Oleh: Lukman Ahmad Irfan*)
Ramadhan tahun ini baru saja usai. Namun penting untuk mengingat kembali nuansa atau rasa Ramadhan agar tidak hilang barokah kebaikannya. Untuk mempertahankan rasa Ramadhan salah satunya adalah dengan menyemai benih Lailatul Qadar secara istiqomah. Benih Lailatul Qadar itu sendiri adalah Al-Qur’an.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Dalam tafsir Fathul Qodir, Imam Asy-Syaukani menyatakan bahwa meskipun kata "Al-Qur'an" tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat-ayat tentang Lailatul Qadar. Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan dhomir “hu” dalam " اَنْزَلْنٰهُ " adalah Al-Qur'an.
الضَّمِيرُ في أنْزَلْناهُ لِلْقُرْآنِ، وإنْ لَمْ يَتَقَدَّمْ لَهُ ذِكْرٌ،
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Baca Juga
Empat Peristiwa Besar di Bulan Ramadhan
Artinya: Kata ganti dalam ‘Kami menurunkannya’ (dalam surat Al-Qadar) adalah merujuk kepada Al-Qur'an, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit sebelumnya. (Imam Asy-Syaukani, Fathul Qodir, QS. Al-Qadar 1).
Hal ini memberikan pemahaman bahwa hubungan Lailatul Qadar memiliki kaitan sangat erat dengan Al-Qur'an, karena pada malam inilah wahyu pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia. Allah berfirman dalam Surah Ad-Dukhan ayat 3:
ADVERTISEMENT BY OPTAD
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ ٣
Artinya: “Sesungguhnya Kami (mulai menurunkannya pada malam yang diberkahi (Lailatul Qadar). Sesungguhnya Kamilah pemberi peringatan.” (QS. Ad-Dukhan 3)
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Hubungan yang sangat erat ini seakan menegaskan bahwa tidakada Lailatul Qadar kalau tidak ada penurunan Al-Qur’an (nuzulul qur’an). Oleh karenanya Al-Qur’an dapat disebut sebagai benih dari Lailatul Qadar.
Motivasi Mempelajari Al-Qur’an dengan Lailatul Qadar
Karena urgensi Al-Qur’an, Allah SWT memotivasi kepada kaum muslim dengan sedemikian besarnya, yaitu satu malam setara 1000 bulan. Lailatul Qadar kemudian menjadi yang dinanti bahkan ‘diburu’ setiap Ramadhan. Imam Al-Qurthubi mengatakan:
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
وَقَالَ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّأِ مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ الْقَاسِمِ وَغَيْرِهِ : سَمِعْتُ مِنْ أَثِقٍ بِهِ يَقُولُ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أُرِيَ أَعْمَارَ الأُمَمِ قَبْلَهُ، فَكَأَنَّهُ تَقَاصَرَ أَعْمَارَ أُمَّتِهِ أَلَّا يَبْلُغُوا مِنَ الْعَمَلِ مِثْلَ مَا بَلَغَ غَيْرُهُمْ فِي طُولِ الْعُمُرِ؛ فَأَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى لَيْلَةَ الْقَدْرِ، وَجَعَلَهَا خَيْرًا مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ.
Artinya: Malik berkata dalam kitab Al-Muwaththa' dari riwayat Ibnu Al-Qasim dan lainnya: "Aku mendengar dari seseorang yang aku percayai, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW diperlihatkan umur-umur umat sebelum beliau, maka seolah-olah beliau merasa bahwa umur umatnya terlalu pendek sehingga mereka tidak dapat mencapai amal sebanyak yang dicapai oleh umat-umat lain karena panjangnya umur mereka. Maka Allah SWT memberikan kepada beliau malam Lailatul Qadar dan menjadikannya lebih baik daripada seribu bulan. (Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami‘i li-Ahkami al-Qur'an wa al-Mubayyini lima tadammanahu mina as-Sunnah wa Ayi al-Furqan QS. Al-Qadar 3).
