PMII Blitar Bantah Aksi Kader saat Ada Gibran Caper dan Beres di Meja Makan
Ahad, 22 Juni 2025 | 20:00 WIB
Blitar, NU Online Jatim
Ketua Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blitar, M Thoha Ma’ruf, membantah aksi kritik tiga kadernya kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sebagai sikap cari perhatian (caper) dan selesai dengan jamuan makan siang.
Ia menjelaskan bahwa para kader PMII itu dibawa ke tempat makan untuk bertemu langsung dengan Wapres Gibran. Namun, situasi itu justru dikemas dalam narasi dijamu makan siang. "Kebetulan karena semua orang di situ makan dan di tempat makan, maka ada narasi kami dijamu makanan," jelasnya kepada NU Online, Sabtu (21/06/2025) malam.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Diketahui, aksi tiga kader PMII Blitar yang membentangkan poster kritik terhadap Wapres Gibran Rakabuming Raka terus menyita perhatian publik. Pasalnya, beberapa kalangan menyebut aksi itu telah diselesaikan dengan jamuan makan siang. Bahkan, aksi mereka disebut sebagai upaya mencari perhatian (caper) dan memalukan.
Thoha menilai, narasi tersebut cenderung menutupi fakta bahwa di tempat makan itu, para kader PMII sempat dicecar banyak pertanyaan dan kehilangan hak menyampaikan aspirasi secara terbuka. "Perlu dipahami, kritik terhadap pejabat publik adalah hak rakyat, bukan malah dianggap penghinaan," tegasnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Ia juga menekankan bahwa tidak ada niatan untuk menciptakan kerusuhan. "Simpel keinginan kami, hanya menyuarakan aspirasi lewat poster," ungkapnya.
Menurut Thoha, cara penanganan terhadap aksi itu bertolak belakang dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat. Demokrasi, katanya, tidak seharusnya dihadapi dengan penjinakan lewat "keramahan" protokoler.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Ia menyebutkan, dalam negara demokrasi, ekspresi seperti itu bukanlah bentuk penghinaan tapi kegelisahan atas janji-janji kosong dan penyimpangan kekuasaan. "Bukankah dalam negara demokrasi, kritik seperti ini seharusnya dihargai, bukan malah direndahkan?" ujarnya.
Ia pun mempertanyakan jika aksi damai saja dianggap memalukan, lalu di mana sebenarnya ruang yang bebas bagi rakyat menyampaikan pendapat? Namun, pendekatan "kekeluargaan" tersebut dinilai oleh Thoha sebagai strategi pelunakan kritik.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
"Yang dibutuhkan adalah ruang jujur untuk menyampaikan suara. Intimidasi dibalut jamuan bukanlah cara membina demokrasi, namun justru cara halus membungkamnya," ucap Thoha.
Bagi PMII Blitar, aksi ini bukan sekadar protes, tetapi komitmen menjaga ruang demokrasi yang belakangan kian menyempit. Kejadian ini mencerminkan bahwa suara kritis dari rakyat, terutama mahasiswa, masih dianggap ancaman. Padahal, mereka justru menjalankan fungsi penting dalam demokrasi menjadi nurani publik.
“Yang memalukan bukan suara yang lantang, tapi ketakutan para pejabat mendengarnya,” ungkap Thoha.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Sebelumnya, Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin menyebut bahwa tiga kader PMII itu sedang mencari perhatian dan tidak paham soal substansi dari kunjungan kerja Wapres Gibran. Karena itu, ia mengaku malu atas kejadian itu.
"Saya sebagai senior yang dulu pernah jadi aktivis malulah saya, disampaikan kalau menyampaikan aspirasi dengan cara yang baik tidak dengan cara cari perhatian seperti itu,” kata Ibin, sapaan akrabnya, dikutip Berita Jatim.
Sementara Kapolres Blitar Kota AKBP Titus Yudho Uly menyampaikan bahwa langkah yang diambil aparat adalah pendekatan persuasif. Menurutnya, ketiga mahasiswa itu tidak ditindak represif, melainkan diajak berdialog.
"Kami menghadirkan para senior mereka, termasuk Wali Kota, untuk memberikan pembinaan. Pendekatannya dialogis dan kekeluargaan," kata Titus dikutip dari CNN Indonesia.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND