Metropolis

Ulama Al-Azhar Jelaskan Definisi Takwil saat di Pesantren Bumi Shalawat

Selasa, 17 September 2024 | 13:00 WIB

Ulama Al-Azhar Jelaskan Definisi Takwil saat di Pesantren Bumi Shalawat

Syeikh Salim Abu Ashi Al-Azhari saat mengisi daurah ilmiah di Pondok Pesantren Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo (Foto: Humas Pesantren Progresif)

Sidoarjo, NU Online Jatim

Ulama dari Universitas Al-Azhar Mesir, Syeikh Salim Abu Ashi Al-Azhari menjelaskan tentang takwil. Penjelasan itu ia sampaikan saat mengisi Daurah Ilmiah Kitab Itmam Diroyah di Pondok Pesantren Progresif Bumi Shalawat, Sidoarjo.

 

“Takwil definisinya adalah memahami makna yang bukan makna dhohir, namun makna yang lain. Karena satu atau dua perkara,” katanya dikutip pada Selasa (17/09/2024).

 

Ia menjelaskan, pada asalnya ketika membaca ayat Al-Qur’an, hadist, maupun teks-teks berbahasa Arab, harus memahami setiap kalimat sesuai makna aslinya. Tidak boleh memahaminya dengan makna yang lain atau di luar makna aslinya kecuali bila ada hal yang mengharuskan untuk memahaminya dengan makna yang lain.

 

“Jadi yang pertama harus paham bahwasanya dari kitab manapun yang kita baca meski kita pahami sesuai makna yang asli atau yang dinamakan dhohir,” terang Guru Besar Tafsir Universitas Al-Azhar Mesir ini.

 

Namun terkadang ada yang mengharuskan untuk tidak boleh memahami sesuai dhohir karena sebab dalil aqli yang mengahruskan pembaca harus memahami makna yang lain. Misalnya tentang kata tangan dalam Al-Qur’an. Secara dhohir tangan maknanya adalah anggota tubuh, namun secara akal mustahil Allah memiliki anggota tubuh.

 

“Maka tangan di sini tidak bisa diartikan bahwa tangan secara dhohir. Maka harus ditakwil, dicarikan makna yang lain seperti dimaknai sebagai kekuasaan,” ucapnya.

 

Syeikh Salim lantas menegaskan pemahaman takwil seperti itulah yang dipahami oleh Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ketika memahami ayat-ayat yang secara dhohir tidak bisa diletakkan kepada Allah. Ulama beraliran Aswaja seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari atau Imam Abu Mansur Al-Maturidi mentakwil ayat-ayat yang demikian.

 

“Bagi mereka ayat seperti itu bertentangan dengan sifat Allah yang tidak serupa dengan siapapun atau apapun. Semua yang terlintas di pikiran manusia, Allah tidak seperti itu,” ujarnya.

 

Contoh lain adalah kalimat perintah. Jika ada perintah di dalam Al-Qur’an atau hadist ada yang menunjukkan kewajiban. Misalnya ada perintah shalat maka wajib melaksanakan shalat. Namun kadang ditemukan perintah dalam Al-Qur’an atau hadist yang tidak menunjukkan kewajiban.

 

“Jadi tidak semua perintah menunjukkan kewajiban. Namun aslinya perintah itu menunjukkan kewajiban,” tandasnya.