Barokah Lailatul Qadar: Sibuk dengan Al-Qur’an
Memahami hubungan yang sangat erat antara Al-Qur’an dan Lailatul Qadar di atas, maka tanda seseorang mendapatkan keberkahan (barokah) Ramadhan dan Lailatul Qadar adalah ketika ia menyibukkan diri dengan aktivitas yang berkaitan dengan Al-Qur'an setelah usai Ramadhan. Bukan hanya di bulan Syawal saja, namun seterusnya sampai Ramadhan berikutnya bahkan sampai akhir hayat menjemput.
Sibuk dengan Al-Qur’an idealnya dilakukan sesuai dengan konteks pribadi masing-masing muslim. Bagi yang belum bisa membaca, berarti belajar membaca dan sekaligus memahami dan mengamalkan. Bagi yang sudah mahir membaca berarti memahami, menghayati, mengamalkannya, dan mentafakkurinya. Secara umum sibuk dengan Al-Qur’an adalah mempelajari dengan membaca penuh penghayatan, mempelajari makna dan tafsirnya, mengamalkan, dan kemudian mentafakkurinya.
Tanda keberhasilan aktivitas ini bukan hanya ibadah fisik semata, namun juga tumbuhnya rasa ihsan saat sibuk dengan Al-Qur’an, yaitu seakan-akan melihat Allah SWT, atau merasakan dilihat Allah SWT. Hal ini sebagaimana dalam hadits:
..قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ…
Artinya: “…Malaikat Jibril bertanya lagi, “Beritahukan aku tentang ihsan.” Nabi SAW bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Rasa ihsan dalam sibuk bersama Al-Qur’an dapat dipahami lebih mendalam dengan merasakan firman Allah Swt adalah adanya tujuan ayat untuk pribadi masing-masing saat membacanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Hasan Al-Bashri ra. terkait hadis Qudsi Surat Al-Fatihah:
قَالَ الْحَسَنُ: وَإِنْ أَرَدْتَ أَنْ يُكَلِّمَكَ اللَّهُ فَاقْرَأ الْقُرْآنَ، وَفِي الْحَدِيثِ: (قَسَّمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، إِذَا قَرَأَ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الفاتحة:٢]، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: حَمِدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة:٣]، قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} [الفاتحة:٤]، قَالَ اللَّهُ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} [الفاتحة:٥]، قَالَ اللَّهُ: هَذِهِ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، فَإِذَا أَكْمَلَ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة:٧]، قَالَ اللَّهُ: هَذِهِ لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ.
Artinya: Al-Hasan (Bashri) berkata: "Jika engkau ingin Allah berbicara kepadamu, maka bacalah Al-Qur'an." Dalam sebuah hadis disebutkan: "Aku (Allah) telah membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dan hamba-Ku. Ketika seorang hamba membaca: 'Alhamdulillahi rabbil 'alamin' (QS. Al-Fatihah: 2), Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku.' Kemudian ketika ia membaca: 'Ar-Rahmanir Rahim' (QS. Al-Fatihah: 3), Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.' Lalu ketika ia membaca: 'Maliki Yaumiddin' (QS. Al-Fatihah: 4), Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.' Kemudian ketika ia membaca: 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in' (QS. Al-Fatihah: 5), Allah berfirman: 'Ini adalah bagian antara Aku dan hamba-Ku.' Dan ketika ia menyelesaikan bacaan hingga firman-Nya: 'Wa la ddhaallin' (QS. Al-Fatihah: 7), Allah berfirman: 'Ini adalah untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang iaminta.” (Umar Abdul Kafi dalam Syarhu Kitabil Fawaid).
Kesimpulan
Merawat barokah dan menyemai benih Lailatul Qadar adalah dengan sibuk mendalami, menghayati, mengamalkan, dan mentafakkuri Al-Qur'an dengan bingkai ihsan. Aktivitas ini akan membawa pribadi muslim tidak hanya menjalani ibadah ritual, tetapi juga membangun hubungan spiritual yang mendalam dengan Allah SWT. Serta, akan menjadi lebih khusyuk dalam menjalani kehidupan. Pribadi seperti ini akan merasa teranugerahi rasa cinta, rindu, kagum, tunduk, hingga takluk kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.
*) Alumni Pondok Pesantren Bumi Damai Al-Muhibbin, Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, dosen Universitas Islam Indonesia (UII), dan Rais MWCNU Berbah, Sleman, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND