakrama, bangunan, hingga bahasa daerah.

 

Sebagai upaya mempertahankan bahasa ibu di tengah gempuran sosio kultural tersebut, Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU) Kecamatan Pragaan, Sumenep menggelar Seminar Kebahasaan, Selasa (29/06/2021).

 

Acara yang dipusatkan di aula Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pragaan ini mengusung tema ‘Masepa' Longghu, Areng Sareng Arabhet Bhasa Ebhu’, yang disiarkan secara live di kanal youtube TVNU Pragaan.

 

Budayawan Madura, Syaf Anton WR mengatakan, banyak persoalan yang muncul akibat perubahan paradigma di kalangan masyarakat hari ini. Apalagi  generasi muda yang mulai kurang tertarik pada bahasa daerah. Menurutnya, prolematika ini tidak hanya terjadi di Madura, tetapi di daerah lain seperti di Bugis, Padang, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan lainnya.

 

"Yang paling tampak adalah masyarakat perkotaan. Kami sulit menemukan orang-orang yang teguh menggunakan bahasa ibu di kota. Jika diperhatikan secara seksama, ia lebih enjoy menggunakan bahasa Indonesia," tuturnya saat jadi pembicara.

 

Perintis Sanggar Sastra Mayang itu menyebutkan, berdasarkan hasil riset yang ia lakukan, persoalan semacam ini muncul pada kisaran tahun 1980-an.

 

"Saya pernah menelusuri beberapa siswa SMA di daerah perkotaan. Jika dipersentase, siswa yang utuh menggunakan bahasa ibu hanya sekitar 25 persen. Mayoritas lebih suka menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa pasaran," keluhnya.

 

Perintis Bengkel Seni Primadona ini merasa khawatir dengan problematika semacam ini. Menurutnya, jika hal ini dibiarkan terjadi, maka lambat laun bahasa ibu akan hilang.

 

"Jika bahasa daerah hilang dari peradaban kita, maka budayanya juga akan hilang. Sebab, bahasa ibu adalah kunci utama dalam mengembangkan kebudayaan lokal," ungkapnya.

 

Penggerak Forum Kajian Sastra dan Madura itu menyebutkan, salah satu yang melatar belakangi hal tersebut ialah perkawinan antar suku etnik. Menurutnya, dua bahasa daerah tersebut akan mempengaruhi anak.

 

"Sekarang kita bebas kawin dengan etnis mana pun. Tapi kalau dulu, kita tidak bisa kawin dengan lain etnis. Jangan kaget sesepuh kita mengawinkan anaknya dengan sanak famili, seperti sepupu, atau dengan tetangganya, ya untuk hal semacam itu," imbuhnya.

 

Hal lain yang melatar belakangi, menurut Syaf Anton, ialah fenomena saat ini di mana orang tua yang tidak mengajarkan atau tidak berkomunikasi dengan anaknya dengan penuturan bahasa ibu. Ironisnya, hal ini juga dilakukan oleh petinggi.

 

"Ini persoalan berat. Rentetan persoalan ini semakin rumit dan penuh tanda tanya," ujar Mantan Dewan Kesenian Sumenep tersebut.

 

Namun demikian, dirinya bersyukur karena masyarakat pedesaan masih menggunakan bahasa ibu. Meski di sisi lain terkadang ada pula yang menggunakan bahasa tambahan saat berkomunikasi bahasa Madura.

 

Baca juga: Nahdliyin Diharapkan Terus Merespons Tantangan Kekinian

 

"Semisal menggunakan kata ‘situ’ untuk menyebut ‘kamu’ dan yang lainnya,” jelas Syaf Anton.

 

Dirinya pun mengajak, hendaknya generasi muda khususnya pelajar NU merasa bangga dan lebih aktif menggunakan bahasa ibu atau bahasa Madura dalam komunikasi sehari-hari,

 

“Karena hal ini sebagai upaya dalam merawat dan melestarikan warisan leluhur terdahulu,” pungkasnya.

 

Editor: A Habiburrahman

Firdausi
Editor: A Habiburrahman

Artikel Terkait