• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Madura

Ahmad Baso Jelaskan Sejarah dan Makna Khittah NU

Ahmad Baso Jelaskan Sejarah dan Makna Khittah NU
Ahmad Baso di acara seminar nasional Historiografi dan Politik NU. (Foto: NOJ/Firdausi)
Ahmad Baso di acara seminar nasional Historiografi dan Politik NU. (Foto: NOJ/Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim

Banyak yang mengklaim, jika seorang kiai berpolitik dianggap melanggar khittah. Hal ini dilontarkan oleh orang-orang di luar NU untuk memberikan stigma negatif. Sedangkan arti khittah itu sendiri tidak diperjelas dalam wacana yang lebih serius. Pentingnya buku ini akan menceritakan historiografi yang sejak dulu NU menjalankan politik keislaman dan kebangsaannya.

 

Pernyataan ini disampaikan secara daring oleh intelektual NU Ahmad Baso dalam Seminar Nasional Historiografi dan Politik NU di Graha Kemahasiswaan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumenep, Ahad (07/02/2022). Acara ini digelar oleh Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Sumenep dalam rangka Hari Lahir (Harlah) ke-99 NU dan ulang tahun Madrasah Moderasi ke-1.

 

“Sudah banyak buku yang menulis tentang khittah, hanya saja kurang lengkap pemahamannya mengenai arti khittah. Padahal dalam pemahaman yang sebenarnya, khittah berdasar pada makna yang lebih universal, dan ada pula juz’i,” ujar Baso.

 

Ia mengajak peserta memahami konsepsi khittah seperti yang dipaparkan konseptornya, yakni KH Ahmad Shiddiq, yang memahami khittah dalam arti universal atau dimaknai sebagai cita-cita keluhuran 1926, mulai dari Qanun Asasi, AD/ART, dirumuskan dalam Muktamar. Kemudian NU masuk dalam Partai Masyumi walaupun status NU saat itu masih ormas, namun tidak mengganggu khittah.

 

“Saat ada masalah di internal Masyumi, NU menjadikan dirinya partai, lalu lepas lagi untuk bergabung di dalam partai PPP di masa Orde Baru. Kemudian melepaskan lagi menjadi Ormas di Muktamar Situbondo. Terakhir lahirlah PKB yang lahir dari internal NU. Dari 1926 sampai sekarang adalah khittah besar NU,” tegasnya.

 

Alumni Pondok Pesantren An-Nahdlah Makasar itu menegaskan, ada 3 pola dalam berpolitik guna menjalankan cita-cita besarnya hingga disebut khittah perjuangan. Yakni, supremasi ulama dikukuhkan dari masa ke masa, melanjutkan estafet keorganisasian atau tidak putus dari masa 1926 hingga saat ini, dan konsolidasi organisasi tetap berjalan.

 

“Sekali lagi, apa pun bentuk format organisasinya, entah menjadi ormas, parpol atau pun dikukuhkannya kendaraan politiknya, itu semua dari cita-cita besar khittah secara universal. Jangan tercakup pada lafadz protekstualitas Muktamar Situbondo. Karena di masa Orde Baru, ormas tidak dibolehkan berpolitik. Wajar NU memilih independen,” katanya.

 

Dalam Muktamar di Semarang, lanjut Baso, pengakuan khittah dimaknai kembali pada jiwa 1926, totalitas ke-NU-an diangkat, sehingga di muktamar selanjutnya khittah bermakna himmah, cita-cita besar. Semuanya bagian dari perjalanan panjang NU dari masa ke masa dan tidak pernah dirumuskan secara spesifik.


Madura Terbaru