• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 16 April 2024

Keislaman

Hukum Gaji Karyawan yang Diterima dengan Cara Curang

Hukum Gaji Karyawan yang Diterima dengan Cara Curang
Menjadi pegawai dengan cara curang merupakan perilaku tercela. (Foto: NOJ/BIm)
Menjadi pegawai dengan cara curang merupakan perilaku tercela. (Foto: NOJ/BIm)

Salah satu hak bagi orang yang bekerja adalah mendapatkan gaji atas jerih payah yang ia lakukan. Syariat Islam sangat menghargai setiap tetes keringat dan jerih payah yang dikeluarkan oleh para pekerja. Itu sebabnya, dalam banyak akad muamalah, kita sering mendapati bagaimana hak atas keluarnya keringat itu ditempatkan dalam kedudukan yang sangat tinggi dan mulia dalam syariat, bahkan dijamin penunaiannya.  

 

Bekerja pada sebuah lembaga/instansi merupakan representasi dari akad ijarah (kontrak jasa). Untuk menunaikan suatu akad kontrak jasa, dibutuhkan transaksi akad yang salah satu prosedurnya barangkali adalah dengan jalan mengikuti tes masuk/ujian.  

 

 

Ditinjau dari sisi kaidah ushuliyah, tes merupakan syarat bagi terjadinya akad dan bukan syarat bagi sahnya akad. Kita perlu membedakan antara kedua istilah ini agar bisa mendudukkan masalah sebagaimana harusnya.

 

Sebelum memerincinya, kaidah pokok yang wajib kita pedomani berkaitan dengan akad ijarah (kontrak jasa), adalah:

  من كثر عمله كثر أجره  

 

Artinya: Orang yang banyak kerjanya maka banyak upahnya.  

 

Kaidah lain yang menunjjukkan pengertian senada adalah:

 

الأجر بقدر التعب  

 

Artinya: Upah menyesuaikan dengan tingkat kepayahan.  

 

Artinya, dengan berpedoman pada kaidah ini, siapa pun orang itu, asal mau bekerja, maka berhak atas gaji akibat jerih payah yang sudah dilakukan. Besaran gaji sudah barang tentu menyesuaikan dengan tingkat kepayahan.

 

Selanjutnya mari kita perinci antara dua istilah ‘tes merupakan syarat bagi terjadinya akad’ dan ‘tes bukan syarat bagi sahnya akad’.  

 

Tes Merupakan Syarat bagi Terjadinya Akad

Ketika menempatkan bahwa tes merupakan syarat bagi terjadinya akad, maka secara tidak langsung kita telah menempatkan bahwa tes merupakan sesuatu yang berada di luar akad ijarah.

 

 

Mengapa? Logikanya sederhana sekali, yaitu dengan menempatkan tes sebagai syarat, maka itu menandakan bahwa tes bukan merupakan bagian dari akad ijarah. Namun adanya tes bisa menjadi sebab untuk melanjutkan menuju akad. Ketiadaannya, merupakan mani’ (penghalang) menuju akad.  

 

Bagaimana jika dalam tes itu seseorang berlaku curang, kemudian ia diterima untuk bekerja? Dalam kondisi semacam ini, kecurangan itu sifatnya adalah berada di luar akad ijarah. Secara umum dia sudah ikut tes, alhasil sudah terpenuhi syarat untuk melanjutkan menuju terlaksananya akad ijarah. Namun, syarat itu menjadi tidak sempurna disebabkan karena faktor kecurangan. ‘Curang’ dalam ranah fiqih masuk kategori ‘hikmah’ syara, dan bukan merupakan ‘illat’ dari sahnya hukum syara.  

 

Pelanggaran pada hikmah tidak memiliki pengaruh pada sah atau batalnya hukum. Sebab hukum ditentukan oleh illat. Namun, bagaimanapun juga, terjadinya pelanggaran pada hikmah menempatkan seseorang pada status sebagai pelaku maksiat. Alhasil, pelakunya berdosa karena maksiatnya.  

 

Tes Bukan Merupakan Syarat Sahnya Akad Ijarah

Untuk memahami kalimat ini mari kita ingat rukun akad ijarah. Akad ijarah dinyatakan sah bilamana terpenuhi rukun-rukunnya.  

