• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 17 April 2024

Keislaman

Hukum Berhape saat Khutbah Jumat Berlangsung

Hukum Berhape saat Khutbah Jumat Berlangsung
Jamaah asyik berhape saat khutbah berlangsung. (Foto: NOJ/KLe)
Jamaah asyik berhape saat khutbah berlangsung. (Foto: NOJ/KLe)

Hal yang kerap disaksikan saat pelaksanaan Jumat adalah sejumlah jamaah yang lebih asyik dengan smartphone, gawai atau hape. Padahal khutbah Jumat sedang berlangsung. Bagaimana hukum jamaah yang berperilaku seperti ini?

 

Jumat merupakan sayyidul ayyam atau penghulu hari. Jumat memiliki keutamaan luar biasa. Oleh karena itu, ibadah shalat Jumat merupakan sesuatu keistimewaan tersendiri di antara ibadah lainnya, terlebih lagi setelah adzan kedua Jumat.

 

Dengan mempertimbangkan sakralitas itu, kita dianjurkan untuk menjaga suasana khidmat ibadah Jumat mulai dari adzan pertama hingga shalat dua rakaat Jumat selesai. Dalam konteks khutbah Jumat, kita dianjurkan untuk berdiam dan tidak melakukan gerakan-gerakan tubuh yang tidak perlu.

 

Masalah ini disbutkan antara lain oleh Syekh Abdullah Bafadhal Al-Hadhrami berikut ini:

 

 الإنصات في الخطبة بترك الكلام والذكر للسامع وبترك الكلام دون الذكر لغيره

 

Artinya: (Dianjurkan untuk) diam ketika khutbah Jumat berlangsung dengan menahan diri dari bicara dan zikir bagi orang yang mendengar khutbah. Sementara mereka yang tidak mendengar khutbah dianjurkan untuk menahan diri dari bicara, tetapi tidak untuk dzikir. (lihat Syekh Abdullah Bafadhal al-Hadhrami, Al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, [Beirut: Darul Fikr, 2012 M/1433-1434 H], juz II, halaman 336).

 

 

Syekh Said Ba’asyin dalam mensyarahkan Al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah membagi dua macam jamaah Jumat, pertama orang yang memungkinkan untuk mendengar apa yang disampaikan khatib. Kedua, orang yang tidak dimungkinkan oleh kondisi tertentu untuk mendengar khatbah. Perlakuan hukum terhadap kedua macam orang ini berbeda sebagai keterangan Syekh Said Ba’asyin dalam Busyral Karim berikut ini:

 

وبترك الكلام دون الذكر لغيره) أي لغير السامع لنحو بعد بل يشتغل بقراءة أو ذكر سرا بحيث لا يشوش على أحد بخلاف الكلام فمكروه. وإن لم يسمع خلافا لقول قديم عندنا كالأئمة الثلاثة: بتحريمه لخبر الصحيحين"إذا قلت لصاحبك يوم الجمعة أنصت –والإمام يخطب– فقد لغوت." وإنما لم يحرم لأنه صلى الله عليه وسلم لم ينكر على من كلمه وهو يخطب، لم يبين له وجوب السكوت. والأمر في الآية للندب، ومعنى لغوت: تركت الأدب جمعا بين الأدلة. ولا يكره الكلام لمن أبيح له قطعا كالخطيب، وقبل الخطبة أو بعدها أو بينهما أو حال الدعاء للملوك وداخل لم يستقر في مكانه ولو لغير حاجة.

 

Artinya: (Sementara mereka yang tidak mendengar khutbah) misalnya karena jauh [dari pusat suara] (dianjurkan untuk menahan diri dari bicara, tetapi tidak untuk dzikir). Mereka yang tidak mendengar ini seyogianya menyibukkan diri dengan baca Al-Qur’an dan zikir secara perlahan (sirr) sekira tidak mengganggu konsentrasi orang lain. Tetapi bicara bagi mereka tetap makruh sekalipun mereka tidak mendengar khutbah, beda hukum dengan pendapat lama (qaul qadim) kami seperti tiga imam mujtahid lainnya yang mengharamkan bicara berdasar sabda Rasulullah dalam riwayat Bukhari-Muslim: Jika kau berkata kepada seseorang, ‘diamlah’ ketika imam menyampaikan khutbah, maka sia-sia kau. Bicara saja tidak haram karena Rasulullah SAW tidak mengingkari orang yang berbicara ketika beliau khutbah, tidak menjelaskan kewajiban diam. Perintah pada ayat itu dipahami sebagai perintah sunah. Pengertian ‘sia-sia kau’ adalah ‘kau menyalahi adab’ karena menghimpun sejumlah dalil terkait. Bicara bagi orang yang dibolehkan secara pasti yaitu khatib tidaklah makruh. Demikian pula sebelum khutbah, sesudah khutbah, saat jeda antara kedua khutbah, ketika mendoakan penguasa, dan orang di dalam yang tidak konstan di tempatnya meski tanpa hajat. (lihat Syekh Said Muhammad Ba’asyin, Busyral Karim, [Beirut: Darul Fikr, 2012 M/1433-1434 H], juz II, halaman 336-337).

 

Lalu bagaimana dengan jamaah Jumat yang membuka hape ketika khutbah berlangsung? Hape android tentu belum ada di zaman Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah pernah mengingatkan agar umat Islam untuk tidak melakukan gerakan-gerakan yang membuat nilai ibadah Jumatnya sia-sia.

 

Berikut ini kami kutip penjelasan Abu Ja’far At-Thahawi Al-Hanafi:

 

 وَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ أَنَّ نَزْعَ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ مَكْرُوهٌ ، وَأَنَّ مَسَّهُ الْحَصَى وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ مَكْرُوهٌ ، وَأَنَّ قَوْلَهُ لِصَاحِبِهِ (أَنْصِتْ) وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ مَكْرُوهٌ أَيْضًا... وَلَقَدْ تَوَاتَرَتْ الرِّوَايَاتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنَّ (مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَقَدْ لَغَا).

 

Artinya: Ulama sepakat bahwa mencabut pakaian saat imam menyampaikan khutbah, memainkan batu kerikil saat imam menyampaikan khutbah, dan berkata kepada orang lain ‘diamlah’ saat imam menyampaikan khutbah adalah makruh... Hadits Rasulullah SAW ‘Siapa saja yang mengingatkan orang lain dengan ‘Diamlah’ saat imam menyampaikan khutbah Jumat, maka sia-sialah ia,’ diriwayatkan secara mutawatir, (lihat Abu Ja’far At-Thahawi Al-Hanafi, Syarah Ma’anil Atsar, [Alamul Kutub, 1994 M/1414 H], cetakan pertama, juz I, halaman 366-367).

 

Dari keterangan, kita dapat menarik simpulan bahwa khutbah Jumat meskipun di luar ibadah shalat merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisahkan begitu saja dari ibadah Jumat. Dalam pada itu kita perlu menahan diri dari nafsu untuk selalu membuka hape. Adalah benar kalau hape tidak pernah lepas lebih dari satu jam dalam kehidupan kita sekarang ini. Tetapi khusus untuk khutbah Jumat, kita perlu melepaskannya sementara. Kalau kita selalu was-was dan dibayang-bayangi untuk tergerak membuka hape, kita bisa membaca doa pengusir rasa was-was atau doa tertentu agar Allah meredam keinginan kita untuk menyentuh hape. Lain soal dengan khotib yang membaca teks digital khutbahnya di hape android. Ini tentu dibolehkan.


Editor:

Keislaman Terbaru