• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 28 Maret 2024

Keislaman

Cuaca Dingin, Bolehkah Mencicil Mandi Besar?

Cuaca Dingin, Bolehkah Mencicil Mandi Besar?
Ilustrasi mandi besar (Foto:NOJ/lintaside)
Ilustrasi mandi besar (Foto:NOJ/lintaside)

Mandi besar dilakukan oleh setiap muslim yang sedang dalam keadaan hadats besar. Mandi ini diwajibkan bagi mereka yang telah junub, berhubungan badan, haid dan nifas. Mandi besar dilakukan untuk menyucikan diri agar bisa kembali beribadah sesuai syariat Islam.


Dalam salah satu kebiasaan yang ada di masyarakat, seseorang yang dalam keadaan hadats di malam hari karena dinginnya cuaca lalu enggan mandi wajib pada saat itu apakah diperbolehkan?


Kata al-muwalah didefinisikan oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh sebagai berikut:


الموالاة أو الولاء: هي متابعة أفعال الوضوء بحيث لا يقع بينها ما يعد فاصلا في العرف، أو هي المتابعة بغسل الأعضاء قبل جفاف السابق، مع الاعتدال مزاجا وزمانا ومكانا ومناخا


Artinya: al-muwalah atau al-wala’ adalah beriringannya membasuh anggota wudhu sekiranya di antara anggota tersebut tidak terjadi pemisah secara kebiasaan (urf). Al-muwalah dapat juga diartikan beriringannya membasuh anggota tubuh sebelum keringnya anggota yang sebelumnya telah dibasuh, beserta keadaan, waktu, tempat dan iklim yang normal (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 1, hal. 385). 


Sedangkan dalam mencicil mandi, tidak ada proses al-muwalah karena tidak beriringan dan tentu basuhannya telah mengering. Menyikapi al-muwalah ini, ulama terdahulu telah merinci hukumnya dalam lintas mazhab.


Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, disebutkan para ulama berbeda pendapat menghukumi al-muwalah ini:


 اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الْمُوَالاَةِ هَل هِيَ مِنْ فَرَائِضِ الْغُسْل أَوْ مِنْ سُنَنِهِ؟ فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى سُنِّيَّةِ الْمُوَالاَةِ فِي غَسْل جَمِيعِ أَجْزَاءِ الْبَدَنِ لِفِعْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَنَصَّ الْحَنَابِلَةُ عَلَى أَنَّهُ إِذَا فَاتَتِ الْمُوَالاَةُ قَبْل إِتْمَامِ الْغُسْل، بِأَنْ جَفَّ مَا غَسَلَهُ مِنْ بَدَنِهِ بِزَمَنٍ مُعْتَدِلٍ وَأَرَادَ أَنْ يُتِمَّ غُسْلَهُ - جَدَّدَ لإِتْمَامِهِ نِيَّةً وُجُوبًا، لاِنْقِطَاعِ النِّيَّةِ بِفَوَاتِ الْمُوَالاَةِ، فَيَقَعُ غَسْل مَا بَقِيَ بِدُونِ نِيَّةٍ. وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْمُوَالاَةَ مِنْ فَرَائِضِ الْغُسْل 


Artinya: Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai beriringan (al-muwalah) apakah merupakan bagian dari kewajiban mandi atau kesunnahan mandi? Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpandangan tentang kesunnahan al-muwalah dalam membasuh seluruh anggota badan, berdasarkan apa yang dilakukan Nabi Muhammad.
 

Ulama Hanabilah menegaskan bahwa ketika al-muwalah tidak dilaksanakan oleh seseorang sebelum sempurnanya basuhan mandi, sekiranya anggota yang dibasuh menjadi kering sebab adanya jarak waktu yang normal dan ia ingin menyempurnakan basuhannya, maka ia wajib memperbarui niatnya pada saat menyempurnakan basuhannya, sebab terputusnya niat dengan tidak beriringan (al-muwalah), maka basuhan yang masih tersisa dianggap terlaksana tanpa adanya niat. Sedangkan menurut mazhab Maliki, al-muwalah merupakan kewajiban mandi (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 31, hal. 210).


Redaksi di atas menjelaskan al-muwalah dalam mandi besar berstatus sunnah kecuali dalam mazhab Maliki yang menghukumi wajib. Dalam kesunnahan ini, ulama mazhab Syafi'i berpatokan terhadap praktek al-muwalah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.


أَنَّ ابْنَ عُمَرَ تَوَضَّأَ فِي السُّوقِ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ بَعْدَ مَا جَفَّ وُضُوءُهُ وَصَلَّى 


Artinya: Ibnu Umar berwudhu di pasar, ia membasuh dua tangan, wajah dan kedua lengannya sebanyak tiga kali, lalu masuk ke masjid dan mengusap dua selopnya setelah wudhu’nya kering, lalu ia shalat (HR. Baihaqi). 


Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan di atas  maka dapat disimpulkan bahwasanya mencicil mandi besar hukumnya diperbolehkan, karena al-muwalah dalam mandi besar bukanlah suatu kewajiban melainkan sunnah. Oleh karenanya boleh saja seseorang membasuh sebagian dari anggota badannya pada malam hari asalkan disempurnakan keesokan hari ketika akan melakukan ibadah shalat subuh.


Meski demikian, sebaiknya batas basuhan awal yang telah diniati sebagai mandi besar itu ditandai agar tidak ada anggota tubuh yang tidak terbasuh oleh air pada saat menyempurnakan basuhan kedua karena basuhan awal sudah mengering. Jika seseorang ragu-ragu apakah bagian anggota tubuh telah dibasuh pada saat basuhan awal atau belum dibasuh, maka wajib untuk membasuh anggota tersebut.


Keislaman Terbaru