Oleh: Maksum Ahlul Khoir*
Setiap bulan Ramadan tiba, diskusi tentang berbagai tradisi dan kebiasaan umat Islam kembali mencuat. Salah satunya adalah munculnya pandangan dari beberapa ustadz Salafi Wahabi yang menilai bahwa membuat jadwal imsakiyah adalah bid'ah.
Mereka berargumen bahwa praktik tersebut tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah dan para sahabat, selain itu mereka juga berargumen bahwa memberlakukan jadwal imsakiyah bertentangan dengan tuntunan dari Al-Qur’an yang memperbolehkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa hingga terbitnya fajar sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ( البقرة : 187)
Artinya: Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu, fajar.(Qs Al-Baqarah: 187)
Di antara para ulama yang mereka anut dalam hal membid’ahkan jadwal imsakiyah adalah Ibn Utsaimin dimana ia menganggap hal itu bertentangan dengan sunnah nabi yang berarti juga di anggap menambah-nambahi syari’at, '
Berikut penulis tampilkan pernyataan Ibn Utsaimin atas bid’ahnya jadwal Imsakiyah dalam Al-Qism Al-‘Arabi Min Mauqi’ul Islam Su’al Wa Jawab, Juz 5 Hal 3539.
وسئل الشيخ ابن عثيمين عما يوجد في بعض التقاويم من تحديد وقت للإمساك قبل الفجر بنحو ربع ساعة فقال: هذا من البدع، وليس له أصل من السنة، بل السنة على خلافه، لأن الله قال في كتابه العزيز: (وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر) البقرة/١٨٧. وقال النبي ﷺ: (إن بلالا يؤذن بليل فكلوا واشربوا حتى تسمعوا أذان ابن أم مكتوم، فإنه لا يؤذن حتى يطلع الفجر) . وهذا الإمساك الذي يصنعه بعض الناس زيادة على ما فرض الله فيكون باطلا وهو من التنطع في دين الله وقد قال النبي ﷺ: (هلك المتنطعون، هلك المتنطعون، هلك المتنطعون) رواه مسلم (٢٦٧٠) اهـ. (القسم العربي من موقع الإسلام، سؤال وجواب ص: 5/3539)
Artinya: Syekh Ibnu 'Usaimin ditanya perihal sesuatu yang ditemukan di sebagian kalender, berupa penambahan waktu imsak sebelum fajar sekitar seperempat jam. Syekh 'Usaimin menjawab, hal ini adalah bidah dan tidak memiliki dalil dari hadis. Bahkan yang merupakan kesunahan adalah sebaliknya, karena Allah berfirman dalam al- Quran: "Dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar" (QS. Al- Baqarah: 187). Dan Nabi bersabda: "Sesungguhnya Bilal azan di waktu yang masih malam, maka hendaklah kalian tetap makan dan minum hingga mendengar azan Ibnu Ummi Maktūm. Sesungguh- nya Ibnu Ummi Maktūm tidak azan hingga fajar terbit". Sedangkan imsak yang dibuat oleh sebagian orang merupakan penambahan atas apa yang telah ditetapkan Allah, maka hal itu batil dan membuat-buat dalam agama Allah Nabi bersabda: "Celakalah orang-orang yang berlebihan, celakalah orang-orang yang berlebihan, celakalah orang-orang yang berlebihan.
Selain itu para ustadz Wahabi juga berargumen dengan pendapat Ibn Hajar yang juga mengatakan bahwa membuat batasan sebelum terbitnya fajar untuk membatasi waktu berakhirnya sahur adalah pekerjaan bid’ah, berikut perkataan Ibn Hajar yang dijadikan landasan orang wahabi dalam membid’ahkan jadwal imsakiyah
من البدع المنكرة ما أحدث في هذا الزمان من إيقاع الأذان الثاني قبل الفجر بنحو ثلث ساعة في رمضان، وإطفاء المصابيح التي جعلت علامة لتحريم الأكل والشرب على من يريد الصيام زعما ممن أحدثه أنه للاحتياط في العبادة اهـ (فتح الباري :4/199)
Artinya: Termasuk dari bidah yang mungkar adalah apa yang dibuat-buat di masa ini, yaitu mengumandagnkan azan kedua sebelum fajar perkiraan sepertiga jam di bulan Ramadan, dan mematikan lampu yang dijadikan pertanda atas keharaman makan dan minum bagi orang yang akan berpuasa, karena menurut orang yang membuat- buat bidah perbuatan tersebut sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah. (Al-Hafiz Ibn Hajar, Fathul Bari Syarh Sahih Bukhari, Juz 4 Hal 199)
Dari semua argumentasi yang dibangun oleh para ulama Wahabi dan para pengikutnya di atas dapat disimpulkan :
1. Pemberlakuan jadwal imsakiyah di bulan Ramadhan merupakan perilaku bid’ah dan bertentangan dengan tuntutan Allah dalam Al-Qur’an dan praktek yang telah di contohkan oleh Rasulullah.
