• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Pesan Isra’ Mi’raj: Ajaran Islam Memahami Kemampuan Manusia

Pesan Isra’ Mi’raj: Ajaran Islam Memahami Kemampuan Manusia
Banyak pesan yang dapat digali dari peristiwa Isra' Mi'raj. (Foto: NOJ/AHm)
Banyak pesan yang dapat digali dari peristiwa Isra' Mi'raj. (Foto: NOJ/AHm)

Semarak peringatan Isra’ Mi’raj demikian dirasakan di belahan dunia. Dalam kondisi pandemi, hal tersebut tidak menghalangi antusias kaum muslimin untuk memeriahkan peristiwa monumental itu.

Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 1 menyebutkan:

 

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

 

Artinya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

 

Seperti kita ketahui, Isra Mi'raj merupakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Peristiwa pada 27 Rajab tersebut adalah saat dimana Rasulullah diperjalankan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina. Setelah itu, Nabi diperjalankan dari Masjidil Aqsa yang ada di bumi menuju langit ke tujuh, kemudian ke Sidratul Muntaha ( سدرة المنتهى‎) yang menandai akhir dari langit atau surga ketujuh, yaitu batas di mana makhluk hidup tidak dapat melewatinya.

 

Peristiwa Isra’ Mi’raj memberikan banyak hikmah, di antaranya adalah tentang pemahaman kemampuan manusia atas kewajiban agama.

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA mengisahkan awal perjalanan Rasulullah SAW dalam peristiwa 27 Rajab tahun kedelapan masa kenabiannya:

 

Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Aku didatangi Buraq (kendaraan yang diibaratkan sejenis kuda gagah yang bisa terbang). Lalu aku menunggangnya sampai ke Baitul Maqdis. Aku mengikatnya pada pintu mesjid yang biasa digunakan mengikat tunggangan oleh para nabi. Kemudian aku masuk ke masjid dan mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah aku keluar, Jibril datang membawa bejana berisi arak dan bejana berisi susu. Aku memilih susu, Jibril berkata: Engkau telah memilih fitrah.

 

Lalu Jibril membawaku naik ke langit. Ketika Jibril minta dibukakan, ada yang bertanya: Siapakah engkau? Dijawab: Jibril. Ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Jawab Jibril: Ya, ia telah diutus. Lalu dibukakan bagi kami. Aku bertemu dengan Adam. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Kemudian aku dibawa naik ke langit kedua. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: Siapakah engkau? Jawab Jibril: Jibril. Ditanya lagi: Siapakah yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Jawabnya: Dia telah diutus. Pintu pun dibuka untuk kami. Aku bertemu dengan Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakaria. Mereka berdua menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.

 

Aku dibawa naik ke langit ketiga. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: Siapa engkau? Dijawab: Jibril. Ditanya lagi: Siapa bersamamu? Muhammad saw. jawabnya. Ditanyakan: Dia telah diutus? Dia telah diutus, jawab Jibril. Pintu dibuka untuk kami. Aku bertemu Yusuf. Ternyata ia telah dikaruniai sebagian keindahan. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Aku dibawa naik ke langit keempat. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: Siapa ini? Jibril menjawab: Jibril. Ditanya lagi: Siapa bersamamu? Muhammad, jawab Jibril. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Jibril menjawab: Dia telah diutus. Kami pun dibukakan. Ternyata di sana ada Nabi Idris. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman: Kami mengangkatnya pada tempat (martabat) yang tinggi.

 

Aku dibawa naik ke langit kelima. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: Siapa? Dijawab: Jibril. Ditanya lagi: Siapa bersamamu? Dijawab: Muhammad. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Dijawab: Dia telah diutus. Kami dibukakan. Di sana aku bertemu Nabi Harun. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Aku dibawa naik ke langit keenam. Jibril as. minta dibukakan. Ada yang bertanya: Siapa ini? Jawabnya: Jibril. Ditanya lagi: Siapa bersamamu? Muhammad, jawab Jibril. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Jawabnya: Dia telah diutus. Kami dibukakan. Di sana ada Nabi Musa. Dia menyambut dan mendoakanku dengan kebaikan. Jibril membawaku naik ke langit ketujuh. Jibril minta dibukakan. Lalu ada yang bertanya: Siapa ini? Jawabnya: Jibril. Ditanya lagi: Siapa bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanyakan: Apakah ia telah diutus? Jawabnya: Dia telah diutus. Kami dibukakan. Ternyata di sana aku bertemu Nabi Ibrahim. sedang menyandarkan punggungnya pada Baitul Makmur. Ternyata setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat masuk ke Baitulmakmur dan tidak kembali lagi ke sana.

