Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network

Tokoh

Abah Thoyib dan Filosofi Kopiah Putih

Kiai Abdullah Faqih Langitan dan Abah Thoyib Krian (Foto: NOJ/ Halaqoh.net)

Seperti biasanya, abah Thoyib Krian menemui tamu dari berbagai daerah. Ruang tamu yang dipusatkan dalam kamar berpintu mungil itu penuh. Tiba-tiba terdengar suara meninggi dari Abah Thoyib kepada salah satu tamu berkopiah hitam yang dikenal dengan Cak Kaji.
 

“Riko iku wes munggah kaji, nek mrene maneh gak oleh nggawe kopiah ireng” (kamu itu sudah naik haji, kalau ke sini lagi tidak boleh menggunakan kopiah hitam). Tegas beliau.
 

Cak Kaji itu pun hanya menunduk tidak berani membantah dan tidak menanyakan alasannya. Kejadian ini disaksikan oleh tamu yang lain sehingga menjadi peraturan tak tertulis bagi siapa saja yang akan sowan ke Sumengko. Khususnya yang sudah naik haji.
 

Beberapa waktu kemudian, ayah saya sowan ke Abah Thoyib. Sesampainya di Sumengko, beliau buru-buru membuka sunvisor (penahan sinar matahari) mobil. Ternyata yang dicari adalah kopiah putih.
 

"Waduh, kopiah putihku ketinggalan”, kata ayah.
 

Tiba di depan gerbang ndalem, muncul khodam yang kebetulan kenal akrab dengan ayah.
 

“Cak, kapan tekoe?” tanya khodam itu.
 

“Siktas iki kate sowan”, jawab ayah
 

“Tapi aku gak nggowo kopiah putih”, terangnya
 

“Iki nggawe kopiahku ae’, ucap khodam menawarkan kopiahnya.
 

Secepat kilat ayah meminjam kopiah putih milik khodam.
 

Perlu diketahui, salah satu kebiasaan Abah Thoyib adalah memberangkatkan khodamnya naik haji, sehingga tidak mengherankan bila beberapa khodam ndalem sudah menunaikan salah satu rukun Islam tersebut.
 

Satu-persatu tamu pamit pulang, tiba giliran ayah dipanggil masuk kamar ndalem. Setelah semua sungkem, Abah Thoyib menyampaikan beberapa pesan tentang “ngaji bab tirakat” seperti bagaimana hakikat berpuasa daud, sholat sunnah 100 rakaat, makan nasi jagung, tidak gemar mampir warung, dll. Tiba-tiba Abah Thoyib menyinggung tentang kopiah putih. Kurang lebih narasinya begini:
 

“Ji, sakiki akeh kaji sing gak ngajeni kajine dewe”
(Ji, sekarang banyak orang Haji yang tidak memuliakan hajinya sendiri)
 

“Contohe kados pripun?”, tanya ayah.
(contohnya seperti apa?)
 

“Kopiahan putih iku salah siji ngajeni kajine” jawab Abah Thoyib
(memakai kopiah putih itu salah satu memuliakan hajinya sendiri)
 

“Soale kaji iku larang yo soro, makane iku kaji-kaji sing mrene wajib kopiahan putih”
(sebab haji itu ibadah yang mahal dan berat, oleh karena itu, mereka yang sudah naik haji bila berkunjung kesini wajib memakai kopiah putih)
 

Setelah sowan secukupnya, ayah pun pamit pulang, dan pesan itu membekas hingga sekarang. Memang, dawuh Abah Thoyib sekilas hanya mencerminkan penampilan semata, akan tetapi sesungguhnya memiliki makna yang dalam. 
 

Dalam satu kesempatan ayah mencoba menafsirkan dawuh tersebut bahwa filosofi kopiah putih adalah perjuangan seseorang yang telah ditempa lahir batin saat di tanah suci. Biasanya mereka yang telah menunaikan ibadah haji memiliki sisi spiritual dan religiusitas semakin baik. 
 

Memang tidak mudah menyimpulkan demikian, akan tetapi melalui kopiah putih itulah seseorang akan diingatkan agar tidak sembrono apalagi melakukan perbuatan cela yang berakibat menodai dimensi batiniahnya sendiri.
 

Dengan demikian, kopiah putih bukanlah sekedar simbol penutup kepala akan tetapi sebagai pengingat, pelecut bagi pemakainya agar isi kepala dipenuhi oleh pikiran yang mengarah menuju cahaya, mengisi waktu dengan dzikir dan mendekatkan diri pada Allah.

Ahmad Karomi
Editor: Syaifullah

Artikel Terkait