 

Secara ringkas, rukun akad ijarah itu ada lima, yaitu (1) adanya shighah, (2) penyewa (ajir/musta’jir), (3) pihak yang menyewa (muajjir), (4) objek yang disewa (ma’jur), dan (5) manfaat sewa.

 

Ini artinya, tanpa keberadaan ‘syarat’ (baca: tes) pun, setiap kelima rukun itu terpenuhi maka akad ijarah (kontrak jasa) yang terjadi hukumnya adalah sah.  

 

Jika dikatakan bahwa bukankah yang dinamakan sah itu adalah bila terkumpul di dalamnya antara syarat dan rukun? Sebagaimana kaidah yang menjelaskan pengertian sah, yaitu:  

 

الصحيح هو كل ما اجتمع فيه الشرط والركن  

 

Artinya: Yang dinamakan dengan sah itu adalah setiap perbuatan yang terkumpul di dalamnya antara syarat dan rukun.  

Soal

rukun ijarah, sudah disinggung di atas. Selanjutnya, untuk menjawab sanggahan semacam itu, maka mari kita simak tentang syarat dari akad ijarah itu sendiri. Namun sebelumnya, simak terlebih dulu sebuah kaidah mengenai syarat berikut ini:

 

   الشرط: فهو ما ربط الشارع بوجوده وجود الحكم التكليفي وبانتفائه انتفاءه  

 

Artinya: Syarat merupakan sesuatu yang oleh syari (Allah Subhanahu Wa Taala dan rasul-Nya) disalinghubungkan adanya dengan sebab bagi adanya hukum taklifi, dan ketiadaannya merupakan ketiadaan hukum taklifi. (Syarh al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, halaman 9)  

 

Sah dan batal merupakan bagian dari hukum wadl’i. Adapun hukum taklifi adalah berkaitan dengan wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Artinya, saat kita berbicara mengenai ‘sahnya suatu akad’, maka kita tidak sedang berbicara mengenai hukum wajib, sunnah (mandub), mubah (jaiz), dan seterusnya. Alhasil, fokusnya adalah ijarahnya sebagai ‘sah’ ataukah ‘batal'.   

 

Sebagaimana kaidah sebelumnya bahwa sah adalah bila terkumpul antara syarat dan rukun, maka syarat sah dari akad ijarah dalam syariat Islam adalah bila setiap komponen rukun ijarah di atas terpenuhi. Ditambah dengan beberapa catatan yang berlaku pada akad jual beli, yaitu: (1) pelakunya harus ahli tasaruf harta (aqil, baligh dan merdeka), (2) harganya diketahui, (3) objek yang disewa diketahui, (4) barangnya bisa dimanfaatkan, (5) ada waktu jatuh tempo (pensiun), (6) barang yang disewakan adalah milik sendiri atau yang diwakilkan kepadanya, dan seterusnya.  

 

Dengan menyimak detail komponen dari syarat pelaksanaan akad ijarah ini, kita tidak mendapati bahwa sesuatu yang berada di luar akad ijarah sebagai yang bisa merusak terjadinya akad. Alhasil, ijarahnya adalah sah sebab terpenuhi syarat dan rukunnya akad ijarah.  

 

Bagaimana dengan penghasilannya? Penghasilan pelaku kecurangan tersebut juga sah dan halal baginya disebabkan karena kulfah (kerja) yang ia lakukan berdasar relasi akad ijarah. Sebab, bagaimanapun juga, adanya kerja menjadi sebab dari adanya gaji. Adanya tetesan keringat menjadi sebab ia berhak untuk menuntut upah.  

 

Alhasil, curang dalam tes penerimaan pegawai merupakan perilaku yang tercela secara syara. Pelakunya berdosa karena perbuatan haram tersebut. Kendatipun, apabila karena kecurangan tersebut, ia diterima sebagai pegawai, hukum gaji yang ia dapatkan adalah halal karena kerja yang ia lakukan sebab relasi akad ijarahnya (akad kepegawaiannya).  

 

Namun, karena pengangkatannya didahului oleh perilaku kecurangan yang sebelumnya ia lakukan dalam tes penerimaan pegawai sehingga menyeretnya berstatus pelaku maksiat, maka penulis menyarankan agar banyak-banyak berbuat kebaikan untuk melebur dosa yang ditimbulkan akibat kecurangan tersebut.

Wallahu a’lam bish shawab.  

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah- Aswaja NU Center PWNU Jatim

 


Editor:

Keislaman Terbaru