• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Libatkan Kiai Kampung Cegah Penyebaran Covid-19, Mengapa Tidak?

Libatkan Kiai Kampung Cegah Penyebaran Covid-19, Mengapa Tidak?
Perlu libatkan kiai kampung untuk menumbuhkan kesadaran warga taati protokol kesehatan. (Foto: NOJ/PKb)
Perlu libatkan kiai kampung untuk menumbuhkan kesadaran warga taati protokol kesehatan. (Foto: NOJ/PKb)

Di Indonesia kasus positif Covid-19 telah tembus angka 563.680 per 4 Desember 2020. Kasus harian juga mencatatkan angka terbesar pada tanggal 3 Desember dengan 8.369 kasus baru. walaupun pada hari berikutnya jumlah tersebut turun, tetapi masih di atas 5.000 kasus.

 

Mengetahui angka tersebut tentu kita patut waspada, karena 500 ribu bukanlah angka yang sedikit. Tapi, waspada saja tidak cukup, umat Islam perlu melakukan introspeksi diri agar bisa ikut membendung penularan virus ini. Mengapa?

 

Karena sampai saat ini banyak umat Islam yang masih abai dengan keberadaan Covid-19.  Bahkan ada yang masih keras kepala menjadikan agama sebagai alasan untuk tidak mengikuti protokol kesehatan. Di saat angka positif corona semakin banyak, kesadaran masyarakat untuk menjaga protokol kesehatan malah terjun bebas.

 

Hal itu saya jumpai di lingkungan sendiri, di masjid desa saya hanya satu dua orang saja yang mau memakai masker ketika melaksanakan shalat Jumat. Banyak yang menganggap bahwa mematuhi protokol kesehatan dalam ibadah adalah tanda lemahnya iman.

 

Rendahnya ketaatan terhadap protokol kesehatan ini sudah menjadi isu nasional. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh kementerian kesehatan mengenai perilaku masyarakat Indonesia selama pandemi, diketahui bahwa baru sekitar 42 persen masyarakat yang mencuci tangan dengan baik dan benar. Dan hanya 54 persen responden yang selalu menjaga jarak fisik di tempat umum.

 

Sebenarnya, pemerintah sendiri sedang menyiapkan hukuman pidana bagi orang yang melanggar melalui Inpres Nomor 6 Tahun 2020. Selain itu pemerintah juga mengerahkan TNI dan Polri untuk mendisiplinkan masyarakat agar taat pada protokol kesehatan. Tetapi pada kenyataannya banyak yang masih abai, terutama di desa.

 

Pertanyaan yang selama ini timbul dalam benak saya adalah mengapa agama Islam seakan tumpul mengahdapi situasi semacam ini? Agama tidak bisa menyadarkan sekaligus menggerakkan masyarakat secara radikal untuk mengubah perilaku hidup sehat dan taat pada protokol kesehatan.

 

Setelah berpikir dengan keterbatasan pemahaman dan analisis saya, setidaknya ada beberapa alasan kenapa sulit mengubah pola pikir umat Islam di Indonesia.

 

Di Indonesia, umat Islam masih didominasi oleh kaum tradisionalis. Cara beragama kaum ini masih mengedepankan pendekatan ritual. Artinya masih sangat menjaga tradisi dan ritual keagamaan. Bagi mereka, ritual adalah inti dan ruh dalam beragama, oleh karena itu ketika ritual keagamaan diusik oleh protokol kesehatan, wajar jika terjadi penolakan.

 

Ada semacam pemahaman bahwa meninggalkan ritual ibadah yang biasa dilakukan sehari-hari ibarat meninggalkan ajaran agama Islam itu sendiri. Jadi, dari sudut pandang kaum tradisinalis sangat sulit untuk menerima protokol kesehatan yang memangkas berbagai macam ritual keagamaan yang selama ini dilakukan.

 

Saya bukan sedang menyalahkan cara beragama yang ritualis ini, tapi tipe beragama semacam itu menjadikan pola pikir mereka sulit menerima perubahan khususnya terkait protokol kesehatan.

 

Selain mengedepankan ritual, dalam memahami ajaran agama kaum tradisionalis juga menggunkan pendekatan taklid madzhabi daripada taklid manhaji. Mereka biasa menerima sebuah ajaran agama yang sudah jadi dari para kiai kampung tanpa memikirkan dalilnya.

