• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Metropolis

Rektor IAI Uluwiyah Mojokerto: Budaya Patriarki Picu Kekerasan Terhadap Perempuan

Rektor IAI Uluwiyah Mojokerto: Budaya Patriarki Picu Kekerasan Terhadap Perempuan
Hj Nining saat menyampaikan materi. (Foto: NOJ/Boy)
Hj Nining saat menyampaikan materi. (Foto: NOJ/Boy)

Jombang, NU Online Jatim

Rektor Institut Agama Islam (IAI) Uluwiyah Mojokerto Hj Nining Khurrotul Aini mengisi Sekolah Kader Kopri (SKK) III dan Harlah Kopri. Kegiatan ini diadakan oleh Pimpinan Cabang (PC) Kopri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jombang Selasa, (23/11/2021).

 

Dalam acara yang bertempat di Gedung PC Muslimat NU Jombang ini, Hj Nining yang menamatkan studi doktornya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya memaparkan materi analisis struktur patriarki.

 

Dalam definisinya, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.

 

Hj Nining mengungkapkan bahwa budaya patriarki dapat memicu kekerasan terhadap perempuan. Dalam analisanya, Hj Nining melihat dari tindak kriminal yang ada, tak sedikit perempuan menjadi korban kekerasan atas aksi kejahatan, khususnya pemerkosaan dan tindak asusila. Budaya patriarki terus membelenggu, mengakibatkan laki-laki memandang rendah perempuan dan berbuat semena-mena.

 

“Misalnya saja kasus pembunuhan dan pemerkosaan siswi Sekolah Menengah Kejuaruan (SMK) di Sleman pada tahun 2013 silam yang telah menyita perhatian publik,” ujar dewan pakar Pergunu Mojokerto.

 

Rentannya posisi perempuan dan citra buruk, menjadi corong menguatnya aksi kriminalitas.
Perempuan sering menjadi ancaman dan sasaran dalam dunia kriminal.

 

Hj Nining juga menilai refleksi akan lahirnya Hari Kartini belum mampu menjadi cahaya dalam memperjuangkan emansipasi perempuan. Hari Kartini hanya dianggap isapan formalitas semata, bukan menjadi wajah refleksi untuk memperjuangkan hak yang sama.

 

“Terbukti dengan masih bergulirnya tindakan yang menyudutkan perempuan, yakni perlakuan buruk terhadapnya. Hal ini sudah membudaya di masyarakat yang harus dituntaskan, mengingat setiap manusia memiliki hak yang sama serta wajib menghormati atas kepribadian,” terangnya.

 

Dalam Islam pun, perempuan dimuliakan. Tidak ada sekat di antara laki-laki, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji. 

 

“Hal ini mengindikasikan bahwa pola dan budaya masyarakat yang patut dibenahi, bukan karena perempuannya,” pungkasnya.


Metropolis Terbaru