• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Opini

Kiai Fawaid; Sebuah Literatur Keteladanan

Kiai Fawaid; Sebuah Literatur Keteladanan
Almaghfurlah KH Maemoen Zubair dan KH Fawaid As'ad. (Foto: NOJ/ATr)
Almaghfurlah KH Maemoen Zubair dan KH Fawaid As'ad. (Foto: NOJ/ATr)

“Beliau (Kiai Fawaid) adalah sosok yang karismatik dan ghirah islamiyah serta himmah-nya sangat luar biasa. Setiap gerakan politiknya selalu mengacu pada izzul Islam  wal muslimin. Beliau tidak pernah absen dan selalu mengambil posisi terdepan. Dalam hal ini Kiai Fawaid benar-benar mewarisi ayahandanya, Kiai As’ad Syamsul Arifin.” Raja Dangdut Rhoma Irama.

 

Mungkin sangat sulit untuk dipercaya, tapi itulah kenyataan. Di tengah moral para politikus yang carut-marut, tiran, dan lalim, sosoknya hadir sebagai suluh penerang umat. Ketika para aktivis partai politik bertarung merebut kemenangan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, Kiai Fawaid bertarung dengan mengedepankan akhlakul karimah. Dikala para politikus menggunakan kekuasaannya untuk meraup materi dan jabatan, Kiai Fawaid sedikit pun tidak pernah menikmati hasil perjuangan politiknya. Al-arif billah KH Maemoen Zubair mengatakan, “Orang yang berpolitik tetapi tidak menikmati hasil politik adalah Kiai Ach Fawaid As’ad.”

 

Keterlibatan almarhum Kiai Fawaid di gelanggang politik adalah konsekuensi dari relasi agama dan negara yang mutualis. Sebuah paradigma yang menempatkan posisi negara dan agama saling bersinergi satu sama lain. Sebuah paradigma yang menjadi dasar terbentuknya negara Pancasila. Oleh karena itu, sebagai dua identitas yang tidak bisa dipisahkan maka keterlibatan seorang fakih atau ulama di panggung politik merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. Agama dan negara tidak bisa dipisah dari peran aktif para ulama sebagai orang pewaris para nabi.

 

Secara fungsional, spirit peran aktif ulama sebagai pewaris para nabi disebutkan sebagaimana dalam firman-Nya:

 

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

 

Artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (al-Sunnah). Dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. al-Jumu’ah [62]: 02)

 

Kehadirannya di partai adalah pembeda dan pengisi ruang kosong yang sudah banyak ditinggalkan para politikus. Kehadirannya tidak seperti politikus pada umumnya yang sering kali  memanfaatkan jabatan politik untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Stigma politik kotor disebabkan oleh para pelakunya yang tiran dan comberan. Namun politik akan mulia jika dipegang oleh orang mulia seperti Kiai fawaid.

 

Almaghfurlah KH A Hasyim Muzadi mengatakan, “Kiai Fawaid memang profil kiai yang ikut berpolitik, tapi tidak menikmati politik. Beliau tidak menikmati jabatan politik karena politik dijadikan sebagai alat untuk menyejahterakan masyarakat. Politik akan baik jika dipegang orang yang mulia seperti Kiai Fawaid.”

 

Dunia politik saat ini merindukan sosok Kiai Fawaid terlahir kembali. Putra Kiai As’ad ini adalah profil politisi yang menjunjung tinggi ajaran Islam dalam setiap kegiatan politiknya. Meskipun kemenangan dalam setiap even pemilu sangat diharapkan, namun Kiai Fawaid tidak pernah mau menghalalkan segala cara agar bisa menang. Dialah sosok hamba Allah yang berkeinginan supaya setiap langkahnya di politik bisa bernilai ibadah. Kalah dalam pemilu adalah hal yang biasa. Justru kekalahan yang sebenarnya adalah ketika kita tidak mampu mempertahankan ketakwaan kepada Allah SWT. Begitulah prinsip yang selalu dipegang.

 

Politik akan baik jika dipegang oleh orang yang baik seperti Kiai Fawaid. Sebab politik dijadikan sebagai kendaraan untuk berdakwah. Dia memilih untuk aktif di partai politik semata hanya untuk ikut memperbaiki moralitas para penguasa. Menghentikan kedzaliman para penguasa tidak cukup hanya dengan ceramah agama, tetapi diperlukan kendaraan politik. Bukan tanpa alasan, karena partai politik mempunyai kebijakan dan kekuasaan apabila mampu memenangi pemilihan umum. Melawan penguasa, tentunya harus dilawan dengan kekuasaan juga.

 

Dalam bahasa fiqih, peran Kiai Fawaid ini disebut amar makruf nahi mungkar, yang rincian tugasnya meliputi: (01) menyebarkan dan mempertahankan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama; (02) melakukan kontrol dalam masyarakat (social control), (03) memecahkan problem yang terjadi di dalam masyarakat; dan, (04) menjadi agen perubahan sosial (agent of social change).

 

Peran tersebut teraktualisasi sepanjang sejarah Islam, meskipun bentuk dan kapasitasnya tak selalu sama antara satu dengan waktu lainnya, dan antara satu dengan tempat lainnya. Hal ini tergantung pada struktur sosial dan politik serta problem yang dihadapi oleh masyarakat Islam di mana ulama itu berada. Peranan ini meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat dan bangsa, baik sosial, budaya, politik maupun ekonomi.

 

Kiai Fawaid adalah sosok politisi yang mengisi harakah politiknya dengan ruh jihad ala Nahdatul Ulama. NU akan jaya jika memiliki kader seperti Kiai Fawaid. Dialah politisi yang selalu memprioritaskan kader NU dalam setiap kebijakan politiknya. Kemashlahatan NU benar-benar dijadikan pertimbangan dalam menentukan sikap politiknya.

 

Kiai Fawaid adalah pahlawan NU yang mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk perjuangan jam’iyah Nahdatul Ulama yang telah diwarisi dari ayahanda Kiai As’ad Syamsul Arifin. Darah juangnya selalu berkobar untuk kebesaran dan kemajuan NU. Sebagaimana abahnya, darah dan sumsumnya adalah NU.

 

Doni Ekasaputra adalah Owner Adeeva Group dan Abdi Kantor Ma'had Aly Situbondo.

 


Editor:

Opini Terbaru