• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Matraman

Tradisi Gunungan Ketupat di Nganjuk Diserbu Warga, Begini Filosofinya

Tradisi Gunungan Ketupat di Nganjuk Diserbu Warga, Begini Filosofinya
Antusiasme masyarakat di Nganjuk saat mengikuti kirab gunungan ketupat. (Foto: NOJ/ Haafidh Nur Siddiq Yusuf).
Antusiasme masyarakat di Nganjuk saat mengikuti kirab gunungan ketupat. (Foto: NOJ/ Haafidh Nur Siddiq Yusuf).

Nganjuk, NU Online Jatim
Tradisi kirab gunungan ketupat di Kabupaten Nganjuk kembali digelar tahun ini, tepatnya di Desa Kedungrejo, Kecamatan Tanjunganom, Nganjuk. Sebanyak kurang lebih seribu ketupat yang dibentuk gunungan diserbu warga.


Sebelum gunungan ketupat diperebutkan, terlebih dahulu dilakukan kirab dari salah satu mushala desa setempat. Kirab gunungan dimulai pukul 06.00 WIB, keliling kampung dan kemudian berhenti di Masjid Al-Huda. Tradisi turun-temurun itu dihadiri sekitar 600 orang, termasuk Muspika, kepala desa, dan tokoh masyarakat setempat.


“Kita menyiapkan tiga gunungan ketupat besar yang diarak dari salah satu mushala menuju Masjid Al-Huda. Kemudian setelah dibacakan doa oleh salah seorang kiai, gunungan ketupat dibagikan ke semua pengunjung,” ungkap salah satu panitia penyelenggara acara, Subhan Shofwan saat ditemui NU Online Jatim, Senin (09/05/2022).


Subhan menuturkan, tradisi tersebut adalah perayaan lebaran ketupat setelah puasa Syawal. Menurutnya, kegiatan tersebut mempunyai filosofi mendalam. Yakni, bermakna ketupat sebagai simbol pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan kepada Allah SWT dan sesama manusia.


“Dalam rangka menyemarakkan hari raya ketupat, dalam tradisi Jawa adalah riyaya kupat, yang merupakan perwujudan hari rayanya orang yang berpuasa di bulan Syawal sebagaimana yang disyariatkan oleh Rasulullah SAW,” sambungnya.


Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menambahkan, bahwa ketupat dijadikan sebuah simbol yaitu karena kata ‘ketupat’ atau ‘kupat’ berasal dari bahasa Jawa, yaitu ngaku lepat. Arti dari ‘ngaku lepat’ adalah mengakui kesalahan.


“Saya berharap agar budaya kupatan semacam ini dapat lestari, karena di dalamnya terkandung nilai shadaqah, doa, dan budaya dengan saling memaafkan atas ngaku lepat itu,” katanya.


Sementara seorang warga yang ikut berebut gunungan ketupat, Zaky Alfaizin mengaku senang karena acara berlangsung seru. Apalagi menurutnya masyarakat bisa berkumpul kembali setelah dua tahun berada di masa pandemi Covid-19.


"Tadi seru sekali. Alhamdulillah, senang bisa kumpul," pungkasnya.


Matraman Terbaru