• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 2 Mei 2024

Keislaman

Adzan dan Iqamah dalam Keadaan Hadats, Bagaimana Hukumnya?

Adzan dan Iqamah dalam Keadaan Hadats, Bagaimana Hukumnya?
Tampak muadzin mengumandangkan adzan (Foto:NOJ/nuonline)
Tampak muadzin mengumandangkan adzan (Foto:NOJ/nuonline)

Oleh: Moch Vicky Shahrul Hermawan*


Secara bahasa, adzan berarti pemberitahuan. Sedang secara istilah ulama fikih, adzan berarti ucapan tertentu yang dengannya diketahui waktu salat. Pensyariatan adzan secara dasar bisa dilihat melalui beberapa dalil. Misalnya, surah al-Maidah ayat 57 dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. 


Sedang definisi iqamah (dalam bahasa Jawa disebut iqomat), secara bahasa sama dengan adzan, yakni pemberitahuan. Sedang secara istilah, berarti beberapa lafad tertentu yang diucapkan dalam rangka memperingatkan para jamaah bahwasanya salat hendak dilaksanakan.


Menurut satu keterangan dari Imam Suyuthi, salah satu pengarang kitab Tafsir al-Jalalaini, bahwasanya adzan dan iqamah termasuk salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat Nabi. Dalam arti, sebelum kedatangan Nabi Muhammad, umat-umat sebelumnya belum mengenal praktek adzan dan iqamah. 


Berbicara mengenai status adzan dan iqamah, di dalam kitab Minhaj al-Thalibin, Imam an-Nawawi menuturkan:


الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ سُنَّةٌ وَقِيْلَ فَرْضُ كِفَايَةٍ


Artinya: Adzan dan Iqamah itu sunah dikerjakan. Pendapat lain, statusnya wajib kolektif. 
Melalui penuturan tersebut, Imam an-Nawawi hendak menegaskan bahwa status adzan dan iqamah itu berbeda. Satu pendapat mengatakan dianjurkan, pendapat lain mengatakan, wajib kolektif (fardu kifayah)


Untuk pendapat pertama, mempertimbangkan tidak adanya perintah secara tegas dari Nabi mengenai keharusan adzan dan iqamah. Sedang pendapat kedua, menimbang status keduanya adalah bentuk syiar dari agama Islam yang memang seharusnya diadakan. Sehingga, semisal dalam satu kampung sepakat untuk meniadakan pelaksanaan adzan dan iqamah, jelas mereka berdosa.


Jadi, perbedaan pendapat di atas terjadi sebab sudut pandang berbeda. Hal ini normal, dan memang begitu adanya. Selanjutnya, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa:


وَإِنَّمَا يُشْرَعَانِ لِلْمَكْتُوبَةِ 


Artinya: Adzan dan iqamah hanya dilaksanakan setiap kali hendak salat wajib.


Dari sini, ketika suatu golongan hendak melaksanakan salat sunah berjamaah misalnya, maka bagi mereka tidak dianjurkan untuk adzan dan iqamah.


Tidak lupa, Imam an-Nawawi juga menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan adzan dan iqamah. Ada banyak tema-tema dan poin-poin pembahasan yang beliau tawarkan.


Dalam kesempatan kali ini, kita akan membahas seputar azan dan iqamah dalam keadaan berhadas. Ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa tawarkan. Misalnya, apakah status adzan dan iqamah batal ketika dilaksanakan dalam keadaan berhadas? Bagaimana sebenarnya hukum yang berlaku?


Dalam hal ini, Imam an-Nawawi menuturkan:


وَيُكْرَهُ لِلْمُحْدِثِ وَلِلْجُنُبِ أَشَدُّ 


Artinya: Bagi orang yang berhadas kecil, makruh hukumnya adzan. Sedang bagi yang berhadas besar (junub), maka hukum kemakruhannya lebih besar.


Jadi, gampangnya, orang yang habis kencing misalnya, lalu adzan tanpa berwudu terlebih dahulu, maka makruh baginya untuk adzan. Namun, kemakruhan pada kondisi ini hanya biasa saja. Sekedar makruh biasa.


Berbeda halnya ketika ada orang habis keluar mani misalnya, belum mandi langsung adzan, maka makruh juga baginya untuk adzan. Dalam hal ini, jelas kemakruhan yang ia dapat lebih besar daripada kondisi hadas kecil.


Kenapa lebih besar status kemakruhannya?


Syekh Mahfud al-Turmusi dalam kitab Al-Manhal al-‘Amim Hasyiyah Minhajil Qawim menerangkan alasan atas pertanyaan di atas.


Pertama, kondisi junub itu lebih besar dibanding kondisi hadas kecil misal kencing. Kedua, perangkat yang dibutuhkan oleh orang junub untuk bisa melaksanakan salat itu lebih besar daripada perangkat yang dibutuhkan orang berhadas kecil ketika hendak melaksanakan shalat. Selanjutnya, Imam an-Nawawi berkata:


وَالإِقَامَةُ أَغْلَطُ


Artinya: Sedang di dalam konteks iqamah, maka orang yang berhadas kecil dan besar, hukum kemakruhannya lebih berat daripada di konteks azan.


Dari sini mungkin tampak jelas. Konteks kemakruhan dalam kondisi hadas besar dan kecil, antara iqamah dan azan itu berbeda. Alasan sederhana yang bisa kita tawarkan adalah, masa antara iqamah dan salat itu sangat singkat.


Apabila dia junub misalnya, maka jamaah akan menunggu lama untuk dia bisa bersuci. Dan hal ini jelas menyusahkan mereka. Atau mungkin mereka tidak akan merasa disusahkan, namun jelasnya akan muncul prasangka-prasangka negatif.


Sebelum lebih lanjut, mungkin muncul satu pertanyaan. Kira-kira, ada konsep makruh ketika azan dan iqamah dalam keadaan hadas itu muncul dari mana? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menilik beberapa dalil sebagaimana di bawah ini:


لاَ يُؤَذِّنُ إِلَّا مُتَوَضِّئُ


Artinya: Tidak diperkenankan adzan, kecuali orang yang memiliki wudhu. (HR Imam Turmudzi No. 200).


Ditambah satu dalil berikut:


كَرَهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ


Artinya: Aku tidak suka zikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci. (HR. Imam Ibnu Dawud).


Namun, meski statusnya makruh, kita tahu bahwa adzan dan iqamah yang dilaksanakan dalam keadaan berhadas, tetap sah. Kesimpulan ini bisa kita lihat melalui pernyataan Imam Syafi’i di dalam kitab Al-Umm berikut:


وَيُكْرَهُ الأَذَانُ بِغَيْرِ وُضُوْءٍ وَيُجْزِئُ إِنْ فَعَلَ 


Artinya: Adzan itu makruh dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki wudu. Namun, tetap saja dianggap sah ketika dia nekat melakukannya.


Dari sini bisa kita simpulkan, sekaligus menjawab dua pertanyaan awal. Pelaksanaan adzan dan iqamah dalam keadaan berhadas itu makruh. Namun, hukum kemakruhan ini tidak sampai berefek ke keabsahan keduanya. Wallahu A’lam.


*Mahasantri Ma'had Aly Annur II Al-Murtadho Malang


Keislaman Terbaru