Walau tak kasat mata, keberkahan itu nyata dan ada. Dalam keseharian, keberkahan itu terasa sekali dan beragam bentuknya. Keberkahanlah yang acap kali membuat sesuatu yang nampak receh tak lagi remeh. Keberkahan ini pulalah yang mengubah nasib seseorang yang mulanya bukan siapa-siapa lantas menjadi apa-apa.
Itulah sebabnya, beragam laku dilakukan seseorang agar diraihnya keberkahan dalam hidup. Bagi seorang murid, keberkahan bisa diraihnya dengan berkhidmah kepada gurunya. Pun juga sebaliknya, guru juga bisa meraih keberkahan dari muridnya.
Elok budi inilah yang coba dilakukan oleh Imam Syafi’i RA kepada muridnya yang bernama Imam Ahmad bin Hambal. Beliau tabarukan (mencari berkah) dari sang murid. Adapun Imam Syafi'i bertabarukan dengan air bekas basuhan baju milik Imam Ahmad bin Hambal yang tidak lain adalah muridnya sendiri.
Suatu hari, Imam Syafi’i berkirim surat kepada Imam Ahmad bin Hambal melalui Rabi’ bin Sulaiman. Singkat cerita, Rabi’ bertemu Imam Ahmad bin Hambal di kediamannya sesaat setelah shalat Shubuh. Bergegas ia menyampaikan amah dari Imam Syafii.
Tidak lama berselang, Imam Ahmad membuka surat tersebut dan membacanya. Sebagai ungakapan terimaksihnya kepada Rabi’, Imam Ahmad mencopot baju gamis yang menempel di tubuhnya dan diberikan kepada Rabi’.
Rupanya, surat yang ditulis Imam Syafi’i adalah perintah dari nabi dan baginda nabi nitip salam untuk Imam Ahmad bin Hambal.
اكْتُبْ إِلى أَبي عَبْدِ اللهِ وَاقرأ عَلَيْهِ السَّلامَ وَقُلْ لَهُ إِنَّكَ سَتُمْتَحَنُ فَلا تُجِبْهُمْ فَيَرْفَعُ اللهُ لَكَ عَلَمًا إِلى يَوْمَ الْقِيامَةِ
Artinya: “Kirimkan surat kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) dan bacakan salamku kepadanya. Kemudian katakan padanya, ‘Sesungguhnya Engkau akan mendapat cobaan besar. Ketika itu jangan Engkau turuti mereka maka Allah akan mengangkat namamu hingga hari kiamat.”
Setelah urusan selesai, Rabi’ kembali pulang ke Mesir. Ia segera menemui Imam Syafii dan memberikan surat balasan dari Imam Ahmad.
Setelah itu Imam Syafii bertanya, “Apa yang diberikannya padamu?”
Rabi’ menjawab, “Ia memberikan baju gamisnya.”
Imam Syafi'i melihat kegembiraan yang terpancar dari Rabi’ karena menerima baju tersebut. Kemudian Imam Syafi'i berkata,
لَيْسَ نَفْجَعُكَ بِهِ وَلَكِنْ بُلَّهُ وادْفَعْ إِليّ الْمَاءَ لأَتَبَرَّكَ بِهِ
Artinya: “Kami bukan hendak menyusahkanmu dengan (memintamu memberikan baju itu padaku), namun basuhlah baju itu kemudian berikan air basuhannya padaku agar aku bisa bertabarruk dengannya.”
Ya, Imam Syafi’i tabarukan dengan air basuhan baju milik muridnya. Cara tabarukan yang anti mainstream. Saya pribadi belum bisa menirunya.
Walau begitu, spiritnya bisa dicopy paste atau ditiru. Intinya, kerendahan hati. Selama masih ada kalimat, ‘aku gurumu’ dan ‘kamu muridku’, maka itu artinya kita masih tinggi hati.