2. Praktek imsakiyah adalah bentuk membuat-buat syari’at baru yang berlebihan.
Tanggapan Penulis
Sebelum menanggapi fatwa yang dimunculkan oleh kalangan ustadz Wahabi di atas, penulis ingin memperjelas terlebih dahulu mengenai makna jadwal imsakiyah yang berlaku di berbagai daerah.
Secara bahasa, imsak berarti menahan sebagaimana al-Saum, namun arti waktu imsak yang dikehendaki di berbagai daerah adalah waktu peringatan untuk menyudahi sahur dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa, meski demikian jika seseorang melakukan sesuatu yang membuat puasa batal seperti makan, minum dll selama waktu ini, maka puasanya tidak batal karena pada dasarnya waktu puasa dimulai dari fajar shadiq, atau waktu subuh.
Setelah mengamati makna imsak yang sebenarnya, rupanya masih banyak orang yang mengira bahwa imsak merupakan akhir waktu untuk makan sahur, termasuk para ustadz Wahabi yang memaknai imsak dengan makna ini sesuai dengan makna kata imsak secara bahasa, yaitu "menahan." Namun, anggapan tersebut kurang tepat. Imsak bukanlah penanda akhir sahur. Imsak lebih tepat dipahami sebagai tanda persiapan menjelang dimulainya puasa, di mana seseorang dianjurkan berhenti makan sebelum masuk waktu Subuh.
Dengan begitu semua fatwa yang di keluarkan oleh para ustadz Wahabi telah termentahkan dengan sendirinya sebab fatwa yang mereka berikan tidak sesuai dengan kejadian dan Gambaran masalah yang terjadi di lapangan sehingga fatwa tersebut di anggap ngawur, karena di dalam menjawab suatu masalah, maka harus memperjelas gambaran permasalahannya terlebih dahulu, sebagaimana kaidah yang masyhur:
لا بد للأصولي من تصور الأحكام لأن الحكم على الشيء فرع عن تصوره، فلابد أولا من تصور الأحكام، ثم الحكم عليها بالإثبات أو النفي، ونحوهما. (الإبهاج في شرح المنهاج 2/114)
Artinya: Seorang ahli ushul (ushuli) harus memahami gambaran masalah dari sesuatu yang akan dia hukumi, karena memberikan keputusan terhadap sesuatu merupakan cabang dari pemahaman tentangnya. Maka, pertama-tama harus ada pemahaman tentang Gambaran suatu yang akan di hukumi tersebut, kemudian dilakukan penilaian terhadapnya, baik berupa penetapan, penolakan, atau yang serupa dengan keduanya.
Meskipun pada kenyataannya fatwa dari kalangan ustadz Wahabi di atas sudah ngawur karena tidak sesuai dengan gambaran kasus yang dihukumi, namun penulis ingin mencoba memberikan tanggapan terhadap argumumentasi yang dibangun oleh mereka, berikut kami sampaikan ulasannya:
Pertama, pernyataan ustadz dari kalangan salafi Wahabi yang mengatakan bahwa praktek imsakiyah seperti yang terjadi di berbagai daerah saat ini tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah, bahkan hal tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam surat Al-Baqarah ayat:187 rupanya tidak benar, hal itu dibuktikan dengan adanya riwayat hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah berhenti melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dll dalam waktu yang cukup lama sebelum dikumandangkannya adzan yakni perkiraan waktu membaca Al-Qur’an 50 Ayat, berikut ini riwayatnya:
عَنْ أَنَسٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ ، قَالَ : تَسَخَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً. (رواه البخاري).
Artinya: Dari Anas, dari Zaid bin Šābit, ia berkata: "Kami makan sahur bersama Rasûlullah kemudian melaksanakan salat". Saya bertanya, "Berapa jarak waktu antara azan dan sahur?" Dia menjawab, "Sekitar 50 ayat". (HR. Al-Bukhārī: 1921)
Mengomentari hadis di atas, al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqalānī memberikan penjelasan yang di maksud dari hadis tersebut sebagaimana berikut:
قَوْلُهُ: بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُورِ وَصَلَاةِ الْفَجْرِ أَيْ انْتِهَاءِ السُّحُورِ وَابْتِدَاءِ الصَّلَاةِ، لِأَنَّ الْمُرَادَ تَقْدِيرُ الزَّمَانِ الَّذِي تَرَكَ فِيهِ الْأَكْلَ، وَالْمُرَادُ بِفِعْلِ الصَّلَاةِ أَوَّل الشروع فِيهَا قَالَهُ الزَّيْنُ بْنُ الْمُنِيرِ - إِلَى أَنْ قَالَ - وَقَالَ الْقُرْطِيُّ فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الْفَرَاغَ مِنْ السَّحُورِ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ
Artinya: Perkataan al-Bukhārī "Bab waktu antara sahur dan salat fajar" maksudnya adalah selesainya sahur dan permulaan salat, karena yang dimaksud adalah menjelaskan waktu berhenti makan. Dan yang dimaksud salat disini adalah permulaan melaksanakan salat sebagaimana dikatakan az-Zain bin al-Munir-hingga perkataan- Dan al-Qurtubi berkata: di dalam hadis tersebut terdapat indikasi bahwa selesainya makan sahur itu sebelum terbitnya fajar.
Selain itu komisi fatwa Lajnah Fatwa bi Syabakah Islamiyah juga memberikan komentar kepada para ustadz Wahabi yang menganggap pemberlakuan jadwal imsakiyah bid’ah karena bertentangan dengan tuntutan Al-Qur’an dan Hadis nabi, hal itu karena legalitas makan sebelum fajar bagi orang yang hendak berpuasa hanya bersifat ibahah (boleh) tidak wajib, sehingga bagi mereka yang ingin berhenti melakukan perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum dll sebelum fajar maka tidak akan mendapatkan dosa, di samping itu praktek seperti ini juga telah di lakukan oleh rasulullah pada hadis yang di riwayatkan Imam bukhari di atas.
Berikut komentar yang datang dari komisi fatwa Lajnah Fatwa bi Syabakah Islamiyah
ﻭﺃﻣﺎ ﻛﻮﻥ اﻹﻣﺴﺎﻙ ﻗﺒﻞ اﻷﺫاﻥ ﺑﺪﻋﺔ ﻓﻠﻴﺲ ﺫﻟﻚ ﺑﺼﺤﻴﺢ ﻷﻥ اﻷﻣﺮ ﻋﻠﻰ اﻹﺑﺎﺣﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﺃﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﻭﻳﺸﺮﺏ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻠﻊ اﻟﻔﺠﺮ. ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻥ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻤﺴﻚ ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ ﻭﻗﺪ ﺟﺎء ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻋﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺃﻧﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺘﺴﺤﺮﻭﻥ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﻓﺴﺌﻞ ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻘﺎﻝ: (ﻣﻘﺪاﺭ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ.) والله أعلم. (فتاوى الشبكة الإسلامية 11/ 18174، بترقيم الشاملة آليا)
Artinya: Imsak sebelum azan subuh dianggap bidah adalah tidak benar. Sebab perintah dalam ayat adalah kebolehan, bukan kewajiban untuk makan dan minum hingga terbit fajar. Sungguh para Sahabat ada yang sudah Imsak (tidak makan dan minum) sebelum subuh. Sudah dijelaskan dalam hadis Bukhari dari Zaid bin Tsabit bahwa mereka sahur bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam lalu melaksanakan salat. Setelah ditanya berapa jarak antara makan sahur dan salat subuh, maka dijawab "sekitar 50 ayat"
Kedua, Pernyataan Syekh Ibnu 'Usaimin bahwa imsak merupakan bentuk berlebihan dalam beragama dan dianggap membuat syari’at baru tentu tidak tepat. Kehati-hatian dalam menjalankan ibadah tidak bisa disamakan dengan sikap berlebihan. Imsak adalah sarana yang dirancang untuk membantu umat Islam melaksanakan ibadah puasa dengan lebih sempurna.
Bayangkan jika tidak ada waktu imsak, banyak orang mungkin akan kebingungan ketika bangun di waktu dekat dengan fajar. Mereka bisa saja tidak mengetahui secara pasti apakah waktu fajar telah tiba atau belum. Dalam situasi seperti ini, imsak menjadi alat bantu yang memberikan pedoman waktu agar umat lebih waspada dan tidak melanggar batas waktu puasa tanpa sengaja.
