Metropolis

Mengenang Pondok Kebondalem Surabaya, Peninggalan Ulama Besar

Senin, 5 Mei 2025 | 20:00 WIB

Mengenang Pondok Kebondalem Surabaya, Peninggalan Ulama Besar

KH Muhammad Ahyad, pendiri Pondok Pesantren Kebondalem Surabaya. (Foto: Istimewa)

Surabaya, NU Online Jatim

Pondok Pesantren Kebondalem terletak di ujung kampung Kebondalem, tepatnya di Jalan Pegirian dan masih dalam lingkup kawasan religi Sunan Ampel Surabaya. Pesantren yang familiar dengan sebutan Pondok Kebondalem ini didirikan oleh KH Muhammad Ahyad, seorang ulama pedagang dari Jawa Tengah. 

 

Sebelumnya, tidak ada yang mengenal Pondok Kebondalem ataupun nama KH Muhammad Ahyad. Nama ini baru mulai diperkenalkan setelah lewat masa dua generasi pesantren berdiri.

 

Konon pesantren ini berdiri di atas tanah milik keluarga Mbah Sentono atau juga dikenal sebagai Kiai Ageng Brondong, leluhur para bangsawan penguasa Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan. Pada masa itu dibolehkan bagi siapapun untuk menempati tanah tersebut dengan syarat bersedia merawat makam Mbah Sentono beserta keluarga yang terletak di Boto Putih, sekitar 500 meter dari Pondok Kebondalem.

 

Tidak diketahui secara pasti kapan Kiai Ahyad menginjakkan kaki di Surabaya dan lalu mendirikan pesantren di Kebondalem. Namun, dari keterangan yang dapat dipegang, semasa Kiai Ahmad Dahlan Ahyad - putra keempat Kiai Ahyad dan pemangku pesantren sesudahnya - masih kecil Pondok Kebondalem telah berdiri. Kiai Dahlan sendiri dilahirkan pada 23 November 1885.

 

Dalam mengembangkan pesantrennya, Kiai Ahyad dibantu oleh H Abdul Kahar, saudagar kaya di daerah Pasar Besar. Ia adalah penyokong utama awal berdirinya pesantren ini dan juga merupakan kakak dari Mardliyah, istri pertama Kiai Ahyad.

 

Pasca Kiai Ahyad wafat, Pondok Kebondalem diasuh oleh Kiai Ahmad Dahlan Ahyad. Nama ini sering sekali disalah-tafsirkan sebagai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Selain karena kesamaan nama dan rentang masa, kedua kiai ini juga telah menuliskan namanya dalam tinta emas pergerakan bangsa. Kiai Ahmad Dahlan Yogyakarta dengan Muhammadiyah-nya, dan Kiai Ahmad Dahlan Surabaya dengan Taswirul Afkar juga MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia).

 

Seperti yang tertulis pada Pendaftaran Orang Indonesia jang Terkemoeka jang Ada di Djawa, arsip data orang terkemuka milik Belanda, Kiai Ahyad pertama kali belajar agama melalui ayahnya sendiri, Kiai Ahyad. Setelah itu ia nyantri pada Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan untuk belajar Nahwu, Shorof, dan Fiqih. Selepas dari Bangkalan beliau mondok  di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan pada masa kepemimpinan Kiai Mas Bachar.

 

Ketika Kiai Dahlan, Kiai Wahab Hasbullah, dan beberapa ulama lainnya yang mempertahankan sistem bermadzhab memutuskan untuk mendirikan madrasah Taswirul Afkar, Kiai Dahlan dipercaya sebagai direkturnya. Pada periode awal kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU), ia juga ditunjuk sebagai Wakil dari Rais Akbar Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari. Namun dikarenakan Kiai Dahlan lebih berat ngramut Taswirul Afkar dan Pondok Kebondalem, ia memutuskan untuk berhenti berkiprah dalam struktural NU. 

 

Dalam perkembangannya, pada masa kepemimpinan Kiai Dahlan, Pondok Kebondalem dikenal luas dan mencapai masa puncaknya. Banyak peran bersejarah yang diambil pesantren ini di masa pra-kemerdekaan, utamanya dalam pendirian Taswirul Afkar dan MIAI.

