Pondok Denanyar termasuk salah satu pesantren selain Darul Ulum Peterongan yang kerap saya jadikan tempat nginap jika di Jombang. Kira-kira tahun 1994-1995-an saat liburan pondok, awal saya main ke Denanyar Jombang. Kebetulan Gus Aik (Gus Ahmad Athoillah) teman sejak ibtidaiyah di Ploso. Pada tahun itu pula saya pertama sungkem KH. Imam Haromain yang masih menjabat Kepala Kementerian Agama Sidoarjo. Rumah dinasnya dekat Pasar Larangan.
Dua tahun kemudian beliau berangkat haji yang kebetulan maktab saya juga dekat dengannya di Jarwal Taisir. Namun sayang tidak ada kesempatan untuk berjumpa.
Kiai yang berasal dari Mojowarno ini masih keturunan KH. Hasan Sanusi (Mbah Guru) yang kemudian diunduh menantu oleh KH. Ahmad Athoillah bin KH. Bisri Syansuri. Sehingga, nama putra pertama KH. Imam Haromain yaitu, Ahmad Athoillah tafaulan kepada kakeknya sendiri.
Guru madrasah dari Cak Imin maupun Gus Ipul ini terbilang sosok istimewa karena memang kealimannya komplit, sebab penguasaan ilmu agama dan ilmu umum sangat mumpuni.Tak heran jika kemudian diunduh menantu Denanyar.
Banyak sekali kenangan indah tentang beliau mulai dari saat menjabat jadi Kepala Kementerian Agama Sidoarjo, Kanwil Kementerian Agama Jatim dan Kanwil Kementerian Agama Jateng. Namun satu hal yang selalu sama yaitu mengingatkan shalat lima waktu dan tekun ngaji.
Ayah dari Azah Haromain dan Athiyah Haromain ini termasuk penyuka mobil sedan, kebetulan tahun 1995 sedan yang dimiliki adalah Honda Maestro dan saya mendapat kesempatan berkali-kali diajak naik untuk sekedar mencari makanan di Jombang.
KH. Imam Haromain adalah Kiai edisi komplit, tampan, alim kitab, quran, bersuara merdu, disiplin, mulia akhlaknya dan lembut halus tutur katanya. Beliau tipikal Kiai penyabar yang jarang membentak santri dan putra-putrinya.
Tidak cukup itu, beliau juga kiai yang loman. Hal ini saya merasakan langsung. Beliau tidak segan-segan memberi bingkisan hadiah kepada siapa saja yang dikenal. Termasuk hadiah sarung BHS kepada saya. Beliau ringan tangan membantu masyarakat, santri dan alumni yang kebetulan butuh bantuan finansial.
Masih teringat setiap jelang subuh, beliau membangunkan santri dan putra-putrinya agar shalat subuh. Beliau istiqamah mengimami sholat subuh di masjid Denanyar dengan bacaan yang fasih dan merdu.
Keistimewaan pada diri beliau yang hingga kini terekam baik adalah beliau kiai yang nyanak, nyedulur. Meski saya bukan anggota keluarga Denanyar, beliau kerap memperlakukan saya layaknya keluarga. Kadang beliau memanggil saya "Mas Karomi" atau "Karomi", sebuah panggilan khas kekeluargaan.
Sebutan family man mungkin tidak berlebihan jika disematkan pada beliau. Tepatnya, lelaki yang mencintai keluarganya. Beliau sangat intens menelpon istri putra-putrinya ketika sedang tugas untuk sekedar menanyakan kabar.
Pasangan Serasi Dunia Akhirat
Pernah KH. Imam Haromain dan Ibu Nyai Hamidah silaturahim ke rumah Manyar Surabaya untuk sekedar mengenal kedua orang tua saya. Saya merasa kikuk, pasalnya beliau kiai pengasuh pondok besar kok menyempatkan mampir ke rumah saya.
Bagi saya KH. Imam Haromain dan Bu Nyai Hamidah merupakan pasangan serasi hingga dunia akhirat, sebab saya menyaksikan sendiri bagaimana kedua pasangan ini saling support, saling melengkapi dan menyayangi.
Meski KH. Imam Haromain berprofesi sebagai PNS, sedangkan Bu Nyai Hamidah buka usaha toko kelontong bernama Toko Nusantara, namun keduanya bahu-membahu merawat santri Asrama Sunan Ampel.
Selamat jalan KH. Imam Haromain, panjenengan Insyaallah kecatet husnul khatimah. Kepergian panjenengan ditangisi oleh bumi. Semoga dikumpulkan dengan Mbah Bisri, Mbah Ahmad, Bu Nyai Hamidah dan para muassis NU.