Rehat

Tragedi Karbala dalam Timbangan Ahlussunnah wal Jamaah

Sabtu, 5 Juli 2025 | 17:00 WIB

Tragedi Karbala dalam Timbangan Ahlussunnah wal Jamaah

Ilustrasi tragedi Karbala. (Foto: Istimewa)

Oleh: M Husnu Widadi *)

Salah satu tragedi besar dalam sejarah Islam, yaitu wafatnya Sayyidina Husain bin Ali, cucu Rasulullah SAW, dalam tragedi Karbala. Peristiwa ini merupakan musibah besar yang menyayat hati setiap Muslim, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah:

 

فكل مسلم ينبغي له أن يحزنه هذا الذي وقع من قتله، رضي الله عنه، فإنه من سادات المسلمين وعلماء الصحابة، وابن بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم التي هي أفضل بناته، وقد كان عابدا وشجاعا وسخيا

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Artinya: “Setiap Muslim yang mencintai keluarga Rasulullah SAW patut bersedih atas peristiwa Karbala. Al-Ḥusain bukan hanya cucu Nabi, tetapi juga termasuk di antara tokoh terkemuka umat Islam, seorang sahabat mulia, ahli ibadah, pemberani, dan dermawan.”

 

Meski kesedihan atas wafatnya Sayyidina Ḥusain bin Ali dibenarkan, Ibnu Katsir mengkritik keras sikap berlebihan kaum Syiah Rafidhah, yang menjadikan hari wafatnya sebagai ritual tahunan penuh ratapan, tangisan, bahkan pertunjukan diri seperti menyiksa badan dan menangis histeris. Menurut Ibnu Katsir, banyak dari aksi tersebut hanyalah kepura-puraan dan riya’, bukan bentuk kesedihan yang tulus.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Ibnu Katsir kemudian membandingkan peristiwa kematian Ḥusain bin Ali dengan kematian tokoh-tokoh besar lainnya dalam Islam, antara lain Umar bin Khattab yang dibunuh saat sedang shalat Shubuh, namun umat tidak menjadikannya hari ratapan. Utsman bin Affan, dibunuh dalam keadaan dikepung dan membaca Al-Qur’an, namun tidak diperingati dengan upacara duka seperti Karbala.

 

Tak cukup itu, Ali bin Abi Thalib, ayah Ḥusain, dibunuh saat hendak shalat Shubuh di bulan Ramadhan, namun tidak dijadikan hari berkabung tahunan. Bahkan, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Rasulullah SAW sendiri, wafatnya tidak pernah diperingati dengan ratapan berlebihan. (Abul Fida’ Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, 11/579)

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Dengan demikian, tidak pantas bagi kaum Muslimin meniru tradisi kelompok yang menjadikan tragedi Karbala sebagai ritual yang menyalahi adab Islam terhadap musibah. Sikap terbaik saat mengingat tragedi Karbala dan musibah-musibah lain dalam sejarah Islam adalah dengan mengucapkan istirja’ Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un, dan mengingat bahwa setiap musibah akan diberi ganjaran oleh Allah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Ḥusain sendiri dari Rasulullah SAW:

 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ وَلَا مُسْلِمَةٍ يُصَابُ بِمُصِيبَةٍ فَيَذْكُرُهَا وَإِنْ طَالَ عَهْدُهَا قَالَ عَبَّادٌ قَدُمَ عَهْدُهَا فَيُحْدِثُ لِذَلِكَ اسْتِرْجَاعًا إِلَّا جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ فَأَعْطَاهُ مِثْلَ أَجْرِهَا يَوْمَ أُصِيبَ بِهَا

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Artinya:“Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah, lalu ia mengingatnya kembali meski sudah lama terjadi dan mengucapkan istirja’, kecuali Allah akan memberinya pahala seperti saat pertama kali ia tertimpa musibah tersebut.” (HR. Ahmad, No. 1644)

 

Hadits ini memberikan pelajaran penting bahwa kesedihan terhadap musibah adalah wajar, tetapi harus disikapi dengan cara yang proporsional, sabar, dan sesuai sunnah, tanpa jatuh dalam perbuatan bid’ah, histeria, atau sikap ekstrem yang merusak akidah dan adab.

 

Dalam Islam, ketika seseorang tertimpa musibah, termasuk kehilangan orang yang dicintai, syariat mengajarkan kesabaran, keridhaan terhadap takdir, dan pengendalian emosi, bukan dengan ratapan berlebihan, merobek pakaian, atau menampar wajah. Semua tindakan tersebut termasuk dalam perilaku jahiliyah yang dilarang secara eksplisit oleh Rasulullah SAW.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

 

Artinya: “Bukan dari golongan kami orang yang menampar pipi, merobek baju, dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (HR. Bukhari, No. 1212)

 

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga memperingatkan terutama bagi seseorang yang meratapi kematian dengan cara yang tidak dibenarkan. Nabi SAW bersabda:

 

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

 

Artinya: “Wanita yang meratapi kematian (niyahah) dan tidak bertaubat sebelum meninggalnya, maka kelak pada hari kiamat akan dikenakan pakaian dari ter (zat aspal panas) dan baju dari kudis. (HR. Muslim, No. 934)

 

Bahkan tidak ada satupun riwayat yang shahih dari keturunan al-Husain seperti Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far Shadiq dan para keturunan beliau lainnya, yang menunjukkan bahwa mereka menangis histeris, menampar diri, atau merobek pakaian untuk mengenang peristiwa Karbala.

 

Padahal, mereka adalah ahli bait Rasulullah SAW dan orang-orang yang paling berhak bersedih atas wafatnya al-Ḥusain. Hal ini menjadi bukti bahwa ajaran dan keteladanan ahlul bait sejati adalah bersikap sabar dan tabah, bukan melakukan tindakan emosional yang dilarang.

 

Segala bentuk ratapan yang berlebihan seperti pukul-pukul dada, atau aksi teatrikal dalam memperingati wafatnya al-Ḥusain, bukanlah bentuk ibadah apalagi bentuk kecintaan sejati kepada ahlul bait. Hal demikian justru merupakan perilaku jahiliyah yang dilarang dalam agama, dan tidak pernah diperintahkan oleh syariat Islam. Adapun yang disebarkan bahwa menangis atau menyiksa diri saat Asyura memiliki pahala, semuanya tidak benar dan tidak memiliki dasar yang shahih dalam hadits.

 

Mari sejenak kita hadiahkan do’a untuk para syuhada dalam tragedi Karbala. Al-fatihah.

 

*) M Husnu Widadi, Santri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND