• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Keislaman

Ingin Berkah? Cobalah Makan Bersama seperti Anjuran Nabi

Ingin Berkah? Cobalah Makan Bersama seperti Anjuran Nabi
Tentara di Papua makan bersama warga. (Foto: NOJ/PE)
Tentara di Papua makan bersama warga. (Foto: NOJ/PE)

Mayoran adalah istilah yang digunakan oleh para santri untuk menunjukkan satu kegiatan makan bersama dalam satu wadah besar. Wadah itu bisa berupa pelepah daun pisang, dapat juga dengan nampan atau baki. Nampan atau baki merupakan salah satu wadah yang biasa digunakan untuk menyajikan makanan atau minuman, biasanya terbuat dari kayu, plastik, logam, atau bahan lainnya.

 

Adapun bentuknya bisa bulat, atau persegi. Jika persegi kadang ada yang bertelinga di sisi kanan dan kiri sebagai pegangan tangan. Sebagian masyarakat menyebut nampan sebagai talam, dulang atau tapsi. Karena itulah mayoran di sebagian pesantren disebut dengan istilah nampanan atau tapsinan. Yakni makan bersama-sama dengan satu nampan atau tapsi sebagai piring besarnya.

 

Pada dasarnya mayoran merupakan ekspresi rasa syukur kepada Allah atas nikmatnya yang tidak pernah putus. Mayoran oleh para santri adalah momen spesial yang sengaja diadakan untuk merayakan sebuah keberhasilan. Seperti ketika khatam dari satu pengajian kitab tertentu, atau hatam al-Qur'an, atau lulus ujian kitab, atau sekedar bersyukur atas nikmat sehat dan berkumpul bersama sahabat dan teman. Tentang menu masakan sangatlah variatif, tergantung kesepakatan bersama. Tidak harus mewah, tetapi tidak boleh meninggalkan sambal yang pedas dan harus disajikan dalam keadaan panas.

  

Konsep makan bersama dalam satu piring besar ini tidak hanya ada di pesantren, tetapi juga hidup dilingkungan masyarakat Arab. Bahkan di beberapa restoran Arab menyediakan model hidangan nampanan seperti ini. Tentunya dengan menu yang juga khas arab dengan nasi kebuli kambing atau nasi mandhi, nasi kabsah dan lain sebagainya.

 

Tradisi makan bersama dengan banyak tangan dalam satu piring besar ini sesungguhnya merupakan ajaran Rasulullah. Dalam sebuah hadits yang datang dari sahabat Wahsyi bin Harb dan diriwayatkan oleh Abu Dawud disebutkan:

 عن وحشي بن حرب رضي الله عنه أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا: يا رسول الله إنا نأكل ولا نشبع ؟ قال: فلعلكم تفترقون قالوا: نعم قال فاجتمعوا على طعامكم واذكروا اسم الله يبارك لكم فيه رواه أبو داود

 

Artinya: Bahwasannya para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: (Mengapa) kita makan tetapi tidak kenyang? Rasulullah balik bertanya: Apakah kalian makan sendiri-sendiri? Mereka menjawab: Ya (kami makan sendiri-sendiri). Rasulullah pun menjawab: Makanlah kalian bersama-sama dan bacalah basmalah, maka Allah akan memberikan berkah kepada kalian semua. (HR Abu Dawud)

 

Demikianlah anjuran Rasulullah dipegang teguh oleh para sahabat dan keluarganya. Hingga kini habaib dan kiai di pesantren yang tidak mau makan sehingga datang satu teman untuk makan bersama. Karena makan sendirian bagi mereka adalah sebuah aib yang harus dihindarkan sebagaimana Rasulullah tidak pernah melakukannya.

وقال أنس رضى الله عنه كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يأكل وحده وقال صلى الله عليه وسلم خير الطعام ماكثرت عليه الأيدى

 

Artinya: Sahabat Anas RA berkata bahwasannya Rasulullah SAW tidak pernah makan sendirian. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa sebaik-baik makanan adalah yang dimakan banyak tangan.

 

Artinya keberkahan sebuah makanan juga berhubungan dengan seberapa banyak orang yang ikut menikmatinya, semakin banyak tangan semakin berkah. Inilah kemudian yang oleh para santri dijadikan sebagai pedoman selalu makan dengan konsep mayoran.

 

Satu nampan banyak tangan merupakan pelajaran yang berharga. Pelajaran membangun karakter kebersamaan dan egaliterian dalam pesantren. Satu nasib satu sepenanggungan satu rasa satu masakan. Tidak ada beda pembagian antara mereka yang memberi banyak atau sedikit, antara pemilik beras atau pemilik nampan, antara yang masak nasi dan yang menunggu tungku. Semua makan bersama-sama dalam waktu dan ruang yang sama. Hal ini juga menjadi latihan praktis untuk menghindarkan para santri dari sifat kikir dan bakhil.

 

Inilah yang di kemudian hari menjadi salah satu bahan pengawet kerukunan antar mereka. Perbedaan prinsip, pendapat dan pendapatan tidak akan mampu menggoyahkan rasa kekeluargaan antara mereka. Karena makan satu nampan dengan banyak tangan terlalu kokoh untuk sekadar menghadapi perbedaan prinsip dan pilihan.

 

Untuk mengenang kembali masa-masa di pesantren, dan untuk memperoleh banyak berkah tradisi makan bersama dalam satu nampan masih dipertahankan. Di beberapa daerah mayoran selalu dilaksanakan ketika memperingati hari-hari besar Islam, terutama setelah acara membaca maulid atau setelah shalat id.


Keislaman Terbaru