• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 17 April 2024

Opini

Mempersoalkan Kompetensi Penceramah

Mempersoalkan Kompetensi Penceramah
Kegiatan pengajian akbar yang mendatangkan dai dan ratusan jamaah. (Foto: NOJ/GN)
Kegiatan pengajian akbar yang mendatangkan dai dan ratusan jamaah. (Foto: NOJ/GN)

Oleh: Iksan Kamil Sahri

 

“..Dan akan datang suatu zaman yang ulamanya sedikit dan penceramahnya banyak,..” (HR. Tabrani)

 

Hadits di atas adalah ramalan Nabi Muhammad SAW tentang sebuah masa di mana pada saat itu penceramahnya banyak dan orang yang paham agama sedikit. Keberadaan penceramah ini sebenarnya sudah bermula sejak masa Nabi di mana secara resmi mengutus sahabat Mush’ab bin Umair ke Yastrib dan sahabat tertentu lainnya untuk menjadi dai yang menyampaikan risalah Islam ke negeri-negeri yang ditentukan. mengapa Nabi melakukan hal tersebut? Tentu karena paham tentang siapa saja yang memenuhi kompetensi sebagai seorang dai, penyeru terhadap agama Islam.

 

Masa Nabi berlalu, masa khulafaur Rasyidin tiba, para khalifah terpilih tersebut juga melakukan hal yang sama. Mengutus orang-orang yang dianggap kompeten untuk menyebarkan risalah Islam. Hal ini berlanjut sampai masa dinasti Umayah, dinasti Abbasiyah, hingga dinasti Turki Ustmani yang menjadi kekhilafahan terakhir dalam sejarah umat Islam.

 

Post-kolonialisme kemudian melahirkan sistem negara bangsa (nation-state) di banyak negara bekas jajahan dan menjadi fenomena global. Akan tetapi di negara-negara mayoritas Islam. Persoalan penceramah agama Islam ini masih menyedot perhatian besar dari berbagai rezim di negara mayoritas beragama Islam. Di antaranya adalah Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia, Turki, dan Brunei Darussalam.

 

Negara-negara tersebut merasa perlu untuk mengatur sebagai bagian dari menjaga kestabilan wilayah serta sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjaga corak keislaman yang diinginkan dari hal-hal yang dianggap menyimpang dari corak keagamaan dimaksud.

 

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sendiri, saat menyatakan merdeka, status agama dan negara adalah perdebatan hebat yang terjadi di awal kemerdekaannya bahkan terus berlangsung hingga kini. Perdebatan misalnya terlihat pada perdebatan tujuh kata sila pertama pada piagam Jakarta, peraturan berbasiskan syariat, hingga konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersyariah yang sempat muncul belakangan ini.

 

Hasil dari perdebatan tersebut, Indonesia mencapai satu konsensus dasar bersama yaitu negeri ini bukan negara agama dan bukan pula negara sekular. Orang Indonesia lebih suka menyebutkan sebagai negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Pada perkembangannya, Indonesia lalu menerapkan pemberlakuan syariat Islam secara terbatas seperti dalam hukum waris, hukum pernikahan, perjalanan haji, wakaf, dan ekonomi syariah.

 

Dalam perkembangan tersebut, ternyata Indonesia dihadapkan pada masalah lain, yaitu kompetensi para dai atau penceramah yang berseliweran baik yang dilakukan secara luring ataupun daring. Banyak penceramah baru yang kemudian layak dipertanyakan kompetensi keagamaannya. Lulusan elektro tapi berceramah agama, bahkan tidak sedikit yang menyatakan kontra terhadap konsep nation-state yang dianut oleh Indonesia selama ini, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan.

 

Dari permasalahan yang ada, banyak para tokoh berpendapat bahwa negara harus hadir untuk memberikan panduan bagi khalayak tentang para penceramah yang memiliki kompetensi dan sanad (guru) keagamaan yang jelas. Banyak pula yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak perlu diatur karena sudah masuk ranah dalam agama dan hendaknya pemerintah tidak ikut campur. Hanya masalahnya, agama sebagai sebuah sistem kepercayaan yang berisi dari konsepsi hingga praksi juga mengandung tuntunan yang tidak sederhana. Kemampuan membaca teks yang sudah diturunkan sejak 1400 tahun lebih itu jugaa bukan hal yang mudah. Sehingga mengartikan teks yang ada dengan hanya bermodalkan tampilan good looking, kemampuan public speaking, simbolisasi agama, dan hadits “sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” adalah tidak cukup.

 

Agama harus diperlakukan layaknya ilmu kedokteran yang mana tidak semua orang dapat melakukan tindakan kedokteran walaupun itu sekadar menyuntik atau diagnosa penyakit ringan misalnya. Sehingga jika ada orang yang tidak memiliki kompetensi tersebut maka ia harus ditolak. Hal tersebut bisa terbangun karena semua sadar bahwa dalam kedokteran ada seperangkat ilmu yang harus dikuasi oleh orang yang melakukan tindakan kedokteran tersebut. Mereka inilah yang kemudian memiliki lisensi atau sertifikat untuk menjadi dokter. Mereka yang hanya belajar secara otodidak maka dirinya harus diseritifkasi oleh lembaga kedokteran apakah ia layak ataukah tidak. Hal yang sama sekarang juga mulai dilakukan dalam jenis pekerjaan yang lain seperti psikolog, bahkan guru yang konon kelak akan dberi titel gr.

 

Masalah agama juga merupakan hal yang urgen karena menyangkut hajat hidup dan kepercayaan orang banyak. Maka dari itu negara perlu hadir untuk menjamin bahwa orang yang mereka dengarkan adalah orang yang kredibel dan mumpuni ilmu agamanya.I’tikad negara untuk hadir ini tentu tidak perlu dibenturkan dengan kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat di negeri ini karena itu adalah dua hal yang berbeda. Orang-orang harus paham bahwa lisensi menyampaikan hal-hal keagamaan itu penting karena menyangkut dengan seperangkat keilmuan yang harus dikuasai serta hal-hal lain yang menguatkan Indonesia yang berperadaban.

 

Adalah Direktur Lembaga Penelitian Sekolah Tinggi Agama Islam Al Fithrah Surabaya.

 

 


Editor:

Opini Terbaru