Opini

Sarung dan Peci, Simbol Perlawanan Santri terhadap Penjajah

Jumat, 18 Oktober 2024 | 20:00 WIB

Sarung dan Peci, Simbol Perlawanan Santri terhadap Penjajah

Kiai dan santri. (Foto: NOJ/Ma'had Aly Jakarta)

Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda gencar pemakaian jas, termasuk celana, lengkap dengan sepatunya. Besar harapan agar penjajahan bisa diterima oleh masyarakat secara luas. Namun para kiai dan pahlawan pada saat itu sudah menyadari niat busuk Belanda tersebut. Sehingga mereka membalasnya dengan mewajibkan para santri dan masyarakat untuk memakai sarung dan peci dalam aktivitasnya sehari-hari.


Pada masa itu, identitas pakaian menjadi penyemangat pergerakan masyarakat Indonesia untuk melawanan terhadap dominasi asing. Sehingga, jiwa penolakan terhadap anasir kolonial sangat menguat. Ambil satu contoh, dalam sejarah perlawanannya dengan manggunakan sarung pernah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) ketika Muktamar ke-2 NU tepatnya pada tahun 1927. Dimana pesertanya ini terdiri dari para ulama dan pimpinan pondok pesantren. Mereka memutuskan bahwa berpakaian menyerupai pakaian penjajah hukumnya adalah haram. Banyak kalangan memaknai bahwa keputusan ini sebagai puncak perlawanan simbolik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap praktik kolonialisme yang terjadi pada masa tersebut.


Termasuk ada juga catatan dalam sejarah Indonesia yang cukup menarik perhatian pada waktu itu, sebagaiamana yang dicontohkan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Pada saat Kiai Wahab mendapatkan undangan dari Presiden Soekarno ke istana. Dimana undangan ini mewajibkan memakai jas dan dasi. Suatu hal yang menarik dan patut menjadi suatu pelajaran berharga bagi generasi kita adalah beliau pada waktu itu datang dengan atasan berupa jas tapi dengan bawahan tetap berupa sarung. Dari sini sebetulnya Kiai Wahab ingin menunjukkan bahwa sarung merupakan warisan budaya dan juga identitas nasionalisme yang patut menjadi kebanggaan kita.Kiai Wahab juga ingin menunjukkan kepada masyarakat secara luas, bahwa sarung adalah salah satu bukti nyata perjuangan para santri dalam melawan penjajahan Belanda di Indonesia.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Semua yang dilakukan oleh para kiai dan santri sebagaimana tersebut di atas adalah semata-mata untuk menjawab tantangan dan melawan penjajah. Sebab pada waktu itu sudah menjadi potret buram kaum santri yang memiliki kebiasaan memakai sarung dan peci bukanlah orang-orang yang didengar dalam percaturan sosial, lebih-lebih urusan perpolitikan. Dan perlu digarisbawahi dalam konteks Indonesia, mereka lebih dikenal dengan sebutan udik. Padahal keberadaan sarung dan peci tidak hanya menjadi suatu simbol kebudayaan dan agama di Indonesia, akan tetapi juga menjadi bagian dari politik.

 

Namun menjadi catatan akhir bagi kita adalah dalam konteks sosio-antropologis, pakaian menjadi sebuah kode yang memiliki banyak makna baik terkait dengan identitas, suatu ideologi hingga kemajuan teknologi dan bahkan urusan dalam berpolitik. Memang pada fungsi utamanya pakaian adalah menjadi pelindung tubuh kita dari perubahan cuaca atau serangan hewan yang ada di sekitar kita.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Penulis adalah Dr. Heru Siswanto, Dosen Pascasarjana IAI Al-
Khoziny Buduran Sidoarjo, Dosen Politeknik Pelayaran Surabaya, Pengurus LTMNU Sidoarjo, Ketua LDNU Krembung.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND