• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

Jumatan di Kantor atau Sekolah Apakah Sah?

Jumatan di Kantor atau Sekolah Apakah Sah?
Apakah sah melaksanakan ibadah shalat Jumat di kantor maupun sekolah? (Foto: NOJ/Humas Babel)
Apakah sah melaksanakan ibadah shalat Jumat di kantor maupun sekolah? (Foto: NOJ/Humas Babel)

Salah satu kewajiban bagi umat Islam yang telah memenuhi syarat adalah mengerjakan shalat Jumat. Karena beragam alasan, pelaksanaan shalat Jumat tidak jarang dilaksanakan di kantor maupun sekolah.  


Shalat Jumat merupakan salah satu ibadah yang telah ditetapkan kewajibannya oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beriman melalui sebuah firman yang terdapat dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9. Kewajiban tersebut kemudian dijabarkan oleh Rasulullah SAW tertuju kepada selain para budak, kaum perempuan, anak-anak yang belum baligh, orang yang sedang sakit dan dipandang sebagai uzur, serta orang yang sedang dalam bepergian dengan jarak yang telah memenuhi radius rukhshah (boleh tidak Jumatan).


Setelah melakukan analisa yang cukup mendalam mengenai dalil-dalil yang terkait dengan shalat Jumat baik dari Al-Qur’an maupun hadist, mayoritas ulama Syafiiyah berpandangan bahwa termasuk syarat sah pelaksanaan khutbah Jumat berikut shalatnya harus diikuti oleh minimal 40 orang ahli Jumat (muslim, bukan budak, telah baligh dan dinyatakan sebagai penduduk tetap untuk satu daerah setempat yang mengadakan shalat Jumat/mustauthin).


Masalah shalat Jumat di kantor maupun sekolah pernah dibahas dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama pada tahun 1997 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan keputusan bahwa shalat Jumat tanpa mustauthin dan muqimin atau dengan mustauthin dan muqimin, tetapi tidak memenuhi syarat, hukumnya tafshil atau dirinci sebagai berikut:

 

1. Tidak sah, hal ini sebagaimana pendapat mayoritas ulama Syafiiyah.

Sementara Imam Syafii sendiri dalam qaul qadim yang dikuatkan oleh Al-Muzanni memandang sah bila jumlah jamaah itu diikuti mustauthin minimal 4 orang.

 

2. Imam Abu Hanifah mengesahkan secara mutlak.

Adapun rujukan yang digunakan antara lain Risalah Bulugh al-Umniyah fi Fatawa al-Nawazil al-‘Ashriyah karya Muhammad Ali al-Maliki sebagai berikut: 


 بَلْ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ تَقْرِيْرِهِ عَلَى إِعَانَتِهِ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَيْنِ قَدِيْمَيْنِ فِيْ الْعَدَدِ أَيْضًا أَحَدُهُمَا أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ. حَكَاهُ عَنْهُ صَاحِبُ التَّلْخِيْصِ وَحَكَاهُ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ

 

Artinya: Bahkan guruku, Al-Bakri bin Muhammad Syaththa, dalam catatan atas kitab I’anah at-Thalibinnya berkata: Sungguh Imam Syafii punya dua qaul qadim tentang jumlah jamaah shalat Jumat pula. Salah satunya adalah minimal empat orang. Pendapat ini dikutip oleh pengarang kitab Al-Talkhish dan dihikayatkan Al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab.

 

Dalam kitab Al-Muhadzdzab yang disusun oleh Abu Ishaq al-Syairazi disebutkan sebagai berikut:

 

  مِنْ شَرْطِ الْعَدَدِ أَنْ يَكُوْنُوْا رِجَالاً أَحْرَارًا مُقِيْمِيْنَ بِالْمَوْضِعِ فَأَمَّا النِّسَاءُ وَالْعَبِيْدُ وَالْمُسَافِرُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ الْجُمْعَةُ لِأَنَّهُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمْعَةُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ كَالصِّبْيَانِ وَهَلْ تَنْعَقِدُ بِمُقِيْمِيْنَ غَيْرَ مُسْتَوْطِنِيْنَ فِيْهِ وَجْهَانِ قَالَ أَبُوْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ لِأَنَّهُ تَلْزَمُهُمْ الْجُمْعَةُ فَانْعَقَدَتْ بِهِمْ كَالْمُسْتَوْطِنِيْنَ

 

Artinya: Di antara syarat jumlah jamaah tersebut adalah, mereka terdiri dari laki-laki, merdeka dan menetap di suatu tempat. Adapun perempuan, budak dan musafir, maka shalat Jumat tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, karena mereka tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jumat sehingga shalat itu pun tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, sama seperti anak-anak. Apakah shalat Jumat itu sah dengan jamaah terdiri dari para muqimin (penduduk) yang tidak menetap. Dalam hal itu terdapat dua wajh; Abu Ali bin Abi Hurairah berpendapat: Shalat Jumat dengan mereka itu sah karena mereka berkewajiban shalat Jumat, sehingga shalat itu menjadi sah, sama seperti para penduduk tetap.

 

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Zuhaili menyatakan sebagai berikut:

 

 وَأَقَلُّهُمْ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٍ فِي اْلأَصَحِّ ثَلاَثَةُ رِجَالٍ سِوَى اْلاِمَامِ، وَلَوْ كَانُوْا مُسَافِرِيْنَ أَوْ مَرْضَى لِأَنَّ أَقَلَّ الْجَمْعِ الصَّحِيْحِ إِنَّمَا هُوَ الثَّلاَثُ

 

Artinya: Dan jumlah minimal jamaah Jumat menurut Abu Hanifah dan Muhammad dalam pendapat al-ashah adalah tiga orang selain imam, walaupun mereka itu musafir dan orang sakit, karena minimal jumlah jamak yang sahih itu adalah tiga.

 

Artikel diambil dariShalat Jum’at di Perkantoran

 

Dari uraian di atas, ada beberapa pilihan bagi kita dalam menghadapi permasalahan ini:

 

1. Mengikuti pendapat mayoritas ulama Syafiiyah yang menganggap Jumatan tersebut tidak sah dengan konsekuensi karyawan kantor mencari kampung terdekat yang menyelenggarakan shalat Jumat oleh penduduk setempat.


2. Mengikuti pendapat qaul qadim Imam Syafii dengan konsekuensi harus ada atau kalau perlu mendatangkan minimal 4 orang penduduk di sekitar kantor untuk ikut shalat Jumat di perkantoran.


3. Mengikuti pendapat Imam Hanafi dengan konsekuensi mengetahui tata cara yang terkait dengan pelaksanaan shalat Jumat mulai dari tata cara wudhu sampai dengan shalatnya berikut syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkannya menurut madzhab Hanafi. Wallahu a’lam.


Keislaman Terbaru