Pendidikan

Fiqh Aqaliyat: Solusi Umat Islam di Negara dengan Populasi Muslim Minoritas

Selasa, 4 Maret 2025 | 08:00 WIB

Fiqh Aqaliyat: Solusi Umat Islam di Negara dengan Populasi Muslim Minoritas

Prof Haris di Masjid Nusantara Jepang. (Foto: NOJ/ist)

Jember, NU Online Jatim

Praktik fiqh aqaliyat atau fiqh minoritas menjadi solusi bagi umat Islam yang tinggal di negara dengan penduduk mayoritas non-muslim, termasuk Jepang. Hal ini menjadi salah satu topik pembahasan Direktur World Moslem Studies Center, Prof. Dr. KH. M Noor Harisudin, S.Ag. SH., M.Fi.I dalam kajian yang digelar di Masjid Nusantara Kota Tsubame, Prefektur Niigata, Jepang, pada Ahad (02/03/2025).

 

Masjid Nusantara Tsubame merupakan masjid baru yang mulai digunakan untuk kegiatan shalat Jumat sejak tanggal 31 Januari 2025. Masjid dua lantai dengan luas 420 meter persegi ini menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi diaspora Indonesia di Tsubame dan kota-kota sekitarnya. Pada akhir pekan, saat banyak pekerja migran libur, masjid ini semakin ramai dikunjungi umat Islam.

 

Kajian fiqh aqaliyat dimulai pada pukul 16.30 hingga 17.30 waktu setempat. Prof. Haris, yang juga Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu membuka pembahasan dengan menjelaskan konsep masyaqat atau kesulitan dalam menjalankan ibadah.

 

“Pahala itu bergantung pada masyaqat-nya. Jika menjalankan ibadah di Jepang lebih sulit, maka pahalanya pun lebih besar. Prinsipnya, semakin sulit, semakin banyak pahala,” ujar Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur itu.

 

Menurut Prof Haris, seorang Muslim yang tinggal di Jepang dapat menerapkan fiqh aqaliyat dalam praktik keseharian Islam. Fiqh aqaliyat adalah fiqh yang dirancang khusus untuk komunitas muslim di negara-negara minoritas muslim. Di negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Taiwan, China, dan negara sejenis, minoritas muslim lain dapat menggunakan fiqh aqaliyat yang juga juga dikenal dengan fiqh rukshah (dispensasi) tersebut.

 

Dalam pandangn Prof Haris, fiqh aqaliyat juga disebut fiqh dispensasi karena dalam fiqh aqaliyat berlaku hukum pengecualian karena alasan keadaan sulit (masyaqqat) bagi umat Islam.

 

“Jika fiqh umumnya mewajibkan muslim dikubur dalam satu pemakaman dengan muslim yang lain, maka ini tidak bisa dilakukan di Jepang yang pada umumnya tidak ada pemakaman muslimnya. Oleh karena itu, fiqh aqaliyat membolehkan kuburan muslim berbaur dengan pemakaman non-muslim,” terangnya.

 

Demikian juga, mensucikan najis mughaladlah pada umumnya pada tujuh kali basuhan salah satunya dengan debu. Ini juga sulit bagi muslim minoritas karena mereka tinggal di lantai tinggi apartemen dimana mereka sangat susah ke bawah cari debu dan apalagi jika dimarahi majikan. 

 

“Maka dalam fiqh aqaliyat tidak pakai debu, tapi dicampur dengan sabun,” ujar Prof. Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur itu.

 

Demikian juga dengan shalat Jumat yang sulit dilakukan bagi sebagain muslim. Sebagai contoh, banyak pekerja migran Indonesia yang harus bekerja dari pukul 08.00 hingga 17.00, sehingga kesulitan melaksanakan shalat Jumat di masjid. Kalau ingin shalat Jumat, mereka harus tidak masuk kerja. Sebaliknya, kalau mereka kerja, mereka tidak bisa shalat Jumat.

 

Tantangan yang dihadapi Muslim di Jepang tidak hanya terbatas pada akses ke masjid, tetapi juga ketersediaan makanan halal, pemakaman muslim, serta regulasi pemerintah yang tidak selalu mendukung praktik keagamaan muslim. Sehingga dalam kondisi sulit seperti ini, muslim diaspora Jepang mendapatkan rukhsah atau keringanan dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga tetap bisa beribadah dengan baik meskipun berada di lingkungan yang berbeda dari negara-negara muslim mayoritas.

 

“Seperti di negara-negara minoritas muslim lainnya, keterbatasan ini mengharuskan umat Islam untuk cerdas mencari solusi dengan menerapkan fiqh aqaliyat,” jelas Pengasuh PP Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut.

 

Apa yang disampaikan Prof. Haris senada dengan pengalaman H. Suratman yang sudah tinggal puluhan tahun di Jepang. Dulu, H. Suratman harus meminta izin tidak masuk kerja agar bisa melaksanakan shalat Jumat. Lambat laun, ia mengubah strategi dengan cara menunaikan shalat Jumat di perusahaan dengan meminta tempat pada perusahaan, meski jumlah jamaah kurang dari 40 orang.

 

“Alhamdulillah, sekarang kami sudah ada masjid sehingga tidak pernah meninggalkan sholat Jumat,” kata H. Suratman, salah satu peserta kajian yang juga Pengelola Masjid Nusantara Tsubame Niigata Jepang.

 

Sementara itu, Ketua Tanfidziyah MWCINU Niigata Jepang, Alfian mengatakan bahwa mereka yang kerja di lapangan sulit melakukan shalat Jumat. Karena kerja di lapangan pada umumnya menyesuaikan dengan target perusahaan.

 

“Kalau kita yang di lapangan harus ikut pada target perusahaan, sehingga kita seringkali sulit shalat Jumat di Jepang. Akhirnya, ya kita qadla karena dilakukan di luar waktu Jumat. Karena saat kerja, tidak cukup waktu sholat Jumat dan juga sholat Ashar,” kata Alfian yang asal Bandar Lampung Indonesia.