Rehat

Makna dan Filosofi Tradisi Lebaran Ketupat

Senin, 7 April 2025 | 19:00 WIB

Makna dan Filosofi Tradisi Lebaran Ketupat

Ilustrasi ketupat. (Foto: istockphoto)

Umat Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, mengenal dua kali lebaran di bulan Syawal, yakni lebaran Idul Fitri dan lebaran ketupat atau biasa disebut Kupatan. Bila Idul Fitri diperingati pada tanggal 1 Syawal dalam setiap tahunnya, maka lebaran Ketupat diperingati pada tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah lebaran Idul Fitri.

 

Lebaran ketupat diperingati setelah umat Islam melaksanakan 6 hari puasa Syawal dari tanggal 2 Syawal. Jika dilihat dari sejarahnya, sebagaimana dilansir dari laduni.id, menyebutkan tradisi lebaran Ketupat sudah ada sejak zaman Walisongo, yakni Sunan Kalijaga sebagai salah satu penyebar agama Islam di tanah Jawa sekaligus yang mempopulerkan lebaran Ketupat. 

 

Sunan Kalijaga saat itu membawa ajaran puasa enam hari di bulan Syawal yang memang diajarkan untuk umat Islam. Hal ini sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits  Rasulullah SAW berikut:

 

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

 

Artinya: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkan enam hari di bulan Syawal, maka baginya (pahala) seperti puasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim )

 

Atas dasar itulah, Sunan Kalijaga mengenalkan puasa Syawal yang bisa dimulai tanggal 2 sampai 7 Syawal atau selama enam hari berturut-turut. Kemudian pada 8 Syawal orang-orang kembali merayakan lebaran yang disebut sebagai "Lebaran Ketupat".

 

Makna Filosofis Ketupat
Dalam tradisi Jawa sebuah nama itu pasti mengandung arti yang dalam, termasuk kata "kupat" atau yang dikenal juga dengan "ketupat". Istilah "kupat" merupakan singkatan dari kata "Ngaku Lepat" (mengakui kesalahan) dan dari kata "Laku Papat" (empat tindakan).

 

Prosesi "Ngaku Lepat" diimplemantasikan biasanya dengan tradisi "sungkeman", yaitu seorang anak bersimpuh memohon maaf di hadapan orang tuanya. Dari tradisi itu kita diajarkan supaya menghormati orang yang lebih tua dan memohon maaf serta meminta bimbingan serta ridhanya. Berkaitan dengan hal ini, Imam al-Nawawi mengatakan:

 

وَلا يُكْرَهُ تَقْبِيلُ الْيَدِ لِزُهْدٍ وَعِلْمٍ وَكِبَرِ سِنٍّ

 

Artinya: “Tidak makruh mencium tangan karena kezuhudan, keilmuan dan faktor usia yang lebih tua.” (al-Imam al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, juz 10, halaman 233)

 

Simbol tradisi sungkeman atau meminta maaf itu berupa kupat atau ketupat. Sebab saat kita berkunjung ke rumah kerabat, maka biasanya akan diberi suguhan berupa ketupat dan diminta untuk dicicipi atau dimakan. Apabila ketupat itu dimakan, maka secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala kesalahan serta kekhilafan yang pernah terjadi antar keduanya akan terhapus.

 

Jika dilihat dari bahan pembuatan kupat, maka juga ada makna filosofis tersendiri. Misalnya, kenapa harus dibungkus dengan "janur", yaitu sebutan dari daun muda pohon kelapa. Dalam istilah Jawa, "janur", mempunyai arti tersendiri yang mana asli kata tersebut diambil dari bahasa Arab berupa “Ja’a Nur” (telah datang cahaya).

 

Selain itu, bentuk fisik kupat yang berupa segi empat adalah ibarat hati manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahan, maka hatinya seperti kupat yang dibelah, isinya putih bersih. Hati yang kembali suci tanpa iri, dengki dan kotoran-kotoran lainnya, karena telah terbungkus oleh "janur" yang merefleksikan cahaya, sebagaimana asal katanya "Ja’a Nur" (telah datang cahaya).

 

Kemudian untuk istilah "kupat" yang merupakan singkatan dari "Laku Papat", Sunan Kalijaga menjelaskannya dengan menggunakan empat kata atau istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa, yakni lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Secara hakikat, makna 'lebaran' berarti berakhirnya waktu bulan puasa Ramadhan dan telah siap menyongsong hari raya Idul Fitri (kembali suci). 

 

Setelah itu, 'luberan' yang bermakna melebur atau melimpah seperti air yang tumpah, karena sudah terisi penuh. Pesan moral 'luberan' adalah membudayakan diri agar senang berbagi kepada orang lain yang tidak mampu dengan membayar zakat yang diwajibkan. Karena hakikat zakat itu sendiri adalah hak orang miskin yang harus diberikan, dan dengan zakat itu harta yang dimiliki menjadi tersucikan. Berbagi keoada orang lain dalam bentuk zakat ini sudah ditetapkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah:

 

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا 

 

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103)

 

Sedangkan 'leburan' bermakna habis atau menyatu. Artinya momen lebaran itu adalah untuk melebur dosa terhadap satu dengan yang lainnya dengan cara meminta maaf dan memberi maaf, sehingga dosa kita dengan sesama bisa terhapuskan.

 

Terakhir, 'laburan' dari kata 'labur' atau 'kapur'. Kapur merupakan zat pewarna berwarna putih yang bisa digunakan untuk menjernihkan benda cair. Dari laburan ini bisa dipahami bahwa di momen tersebut seorang Muslim harus bisa kembali jernih nan putih layaknya kapur yang menjadi simbol supaya manusia bisa menjaga kesucian lahir dan batinnya. Sebagaimana yang tertera dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Zanjawiyah:

 

إِنَّ اللّٰهَ جَلَّ وَعَلَا جَعَلَ الْعِيْدَ لِيَتَذَكَّرَ النَّاسَ الْفِطْرَةَ

 

Artinya: Sesungguhnya Allah menjadikan hari Raya Idul Fitri agar umat manusia ingat kepada fitrah, yakni saat Allah menjadikan mereka dalam keadaan suci belum terlibat dosa dan noda. (Isnad hadits ini disahkan oleh Ibnu Ma'in)

 

Demikian penjelasan tentang makna dan filosofi lebaran ketupat. Semoga tradisi yang telah lama terjaga ini tetap bisa dilestarikan, dengan begitu mampu menjadi salah satu budaya keislaman yang tidak punah dari tanah Jawa. Wallahu a'lam.