Konflik Iran Israel, Gus Nadhir Serukan Kembali Memanusiakan Kemanusiaan
Jumat, 20 Juni 2025 | 18:00 WIB
Surabaya, NU Online Jatim
Konflik Iran-Israel kian hari semakin memanas. Eskalasi serangan kedua pihak semakin mengkhawatirkan. Rencana damai lewat jalur diplomasi masih sangat sulit untuk dilakukan. Melihat hal ini, Prof Nadirsyah Hosen, cendekiawan NU, mengomentari konflik kedua negara ini dalam sebuah tulisan yang panjang yang diunggah dalam instagram pribadinya.
"Tulisan ini merupakan eksplorasi multidimensional atas konflik Iran dan Israel, yang disajikan dalam naratif yang menggugah, informatif, dan kritis. Dengan menggabungkan pendekatan historis, geopolitik, hukum internasional, dan dimensi spiritual-agama, saya mengajak pembaca menyelami lebih dalam konflik yang kerap disederhanakan sebagai perang dua negara," tulis Prof Nadhirsyah dalam akun Instagram pribadinya @nadirsyahhosen_official dikutip pada Jum'at (20/6/2025).
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Menurutnya, Persia dan bangsa Yahudi merupakan jejak cinta di tengah amarah. Kenapa demikian? Karena kisah masa lalu yang jarang disorot, tentang kedekatan historis antara Persia dan Yahudi, mulai dari pembebasan mereka oleh Cyrus Agung hingga kontribusi kaum Yahudi dalam peradaban Islam.
"Akan tetapi, hari ini kita lupa bahwa Persia dulu pernah menyelamatkan Yahudi. Mereka pernah hidup berdampingan, menulis dalam aksara berbeda, tapi tertawa dalam bahasa yang sama, yakni bahasa kemanusiaan," ungkapnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Selanjutnya, Gus Nadhir, sapaan akrabnya mengajak untuk membongkar akar konflik Iran-Israel. Ia menelusuri transformasi hubungan keduanya dari sekutu strategis menjadi musuh ideologis, dengan sorotan tajam terhadap perubahan politik pasca-Revolusi Iran 1979, perang proksi yang berlarut-larut, dan permainan geopolitik di balik retorika permusuhan.
Maka dari itu, salah satu aspek yang sering terabaikan dalam diskusi tentang konflik ini adalah, meskipun secara publik Iran bersikap anti-Israel, terdapat momen-momen pragmatisme dalam sejarah hubungan kedua negara. Misalnya, selama Perang Iran-Irak (1980-1988), Israel memberikan dukungan militer kepada Iran, termasuk dalam bentuk penjualan senjata.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
"Selain itu, Iran telah menggunakan retorika dukungan terhadap Palestina untuk memperkuat posisinya di dunia Muslim, meskipun tindakan nyata terhadap kemerdekaan Palestina sering kali terbatas," terangnya.
"Konflik Iran-Israel adalah hasil dari kombinasi kompleks antara perubahan rezim, pergeseran ideologi, dan kepentingan geopolitik. Memahami sejarah panjang hubungan kedua negara ini, termasuk masa-masa koeksistensi dan kerja sama, dapat membuka jalan bagi dialog dan solusi damai di masa depan," jelas Gus Nadhir.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Lebih jauh, bagian yang menyentak adalah dimana agama dijadikan alat mobilisasi, dan perang berubah menjadi komoditas yang menguntungkan. Di balik ayat dan seruan suci, ada panggung kapitalisme. Agama dijadikan narasi, senjata jadi komoditas. Dan umat, dikorbankan di altar kekuasaan.
Ia menyoroti bahwa, umat tak sedang menyaksikan perang suci, namun kolaborasi gelap antara tafsir yang dipelintir dan pasar yang rakus.
"Jadi, melalui narasi yang tajam dan menggugah nurani, tulisan ini bukan sekadar analisis konflik, melainkan panggilan untuk kesadaran baru-bahwa perdamaian tidak akan datang dari senjata atau propaganda, melainkan dari keberanian kolektif untuk memanusiakan kembali kemanusiaan", pungkas Gus Nadhir.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
ADVERTISEMENT BY ANYMIND