Adapun berhati-hati dalam urusan agama tentu sangat di anjurkan, banyak dalil-dalil dari Al-Quran dan sunnah menegaskan pentingnya sikap kehati-hatian dalam menjalankan ajaran agama serta menganjurkan umat untuk melakukannya. Salah satu buktinya adalah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. (QS. Al-Hujurat: 12)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menjauhi banyak prasangka. Menariknya, Allah tidak memberikan batasan tertentu mengenai seberapa banyak prasangka yang harus dijauhi. Dengan tidak menetapkan batasan, Allah memberikan ruang bagi mukallaf (orang yang telah dibebani hukum syariat) untuk bersikap lebih hati-hati. Ini bertujuan agar mereka menghindari hal-hal yang berpotensi menjadi dosa, sekalipun belum ada kepastian bahwa hal tersebut memang berdosa. Sikap ini mencerminkan upaya maksimal seorang hamba dalam menjaga dirinya dari hal-hal yang bisa melanggar syariat.
Dengan adanya perintah untuk melakukam kehati-hatian dalam semua hal, terutama dalam urusan agama para ulama di antaranya Al-Imam Al-Mawardi menganjurkan bagi seorang muslim untuk meninggalkan semua perkara yang dapat membatalkan puasa sebelum fajar tiba, hal itu tentunya ditujukan agar seorang muslim berhati-hati dan tidak terjebak dalam praduga yang tidak pasti, beliau menyampaikan:
وزمان الصيام من طلوع الفجر الثاني إلى غروب الشمس لكن عليه تقديم الإمساك يسيرا قبل طلوع الفجر وتأخير (الفطر) يسيرا بعد غروب الشمس ليصير مستوفيا ما بينهما) الإقناع للماوردي ص: 74)
Artinya: Adapun waktu berpuasa dimulai sejak terbitnya fajar yang kedua sampai terbenamnya matahari. Akan tetapi sebaiknya ia mendahulukan imsak hampir sebelum terbitnya fajar dan mengakhirkan buka puasa sebentar setelah terbenamnya matahari, agar ia bisa memenuhi waktu di antara keduanya.
Sedangkan pendapat Ibnu Hajar yang juga di nukil oleh para ustadz wahabi sebenarnya tidak berkaitan dengan konsep jadwal imsak yang diterapkan di Indonesia atau di daerah yang lain. Kedua hal ini memiliki perbedaan yang cukup jelas. Kasus yang dikritik oleh Ibnu Hajar adalah menetapkan suatu peringatan sebelum fajar sebagai batas waktu haramnya makan atau pertanda telah berakhirnya waktu sahur.
Sementara itu, imsak di Indonesia hanya berfungsi sebagai penanda untuk bersiap-siap mendekati waktu fajar. Pada waktu imsak, umat Islam masih diperbolehkan untuk makan dan minum hingga tiba waktu subuh.
Berdasarkan seluruh pemaparan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa tuduhan bid’ah yang dilontarkan oleh sebagian ustadz Wahabi terhadap praktik jadwal imsakiyah disebabkan oleh kecenderungan mereka untuk tergesa-gesa dalam mengeluarkan fatwa tanpa memahami secara menyeluruh konteks atau gambaran kasus yang hendak dihukumi.
Selain itu, mereka cenderung terfokus pada satu dalil tertentu, tanpa mempertimbangkan berbagai dalil lainnya yang semestinya menjadi bagian integral dalam proses istinbath hukum. Pendekatan seperti ini tentu kurang mencerminkan metode yang komprehensif dan ilmiah dalam menentukan suatu hukum syariat. Wallahu A’lam.
*Mahasantri Ma'had Aly Tebuireng Jombang
Referensi:
-Asyari, Ahmad Muhajir, Ahmad Adib Rofiuddin, and Ade Imam Muttaqien. "Pro Kontra Penetapan Waktu Imsak Pada Jadwal Imsakiyah Ramadan Dalam Pendekatan Fikih Dan Falak." KALOSARA: Family Law Review 3.2 (2023): 85-97.
-Tajuddin Al-Subki, Al-Ibhaj Fi Syarh Minhaj, Juz 2, Hal 114.
-Al-Mawardi, Iqna'.
-Al- Hafiz Ibn Hajar Al-Atsqallani, Fathul Bari Syarh Sahih Bukhari, Juz 4, Hal 138.
-Lajnah Fatwa bi Syabakah Islamiyah, Fatawa Syabakah Islamiyah, no 1817