• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Idul Adha, Momentum Penghambaan di Tengah PPKM Darurat

Idul Adha, Momentum Penghambaan di Tengah PPKM Darurat
Kondisi jalanan lengang imbas PPKM Darurat. (Foto: NOJ/ Detik)
Kondisi jalanan lengang imbas PPKM Darurat. (Foto: NOJ/ Detik)

Barangsiapa yang qiyamul lail (menghidupkan malam) pada dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridla-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati. (HR As-Syafi’i dan Ibn Majah).

 


Alhamdulillah kita berjumpa dengan hari raya Idul Adha yang jatuh pada 10 Dzulhijjah 1442 Hijriah. Dalam kalender masehi seperti yang menjadi patokan negara kita, Idul Adha jatuh pada 20 Juli 2021. 

 

Seperti halnya Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 13 Mei lalu, Idul Adha kali ini juga memiliki nuansa yang jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Bertepatan di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, tentunya momentum silaturahim secara tatap muka tidak dapat dilangsungkan seperti tradisi hari raya selama ini. Namun setidaknya, kita sebagai umat muslim masih dapat berupaya menjaga nilai luhur hari raya, termasuk Idul Adha kali ini.

 

Jika hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan menghidupkan malam hari raya, maka hadits berikut secara spesifik menjelaskan salah satu khutbah Rasulullah SAW (Shahih Bukhari hadits nomor 928) di dalam prosesi shalat Idul Adha:

 

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ قَالَ اِنَّ اَوَّلَ مَانَبْدَأُ بِهِ فِيْ يَوْمِنَا هَذَا اَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ اَنْ يُصَلِّيَ فَاِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ عَجَلَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِيْ شَيْئٍ فَقَامَ خَالِيْ اَبُوْ بُرْدَةَ بِنْ نِيَارٍ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اَنَا ذَبَحْتُ قَبْلَ اَنْ اٌصَلِّيَ وَعِنْدِيْ جَذَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُسَنَّةٍ قَالَ اجْعَلْهَا مَكَانَهَا اَوْ قَالَ اَذْبَحُهَا وَلَنْ تَجْزِيَ جَذَعَةٌ عَنْ اَحَدٍ بَعْدَكَ.

 

Artinya: Dari Bara’ ia berkata: Nabi SAW berkhutbah pada hari raya kurban: Sesungguhnya pertama-tama amalan yang kita lakukan pada hari ini (yakni hari raya Idul Adha) adalah kita shalat, kemudian kembali ke rumah lalu menyembelih kurban. Maka barangsiapa mengerjakan itu, benar-benar ia telah menepati sunahku. Adapun orang yang menyembelih sebelum shalat, maka itu hanyalah daging yang hendak dipergunakan untuk keluarganya saja, bukan termasuk amalan indah penyembelihan kurban. Kemudian ada laki-laki dari golongan kaum Anshar bertanya dan namanya adalah  Abu Burdah bin Niyar: Wahai Rasulullah, saya telah menyembelih dan saya mempunyai kambing jadz’ah (yakni kambing yang umurnya setahun lebih). Beliau lalu bersabda: Jadikanlah yang kamu telah sembelih itu sebagai ganti kurban yang semestinya disembelih sehabis shalat. Tetapi penyembelihan itu tidak akan mencukupi seseorangpun sesudahmu.

 

Hadits tersebut tentunya menunjukkan identitas hari raya Idul Adha sebagai momentum penghambaan diri melalui penyembelihan hewan kurban bagi umat muslim yang memiliki kemampuan. Dalam surat Al-Kautsar ayat 2 diterangkan:

 

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

 

Artinya: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.


Proses penyembelihan hewan kurban yang kemudian dibagi-bagikan pada masyarakat yang membutuhkan, sejatinya wujud penguatan karakter sosial umat muslim. Setidaknya, tindakan sosial tersebut merupakan bentuk gotong royong di tengah situasi sulit saat ini. 

 

Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 155 dijelaskan:

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

 

Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

 

Dalam pelaksanaan Idul Adha, khutbah dilangsungkan sama halnya dengan Idul Fitri, yaitu setelah shalat hari raya. Adapun dalam shalat hari raya, terdapat bacaan dzikir. 

 

Dijelaskan dalam sebuah hadits:

 

عَنْ سَمْرَةَابْنِ جُنْدُبِ رَضِىَ اللّه عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّه صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَمَ : اَحَبَّ الْكَلَامِ اِلَى اللّهِ ارْبَعٌ سُبْحَانَ اللّه وَالحَمْدُ اللّه وَلآَاِلَهَ إلَّا اللّه وَ اللّهُ اكْبَرُ لَايَضُرُّكَ بِاَيْهِنَّ بَدَاْتَ 

 

Artinya: Dari Samurah bun Jundub RA, berkata: Rasullullah SAW bersabda: Ucapan yang paling disukai Allah SWT ada empat, yakni Subhanallah walhamdullillah walaa ilaha illallahu Allahu akbar. Tidak akan membahayakannya dari mana saja ia memulainya. Di lain riwayat disebutkan bahwa ucapan ini ada dalam Al-Qur’an.

 

Adapun empat bacaan dzikir (mengingat Allah SWT) tersebut, memiliki arti: Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada satu Tuhan pun yang disembah kecuali Allah, dan Allah Maha Besar.

 

Dzikir tersebut diucapkan dalam hati oleh makmun di sela takbir-takbir saat shalat id. Takbir sendiri, saat rakaat pertama sejumlah 7 kali, sedangkan saat rakaat kedua, sejumlah 5 kali. 

 

Pada akhirnya, kita pun turut dapat mengumandangkan lantunan takbir sekalipun di dalam rumah. Hal ini seyogyanya tidak sebatas penguatan ubudiyah kita, melainkan juga proses edukasi dan internalisasi agar keluarga tidak lepas dari spirit agama dalam kehidupannya, sesuai sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Berikut bacaan takbir seperti yang dijelaskan dalam Shahih Bukhari hadis nomor 931:

 

اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

 

Artinya: Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan segala puji bagi Allah.

 

Dengan melantunkan bacaan dzikir dan takbir tersebut, semoga kita tetap memiliki penguatan penghambaan diri bahwa bagaimanapun situasi PPKM Darurat dan pandemi Covid-19, tidak dapat melunturkan spirit untuk mengagungkan kebesaran Allah SWT. Mari kita bangun optimisme bahwa segala kesulitan kelak akan ada kemudahan.

 

Q.S. Al Insyirah ayat 6:

 

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

 

Artinya: Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
 

Lia Istifhama adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Taruna, Surabaya.


Editor:

Opini Terbaru