Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network

Tokoh

Sunan Kalijaga Penggagas Tradisi Ketupat saat Syawalan

Sunan Kalijaga. (Foto: NOJ/merdeka)

Sunan Kalijaga (Raden Syahid) putera Wilwatikta, Adipatin Tuban, berhasil memadukan unsur dakwah dengan seni budaya, sehingga ia dikenal dengan Wali Abangan. Pola dakwahnya mengakar di tengah-tengah masyarakat Jawa, seperti pertunjukan wayang, gamelan, tembang, ukiran, dan batik yang populer di masa itu. Termasuk tradisi ketupat yang menjadi bentuk akulturasi budaya yang diperkenalkan oleh penggagas tembang ilir-ilir itu.

 

Konon, tradisi ketupat saat Syawalan, diperkenal pada masa pemerintahan Demak. Secara bahasa, ketupat yang berasal dari bahasa Jawa merupakan pendekatan dari ‘Ngaku Lepat' dan 'Ngaku Papat’. 

 

Ngaku Lepat artinya mengakui kesalahan yang diwujudkan dalam tradisi sungkeman; sedangkan Ngaku Papat, berarti mengakui empat tindakan atau telah menjadi beberapa kondisi, yakni Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan.

 

Lebaran artinya berakhirnya waktu puasa Ramadhan. Luberan artinya melimpahnya pahala dan simbol ajaran sedekah. Leburan artinya meleburnya atau diampuni dosa seseorang sehingga saling memaafkan. Laburan artinya menjaga kesucian lahir dan batin atau seseorang menjadi bersih.

 

Saat Syawalan, umat Islam mengkonsumsi ketupat yang terbuat dari janur. Secara filosofis, janur memiliki makna yang sangat dalam, yaitu berasal dari bahasa Arab ‘Ja’a Nuurun’. Artinya, telah datang cahaya kebahagiaan, karena telah selesai menjalankan ibadah puasa atau kembali suci di hari Idul Fitri.

 

Masyarakat Jawa memaknainya jatining nur atau hati nurani. Di mana beras dimaknai nafsu duniawi di bungkus dengan hati nurani. Sedangkan bentuk ketupat yang persegi empat makna dari kiblat papat atau mata angin limo pancer (arah kiblat).

 

Anyaman yang sulit saat dibentuk itu mencerminkan kesalahan manusia dari berbagai aspek. Rumitnya anyaman tersebut berakhir sempurna sehingga menjadi akhir dari satu kesatuan atau kompleksitas masayarakat Jawa harus diletakkan dengan tali silaturrahim. Saat ketupat dibelah menjadi dua, tampak warna putih yang bermakna kesucian hati.

 

Dengan demikian, warga harus menyadari bahwa konsep pemikiran Raden Syahid lebih menonjolkan kezuhudan. Maksudnya, ia mengajak manusia sebagai pribadi untuk merenungkan kembali atas apa yang telah dilakukannya selama ini, baik yang berhubungan dengan Allah Swt, maupun dengan ciptaan-Nya. Bagaimana manusia harus beramal dan berrajak dengan ikhlas yang berujung pada sikap tawakal, berprasangka baik kepada Allah SWT dan sesama manusia, mengintropeksi keaiban diri, dan melihat segala sesuatu dengan hati yang jernih sebagai langkah awal dalam perbaikan diri pribadi dan peningkatan kesadaran spiritual.

Firdausi
Editor: Risma Savhira

Artikel Terkait