 

Kemudian aku dibawa pergi ke Sidratul Muntaha yang dedaunannya seperti kuping-kuping gajah dan buahnya sebesar tempayan. Ketika atas perintah Allah, Sidratul Muntaha diselubungi berbagai macam keindahan, maka suasana menjadi berubah, sehingga tak seorang pun di antara makhluk Allah mampu melukiskan keindahannya. Lalu Allah memberikan wahyu kepadaku. Aku diwajibkan shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Tatkala turun dan bertemu Nabi Musa, ia bertanya: Apa yang telah difardukan Tuhanmu kepada umatmu? Aku menjawab: Shalat lima puluh kali. Dia berkata: Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan, karena umatmu tidak akan kuat melaksanakannya. Aku pernah mencobanya pada Bani Israel. Aku pun kembali kepada Tuhanku dan berkata: Wahai Tuhanku, berilah keringanan atas umatku. Lalu Allah mengurangi lima shalat dariku. Aku kembali kepada Nabi Musa dan aku katakan: Allah telah mengurangi lima waktu shalat dariku. Dia berkata: Umatmu masih tidak sanggup melaksanakan itu. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan lagi.

 

Tak henti-hentinya aku bolak-balik antara Tuhanku dan Nabi Musa sampai Allah berfirman: Hai Muhammad, sesungguhnya kefardluannya adalah lima waktu shalat sehari semalam. Setiap shalat mempunyai nilai sepuluh. Dengan demikian, lima shalat sama dengan lima puluh shalat. Dan barangsiapa yang berniat untuk kebaikan, tetapi tidak melaksanakannya, maka dicatat satu kebaikan baginya. Jika ia melaksanakannya, maka dicatat sepuluh kebaikan baginya. Sebaliknya barangsiapa yang berniat jahat, tetapi tidak melaksanakannya, maka tidak sesuatu pun dicatat. Kalau ia jadi mengerjakannya, maka dicatat sebagai satu kejahatan. Aku turun hingga sampai kepada Nabi Musa, lalu aku beritahukan padanya. Dia masih saja berkata: Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan. Aku menyahut: Aku telah bolak-balik kepada Tuhan, hingga aku merasa malu kepada-Nya.

 

Jibril lalu pergi bersamaku sampai ke Sidratul Muntaha yang tertutup warna-warna yang aku tidak mengetahui apakah itu sebenarnya? Aku lalu dimasukkan ke surga. Tiba-tiba di sana ada kail dari mutiara dan debunya adalah kasturi.'" (Shahih Muslim No.234)

 

Hadis tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sosok pemimpin yang sangat aspiratif dan menjadikan kemampuan umatnya sebagai landasan pertimbangan. Terlebih, pada akhirnya, Allah SWT telah berfirman bahwa sesungguhnya kefardluan shalat adalah pada lima waktu. Kemudahan sesuai dengan kemampuan manusia, merupakan identitas dalam ajaran Islam.

 

عَلِّمُوْا وَيَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا وَإِذَا غَضِبَ أَحَدَكُمْ فَلْيَسْكُتْ (رواه البخاري)

Artinya: Ajarilah, permudahlah, dan jangan kamu persulit, dan gembirakanlah dan jangan kamu membuat tidak senang, dan apabila salah seorang kamu marah maka hendaklah ia diam. (HR Bukhari, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5480).

 

Dengan begitu, Islam bukanlah agama yang memberatkan, melainkan mencintai kemudahan sesuai dengan kemampuan umat. Muslim sejati tentunya memahami hal tersebut dan tidak menjadikan ajaran Islam merupakan beban sehingga tidak ada nilai ikhlas dan tulus dalam menjalannya. Bahkan dalam Islam, terdapat pola ‘Rabbani’, yaitu bahwa dalam mengajarkan fiqih atau apapun yang berkaitan hukum Islam, hendaknya diajarkan secara bertahap sesuai kemampuan umat Islam yang sedang diajari. Rasulullah SAW menjelaskan:

 

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كُوْنُوْا رَبَّانِيِّيْنَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِيْ يُرَبِّيْ النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ

 

Artinya: Ibnu Abbas berkata: Jadilah kamu semua itu golongan Rabbani, penuh kesabaran serta pandai dalam ilmu fiqih (yakni ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hukum-hukum agama). Yang dimaksudkan ‘Rabbani’ ialah orang yang mendidik para manusia dengan mengerjakan ilmu pengetahuan yang kecil-kecil sebelum memberikan ilmu pengetahuan yang besar-besar (yang sukar). (Shahih Bukhari Hadis nomor 68).

 

Maka, hendaknya kita menjaga semangat Islam sebagai agama yang adaptif dengan kemampuan kaum muslim. Yakni dengan menghindarkan ajaran yang berat kecuali pada kaum muslim yang memiliki pemahaman dan kemampuan yang telah lebih layak daripada lainnya. Karena Islam adalah ajaran yang patut kita cintai, dan shalat adalah ibadah yang patut kita lakukan dengan sepenuh hati.

 

Lia Istifhama, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Raudlatul Banin wal Banat Al Masykuriyah, Surabaya.


Editor:

Opini Terbaru