• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Madura

Model Dakwah NU, Sinkronkan Agama dan Bangsa

Model Dakwah NU, Sinkronkan Agama dan Bangsa
Kiai Imam Sutaji menjelaskan dakwah ala NU di studio 2 TVNU Sumenep. (Foto: NOJ/Firdausi)
Kiai Imam Sutaji menjelaskan dakwah ala NU di studio 2 TVNU Sumenep. (Foto: NOJ/Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim
Banyak hal yang tidak diinginkan oleh para warga, mengingat sebagian pendai memanfaatkan kesempatan, yakni meneguhkan keislaman dan merobohkan ke-NKRI-an. Padahal Pancasila dan NKRI sudah final dan
bagian dari ijtihad para founding father Indonesia.



Penegasan ini disampaikan oleh Kiai Imam Sutaji saat mengisi acara podcast Ramadlan di TVNU Sumenep, Jum'at (23/04/2021) di Studio 2, Cecce' Laok, Prenduan, Pragaan Sumenep.



Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Sumenep tersebut mengatakan bahwa akar masalah sertifikasi dai muncul dari sikap sebagian pendai yang menyebarkan provokasi dan propaganda yang sengaja dibuat melalui pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. Misalnya, lebih baik mana antara Pancasila dan Al-Qur'an.



"Sebagian orang mengasumsikan dakwah harus berceramah, padahal dakwah itu multikondisi. Jika dakwah disalahgunakan, maka akan menciderai cita-cita luhur bangsa dan para pendahulunya. Kami heran, di tengah-tengah kehidupan yang sudah final dengan semangat beragama dan berbangsa dijadikan pertentangan," katanya sambil melontarkan tawa kecil.



Tak sampai di situ, model dakwah bil hikmah dan mau'idhoh hasanah demi amar ma'ruf nahi munkar. Tetapi jangan sampai terjadi menegakkan kebenaran justru dengan kemungkaran dan mencegah kemungkaran dengan cara kemungkaran. Cara tersebut salah, karena patokan dan budaya yang diajarkan nenek moyang adalah saling memuji dan mendoakan.



"Jika kita mencontoh dakwah Nabi hingga ulama NU, cara dakwahnya tidak dengan kekerasan, melainkan dimulai dari diri sendiri. Seperti halnya Syaikhona Kholil Bangkalan dalam satu riwayat yang melakukan puasa selama satu minggu untuk tidak mengkonsumi gula sebelum melarang seorang anak kecil memakan gula," terangnya.


Penceramah kondang yang juga berprofesi sebagai dosen Institut Sains dan Teknologi (IST) Annuqayah Guluk-Guluk merefleksikan kisah Walisongo sebagai penyebar Islam dan pemegang simbol agama di Nusantara. Ia menceritakan bahwa budaya merupakan media agar masyarakat bisa menerima nilai-nilai Islam.



"Tujuan Islam adalah menjaga budaya. Rasulullah tidak pernah menghapus budaya, tetapi menyempurnakannya dengan nilai-nilai Islam. Ketika budaya ada yang salah, maka di sinilah tugas agama untuk menyempurnakannya. Tentunya cara yang dilakukan tidak melukai. Jika demikian, inilah yang disebut kearifan lokal," imbuhnya.



Tenaga pendidik Pondok Pesantren Al-Ihsan Jaddung tersebut menegaskan bahwa kiai NU tidak pernah memasang tarif saat berceramah. Sederhananya, warga memberikan salam tempel pada kiai sebatas
penghormatan.



"Ingat, ilmu itu tidak gratis. Satu huruf, sama halnya satu dirham. Entah berapa jika konversikan menjadi rupiah," sergahnya.


Dirinya mewanti-wanti pada pemirsa TVNU Sumenep bahwa banyak cara yang dilakukan oleh para kiai dalam berdakwah. Karena NU ibarat kereta api yang jelas arahnya, relnya, stasiunnya, jam berangkatnya, tujuannya, dan jelas persyaratan untuk menjadi mesin multiguna bagi masyarakat.



"Jika seperti mobil taxi, maka akan mudah beraksi. Kalau salah jalan, tinggal putar arah," ujarnya.



Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk tersebut mengungkapkan bahwa, dakwah adalah sebuah upaya untuk mengajak manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Dalam model dakwah, NU berupaya mensinkronkan agama dan bangsa menjadi satu kesatuan yang utuh.



"Indonesia adalah potongan surga yang terdampar di bumi. Jika orang asing datang ke Indonesia belajar pada NU agar bisa berdamai dengan saudaranya, lantas jika ada anak bangsa yang belajar ke negara asing hanya untuk bertikai dan memusuhi sesama saudaranya, berarti ia tidak menerima perbedaan," pungkasnya saat menyitir Syekh Syaltut.

 

Editor: Risma Savhira
 


Madura Terbaru