 

Pondok Kebondalem pada masa itu juga memiliki santri-santri yang di kemudian hari menjadi ulama yang dikenal luas. Ada tiga santri legendaris dari Kiai Dahlan, yaitu Kiai Abdul Adhim Rungkut, Kiai Abdul Ghoni Rangkah (ayah dari KH Miftachul Akhyar Rais Aam PBNU saat ini), dan Kiai Hasan Asykari atau lebih dikenal sebagai Mbah Mangli. Seorang ulama karismatik, sederhana dan penuh karomah. Pada masa nyantri di Kebondalem, Kiai Mangli bertugas untuk mengisi bak mandi Kiai Dahlan. Ia juga ikut membantu merawat putra-putri Kiai Dahlan.

 

Pada 20 November 1962, dalam usia 77 tahun, Kiai Dahlan berpulang. Pimpinan Pondok Kebondalem diserahkan kepada Kiai Muhtar Faqih, menantu dan juga ponakan Kiai Dahlan. Tidak berselang lama, tepatnya pada kisaran tahun 1966, Kiai Muhtar menyerahkan kepemimpinan Pondok Kebondalem kepada Kiai Mujri Dahlan. Kiai Muhtar memilih untuk melanjutkan majelis ta’lim yang sebelumnya dipegang oleh Kiai Dahlan dan mendirikan pondok sendiri di belakang komplek Pondok  Kebondalem awal. Pondok Kebondalem dipimpin Kiai Mujri Dahlan dengan dibantu oleh Kiai Hadi Dahlan, saudara Kiai Mujri beda ibu, hingga wafat beliau pada tahun1991.

 

Ada perbedaan mendasar dari orientasi perjuangan Pondok Kebondalem dari generasi ke generasi. Dua pemangku awal pesantren ini, Kiai Ahyad dan Kiai Dahlan, lebih menitikberatkan pada pendalaman agama dan baca tulis arab. Sedang pada era Kiai Muhtar Faqih dan Kiai Mujri Dahlan, lebih menekankan pada perimbangan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum lainnya. Perbedaan orientasi perjuangan ini lebih disebabkan oleh kondisi dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan.

 

Masa Kiai Ahyad dan Kiai Dahlan adalah masa penjajahan. Masa dimana masyarakat hidup dalam zaman kebodohan. Tidak semua lapisan masyarakat diperbolehkan mengenyam pendidikan formal. Hanya putra saudagar atau pembesar kerajaan yang bisa bersekolah. Pada titik ini, pesantren menempatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat awam yang kurang mampu yang tidak mendapat tempat untuk belajar di institusi pendidikan formal pada masa itu.

 

Sedang era kepemimpinan Kiai Muhtar dan Kiai Mujri adalah era dimana kran pendidikan telah dibuka dengan sangat lebar. Banyak sekolah berdiri dengan tanpa larangan bagi siapapun untuk memasukinya. Masyarakat berbondong-bondong untuk menyekolahkan anaknya dan mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi. Agar para santri tidak tertinggal, mereka tidak hanya dibekali pengetahuan agama tapi juga diberi kebebasan untuk menempuh pendidikan formal dan juga sebaliknya, mahasiswa yang berkeinginan untuk belajar agama difasilitasi oleh beliau.

 

Pasca wafatnya Kiai Mujri, Pondok Kebondalem bertransformasi menjadi Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ). Tidak adanya figur yang mumpuni yang masih bertempat di Kebondalem menjadi alasan utama transformasi ini. TPQ yang kini diasuh oleh Ibu Hj Hani’ah putri Kiai Mujri Dahlan ini dimulai selepas shalat Maghrib berjamaah hingga shalat Isya’ mulai Sabtu hingga Kamis. Untuk hari Sabtu, anak-anak diajarkan membaca istighotsah bersama-sama, dan pada hari Ahad anak-anak membaca Maulidud Diba’. Dalam hal praktek shalat dan ibadah lainnya difokuskan pada hari Senin. Dalam memimpin TPQ ini, Ibu HJ Hani’ah dibantu oleh putranya yang bernama A Zawawi.