Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network

Metropolis

Ning Farida Ulfi Jelaskan Manajemen Diri Hadapi Orang Toxic

Ning Farida Ulfi Na'imah. (Foto: NOJ/Boy Ardiansyah)

Sidoarjo, NU Online Jatim

Ning Farida Ulfi Na’imah menjelaskan terkait manajemen diri menghadapi orang yang toxic. Sebagai seorang manusia mempunyai potensi untuk membenci orang lain karena sebab-sebab tertentu. Misalnya karena ucapan, ucapan bisa sangat mulukai hati, maka potensi sembuh cukup lama.


“Asal usul sakit itu dari mulut. Ada yang seperti makanan yang kemudian bisa mengakibatkan sakit secara fisik,” katanya saat mengisi Aswaja Female Mengaji yang disiarkan live di akun Instagram @aswaja_femalesda, Rabu (05/06/2024).


Sementara yang keluar dari mulut berupa ucapan bisa mengakibatkan sakit hati dan kemungkinan sembuh cukup lama. Sebagai pihak yang disakiti tentu akan marah, namun akan lebih baik jika bisa menahan. Karena jika terlontar kata-kata yang buruk untuk membalas ucapan yang menyakitkan tidak akan memiliki manfaat yang baik.


“Perasaan marah mungkin sulit dikelola. Akan tetapi bagaimana mengendalikan sesuatu yang keluar dari mulut kita sehingga kita menjadi orang yang baik,” terangnya.


Menurutnya, pikiran setiap orang tidak bisa dikontrol untuk selalu menyanangkan orang lain. Yang bisa adalah bagaimana mengatur diri sendiri agar orang lain tidak tersinggung karena ucapan yang keluar dari mulut.


“Jadilah orang yang menyenangkan dalam komunitas-komunitas. Dengan demikian kehadiran kita akan dirindukan,” ungkapnya.


Ia menyebut, berbicara akhlak tidak akan menimbulkan banyak pertanyaan. Karena pada dasarnya akhlak bersifat umum dan mudah diidentifikasi bahwa hal itu baik. Menurut firqah Muktazilah, orang bisa mengindentifikasi baik buruk cukup dengan akal tanpa peran teks Al-Qur’an maupun hadist dari Nabi Muhammad SAW asal tidak gila.


“Konsep Muktazilah ini kemudian dibantah oleh kalangan Asy’ariyah yang mengatakan apakah kebaikan menurut akal manusia itu mutlak seluruhnya baik. Jawabannya tidak juga” jelasnya.


Oleh karenanya, kalangan Asy’ariyah berpendapat, kabaikan adalah ketika tuhan mengatakan hal itu baik. Meskipun menurut ukuran manusia itu buruk, berarti ukuran kebaikan manusia dan tuhan berbeda. Konsep tawasuth ditemukan dalam pendapat Imam Al-Maturidi. Dalam menentukan baik buruk Al-Maturidi berpendapat akal mempunyai peran. Karena kelebihan manusia dengan makhluk lain terletak pada akal.


“Maka yang menurut akal kita baik itu harus kita lakukan. Tetapi setelah kita melakukan jangan mengintervensi tuhan untuk membalas kebaikan kita,” tandasnya.

Boy Ardiansyah
Editor: Yulia Novita Hanum

Artikel Terkait