• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 1 Mei 2024

Keislaman

Antara Flexing dan Menceritakan Nikmat Allah

Antara Flexing dan Menceritakan Nikmat Allah
Surat Ad-Duha, ayat 11 (Foto:NOJ/tafsiralquran)
Surat Ad-Duha, ayat 11 (Foto:NOJ/tafsiralquran)

Nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia sangat beragam dan banyak. Hanya saja manusia sering alpa untuk mensyukuri nikmat tersebut, atau bisa jadi, cara syukurnya tidak sesuai dengan arahan syariat.


Dalam surat An-Nahl, 18 disebutkan:


وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ


Artinya: Jika engkau menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan, bahwa manusia tidak akan pernah mampu menghitung semua nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Meskipun demikian, Allah tetap mengampuni dan menyayangi hambaNya.


Jika secara jujur kita memahami ayat ini, maka sesungguhnya manusia kerap merasa tidak cukup atas nikmat yang telah Allah berikan, sehingga yang muncul adalah selalu merasa tidak puas. Padahal Allah mengingatkan:


وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ


Artinya: Adapun dengan nikmat Tuhanmu, maka hendaklah menyebutnya dengan bersyukur (Adduha:11)


Terkait dengan ayat ini,  Imam Mujahid menafsirkan: 


وقال مجاهد : يعني النبوة التي أعطاك ربك . وفي رواية عنه : القرآن


Artinya: Mujahid berkata, maksud nikmat itu adalah kenabian (nubuwwah) yang Allah berikan kepadamu (Muhammad), sedangkan dalam riwayat lain, Al-Quran.


Muhammad ibnu Ishaq berkomentar terkait makna ayat ini, bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu (Nabi Muhammad) berupa nikmat, kemuliaan dan kenabian, hendaklah engkau menyebut-nyebutnya dan ceritakanlah kepada orang-orang yang telah beliau percayai dari kalangan keluarganya secara diam-diam. Lalu diwajibkan ibadah salat kepadanya, maka beliau mengerjakannya (menceritakan kepada keluarga).


Persoalannya, sebagian masyarakat memahami “fahaddis” sebagai ajang pembenaran untuk flexing (pamer). Lantas bagaimana tahaddus binnikmah yang ideal?


Seperti diketahui bersama, ayat di atas ditujukan kepada Nabi Muhammad agar menceritakan nikmat kenabian (nubuwah), namun jika dipahami dalam konteks masyarakat kekinian, maka menceritakan nikmat yang berisi amal kebaikan kepada orang lain itu diperbolehkan selama tidak ada unsur bahaya bagi dirinya maupun orang lain.


Dikatakan bahaya bagi dirinya, sebab dengan menceritakan nikmat dapat memicu pamer (flexing) dalam dirinya. Sedangkan bahaya bagi orang lain, sebab dapat menimbulkan kedengkian orang lain atas nikmat yang ia dapatkan. Apalagi nikmat yang bersifat materi.


Dari sini, dapat ditarik benang merah, menceritakan nikmat kepada orang lain mempunyai dua sisi mata uang; menyebabkan pamer, menimbulkan iri orang lain. Solusi yang ideal adalah: 


1.    Menceritakan nikmat itu secukupnya saja


2.    Diwujudkan dalam bentuk berbagi, misalkan jika nikmat itu berupa kesuksesan, maka, ajarkan tips untuk sukses kepada orang lain


3.    Tidak menceritakan di hadapan orang yang memang terindikasi mudah iri dengki


4.    Menceritakan nikmat itu tidak hanya berupa ucapan saja, akan tetapi bisa direalisasikan dengan aksi berbuat baik kepada orang lain.


Editor:

Keislaman Terbaru