Rehat

Menapaki Tingkatan Membaca Al-Qur’an: dari Sekadar Lisan Menuju Kedalaman Jiwa

Sabtu, 9 Agustus 2025 | 16:00 WIB

Menapaki Tingkatan Membaca Al-Qur’an: dari Sekadar Lisan Menuju Kedalaman Jiwa

Ilustrasi anak-anak sedang membaca Al-Quran. (Foto: Istimewa)

Membaca Al-Qur’an sering kali dipahami hanya sebatas aktivitas melafalkan ayat-ayat suci dengan tartil dan tajwid yang baik. Padahal, membaca Al-Qur’an adalah proses bertahap yang jika dilakukan dengan kesadaran dan keistiqamahan, akan membentuk karakter, mengubah pola pikir, dan bahkan membangun peradaban.

 

Dalam khazanah keislaman, ada beberapa tingkatan dalam membaca Al-Qur’an yang secara bertahap membawa pembacanya dari aspek fisik menuju spiritual dan sosial. Empat di antaranya adalah qira’ah, tilawah, tartil, dan tadabbur.

 

Pertama, adalah Qira’ah, yakni membaca Al-Qur’an secara verbal. Pada tahap ini, seseorang memulai perkenalan dengan kalam Allah melalui pelafalan, entah secara lancar atau terbata-bata. Qira’ah adalah bentuk paling dasar dari membaca, namun tetap mengandung nilai ibadah yang besar. Dalam Surat Al-‘Alaq ayat 1, Allah berfirman:

 

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ

 

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!” (QS. Al-Alaq: 1)

 

Perintah ini adalah wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW, menandakan bahwa proses membaca memiliki posisi fundamental dalam Islam. Qira’ah juga disebut dalam penggalan Surat Al-Muzzammil ayat 20:

 

فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاٰنِۗ

 

Artinya: “Oleh karena itu, bacalah (ayat) Al-Qur’an yang mudah (bagimu).” (QS. Al-Muzzammil: 24)

 

Intinya adalah memberikan kelonggaran bagi umat Islam untuk membaca ayat-ayat yang mudah sesuai kemampuan. Artinya, Allah tidak menuntut kesempurnaan teknis, tapi keikhlasan dan kesungguhan.

 

Namun, Qira’ah belum menyentuh aspek transformasi diri. Ia masih berada di ranah ritual, meskipun tetap memiliki nilai pahala dan menjadi pintu masuk untuk tingkatan selanjutnya.

 

Kedua, yaitu Tilawah. Kata ini bukan hanya berarti membaca, tapi juga mengikuti, menjalani, dan mengamalkan. Dalam Surat Al-‘Ankabut ayat 45, disebutkan:

 

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

 

Artinya: “Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45)

 

Tilawah berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan hidup. Bacaan tidak lagi berhenti di lisan, tetapi mulai menubuh dalam sikap dan perbuatan. Orang yang membaca pada tingkat tilawah akan berusaha menjauhi perbuatan keji dan mungkar sebagai refleksi dari interaksi batin dengan firman Tuhan.

 

Inilah titik penting di mana Al-Qur’an mulai “menggerakkan” manusia. Tilawah mengubah bacaan menjadi pedoman, nilai-nilai menjadi tindakan. Tilawah adalah bentuk kesalehan yang konkret, bukan sekadar seremonial.

 

Ketiga, adalah Tartil, yakni membaca Al-Qur’an dengan perlahan, penuh ketelitian, dan penghayatan. Surat Al-Muzzammil ayat 4 menekankan:

 

اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ

 

Artinya: “Atau lebih dari (seperdua) itu. Bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil: 4)

 

Tartil bukan hanya tentang tempo bacaan. Ia menuntut pembaca untuk memikirkan struktur ayat, makna kalimat, dan kandungan pesan dalam setiap lafaz. Pada tahap ini, membaca Al-Qur’an menjadi pengalaman spiritual yang menyentuh kalbu, menenangkan jiwa, dan memperhalus akhlak.

 

Lebih jauh, tartil menginspirasi lahirnya kebudayaan dan peradaban. Al-Qur’an yang dibaca dengan tartil melahirkan gagasan, nilai sosial, hingga sistem hidup yang berkeadaban. Ini terbukti dalam sejarah Islam ketika peradaban berkembang pesat berkat semangat umat dalam membaca, menafsirkan, dan menerapkan isi Al-Qur’an dalam kehidupan.

 

Keempat, merupakan Tadabbur, yakni membaca Al-Qur’an dengan perenungan mendalam. Dalam tahap ini, seseorang tidak hanya memahami makna ayat, tetapi juga merenungkannya dalam konteks eksistensi, kehidupan akhirat, dan relasi dirinya dengan Sang Pencipta.

 

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا

 

Artinya: “Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

 

Tadabbur adalah proses kontemplatif. Ia mengajak kita untuk melihat diri sendiri di dalam Al-Qur’an, menemukan nasib dan masa depan, dan memperbaiki diri. Pada titik ini, bacaan menjadi cermin, dan ayat-ayat menjadi jalan pulang ke fitrah.

 

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا

 

Artinya: “Tidakkah mereka menadaburi Al-Qur’an? Seandainya (Al-Qur’an) itu tidak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 82)

 

Jika Qira’ah adalah membaca dalam arti dasar, maka Tilawah, Tartil, dan Tadabbur adalah bentuk Al-Qira’ah Al-Muntijah –membaca yang produktif. Membaca seperti ini bukan hanya menambah pahala, tetapi juga menciptakan perubahan nyata. Membaca yang menghasilkan dampak sosial, moral, bahkan peradaban.

 

Di tengah tantangan zaman, Muslim hari ini tidak cukup hanya berhenti di Qira’ah. Kita perlu naik level. Membaca Al-Qur’an tidak boleh sekadar menjadi rutinitas kosong, melainkan harus menjadi proses pembentukan diri yang berkelanjutan. Mulailah dari Qira’ah, lalu teruslah naik: ke Tilawah, Tartil, hingga akhirnya Tadabbur. Karena di sanalah kita benar-benar akan merasakan bagaimana Al-Qur’an hidup dalam diri kita.