 

Jadi, walaupun telah dijelaskan bahwa mematuhi protokol kesehatan merupakan bagian dari ajaran agama dengan berbagai macam dalil dan metodologi yang menggunakan pendekatan rasional, mereka tidak dapat menangkap hal itu. Bagi mereka, menjalankan ritual ibadah sehari-hari yang telah bertahun-tahun dilakukan itu lebih utama daripada menerima menerima dalil rasional yang njlimet itu.

 

Selain itu, peran tokoh agama seperti kiai ustadz atau juru dakwah juga masing kurang optimal. Walaupun ada organisasi kemasyarakatan Islam yang telah memberikan instruksi dan maklumat untuk mematuhi protokol kesehatan, seperti yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tapi pada realitas kehidupan sehari-hari, masyarakat kita masih banyak yang mengabaikan maklumat tersebut.

 

Bahkan ketika kiai sepuh seperti Kiai Mustofa Bisri dan beberapa kiai lainnya juga memberikan nasihat dan imbauan agar masyarakat mengikuti protokol kesehatan melalui media sosial, itu tidak cukup memberikan efek yang signifikan kepada masyarakat terutama di desa.

 

Kiai Kampung sebagai Solusi

Saya kemudian berpikir, kira-kira apa yang salah sehingga di masyarakat akar rumput masih enggan mematuhi protokol kesehatan? Padahal sudah banyak kiai besar yang ikut memberikan nasihat.

 

Dari pengamatan yang dilakukan di lingkungan sendiri, saya menyimpulkan bahwa di dalam masyarakat pedesaan, otoritas kiai kampung ternyata lebih besar dan kuat dari kiai besar atau pimpinan sebuah Ormas Islam. Hal ini dikarenakan kiai kampunglah yang saban hari membimbing dan mengajari masyarakat.

 

Oleh karena itu masyarakat pedesaan lebih banyak mengikuti apa yang disampaikan kiai di desannya, daripada pucuk pimpinan Ormas Islam. Sayangnya, banyak kiai desa yang pendapatnya berseberangan dengan pimpinan Ormas yang ada.

 

Mereka dengan keyakinan dan pemahaman keagamaannya masing-masing memiliki tafsir dan pendapat sendiri. Kemudian pendapat itu disampaikan kepada masyarakat dan diamini sekaligus diikuti oleh zamaah.

 

Ketika kiai kampung tidak mengikuti instruksi pemerintah, atau maklumat Ormas Islam tertentu, dalam hal mematuhi protokol kesehatan, maka menjadi wajar jika banyak lapisan masyarakat menengah ke bawah belum taat pada protokol kesehatan. Hal ini dikarenakan mereka lebih memilih mengikuti kiainya.

 

Oleh karena itu melibatkan kiai kampung adalah kunci untuk mengubah pola pikir masyarakat khususnya umat Islam agar mau mematuhi protokol kesehatan. Mereka adalah sosok yang menjadi panutan umat Islam terutama di kawasan pedesaan.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana cara menggerakkan kiai kampung agar mau ikut menggerakkan masyarakat untuk taat pada protokol kesehatan?

 

Perlu kita pahami bahwa kiai kampung ini biasanya terhubung dengan kiai di pesantren. Mereka sangat menghormati kiai pesantren karena kebanyakan dari mereka adalah alumni pesantren. Oleh karena itu mereka patuh dan tunduk dengan pendapat atau fatwa hukum dari kiai pesantren.

 

Untuk menggerakkan kiai kampung, pemerintah sebaiknya menggandeng kiai pesantren. Melalui jaringan pesantren ini, kiai kampung dapat dirangkul untuk ikut aktif mensyiarkan kewajiban mengikuti protokol kesehatan, bukan malah sebaliknya.

 

Agama adalah spirit yang seharusnya menjadi motor penggerak kesadaran masyarakat, terutama dalam menghadapi wabah virus Corona. Melalui peran pesantren dan kiai kampung, nilai-nilai ajaran agama dapat diinternalisasi ke dalam masyarakat sehingga melahirkan perubahan radikal.

 

Melalui perubahan radikal itu, masyarakat akan bertransformasi menjadi sadar akan kebersihan, pola hidup sehat, dan patuh terhadap protokol kesehatan. Bukankah kemaslahatan, keselamatan dan kesejahteraan manusia adalah tujuan dari sebuah agama?

 

Mustaufikin adalah alumnus Pesantren Tremas, Pacitan dan menyelesaikan program magister di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.     


Editor:

Opini Terbaru