• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Metropolis

Ceramah di Belanda, Prof Haris Jelaskan Karakteristik Beragama di Eropa

Ceramah di Belanda, Prof Haris Jelaskan Karakteristik Beragama di Eropa
Prof Haris. (Foto: NOJ/mc)
Prof Haris. (Foto: NOJ/mc)

Surabaya, NU Online Jatim

Beragama di Belanda lebih banyak pahalanya. Demikian disampaikan Prof Dr KH M Noor Harisudin dalam safari dakwah kerja sama World Moslem Studies Center dengan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda di Masjid Al-Hikmah Den Hag Belanda (19/03/2024). Menurut Prof Haris, pahala itu bergantung pada kadar kepayahan seseorang. Tentu kadar kesulitan dan kepayahan beragama di Belanda lebih berat daripada negara Indonesia. Ini salah satu ciri khas beragama di negara Belanda dan negara Eropa lainnya.

 

“Di sini lebih masyaqat dibanding di Indonesia. Padahal, pahala itu bergantung pada kadar kepayahan orang. Kalau kepayahan orang puasa di Belanda 17 jam, tentu lebih banyak dari puasa yang hanya 14 jam seperti di Indonesia,” kata Prof Haris yang juga Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

 

Selanjutnya, Prof Haris menjelaskan tentang tingkatan beragama. Dalam beragama, ada tingkatannya seperti dalam berfikih ada yang pakai taqlid, ittiba’ dan ijtihad.

 

“Kalau praktik beragama ya tiga itu taqlid, ittiba dan ijtihad. Jadi, jangan dicaci orang awam yang beragama secara taqlid. Namun, orang yang punya kapasitas harus didorong untuk melakukan ijtihad. Kalau tidak bisa ijtihad sendiri, maka dilakukan ijtihad jama’i,” terang Prof Haris yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember itu.

 

Dari aspek tauhid, beragama juga bertingkat, yaitu tauhidnya orang awam, filsuf dan orang ahli ma’rifat sebagaimana disebut dalam kitab Ihya Ulumudin.

 

“Tauhidnya orang awam ya ikut pada ustadz, kiai atau ulama tentang keyakinan pada Allah. Sementara tauhidnya filsuf atau ahli teologi butuh dalil. Dan tauhidnya orang ahli makrifat, mereka langsung melihat langsung hadirat Allah Swt," ungkapnya.

 

Demikian juga dalam hal puasa. Ada tingkatan orang berpuasa. Tingkatan puasa orang awam. Selanjutnya tingkatan puasa orang khawas. Dan terakhir tingkatan orang khawasul khawash.

 

“Seperti disampaikan Kiai Subadi dalam kitab Durratun Nasihin, tingkatan ini ada. Dan paling banyak tingkatan orang awam. Makanya, kalua bisa, kita menaikkan tingkatan puasa kita dari awam ke khawash," ujar Prof Haris.

 

Cara untuk menaikkan kelas, salah satunya adalah dengan puasa orang khawas. Puasanya dengan puasa yang tidak hanya tidak makan dan tidak minum. Sabda Navi Muhammad Saw: Rubba shaimin laisa lahu min shiyamihi illal jua’ wal athas. Banyak sekali orang berpuasa tidak mendapat apa-apa dalam puasanya, kecuali lapar dan dahaga.

 

“Puasa khawas belajar tidak hanya sekedar itu. Namun puasa mata dari melihat yang tidak bermanfaat. Puasa telinga dari mendengar yang tidak berguna. Puasa bicara dari bicara yang tidak bermanfaat. Puasa pikiran dari pikiran kotor. Kita belajar puasa ini biar naik kelas," pungkas Prof Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur itu. 

 

Penulis: M. Irwan Zamroni


Metropolis Terbaru