Oleh: Asyraf Arif*
Fakta keberagaman sudah pasti tidak dapat dipungkiri. Menafikan keberagaman agama, teori-teori ilmu yang bertebaran, keberpihakan yang begitu variatif serta pola pikir masyarakat majemuk berarti tidak iman akan takdir Allah. Karena Allah sendiri yang menghendaki makhluk di bumi ini menjadi makhluk yang beragam, multikultural, plural, dan seterusnya.
Allah SWT berfirman;
وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ يُّضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَلَتُسْـَٔلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Artinya: Dan jika Allah berhendak, nicaya Dia menjadikan kamu satu umat saja, tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan kamu pasti akan ditanya apa yang telah kamu kerjakan. (QS. an-Nahl; 93).
Sesungguhnya ada banyak ayat-ayat qur’ani yang berbicara soal isu keberagaman seperti; ad-Dariyat; 49, an-Nahl; 13, dan al-An’am; 141. Selain ayat dalam Al-Quran, Allah juga menyajikan ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui alam semesta). Kita menyaksikan makhluk berpasang-pasangan dan tidak satu versi, beda bentuk dan seterusnya. Keberagaman indonesia juga termasuk dari kehendak dan takdir dari Yang Maha Pencipta dan konsekuensinya umat Islam harus mengimaninya.
Maqashid syariah adalah salah satu pisau analisis untuk membaca tujuan di balik ajaran Islam. Dengan mengenal maqashid, manusia dirancang agar menjadi hamba yang tidak hanya menjalankan ajaran-ajaran agama belaka, tetapi lebih dari itu mereka bersemangat, punya rasa ingin taat, bahkan memiliki hasrat kuat untuk selalu berbuat baik beserta mengabdi pada Allah. Kesadaran seperti itu akan terkonstruksi setelah mengenal tujuan-tujuan di balik produk-produk-Nya tidak terkecuali isu keberagaman.
Secara gamblang maqashid syariah ialah:
إِنَّ مَقَاصِدَ الشَّرِيْعَةِ هِيَ الْغَايَاتِ الَّتِيْ وَضَعَتِ الشَّرِيْعَةُ لِاَجْلِ تَحْقِيْقِهَا لِمَصْلَحَةِ الْعِبَادِ
Artinya: Sesungguhnya Maqashid Syariah adalah ragam tujuan atau maksud Tuhan dalam menformulasi syariat demi memberikan kemaslahatan pada hamba-Nya. (Ahmad ar-Raisuny, Nadhoriyyah al-Maqoshid ‘Inda al-Imam as-Syathiby, 1995, cet; 4, hlm; 19)
Lalu apa tujuan serta makna luhur yang terkandung di balik layar keberagaman Indonesia? Sesungguhnya bila direnungkan akan banyak, namun menurut hemat penulis, minimal 5 tujuan berikut sudah cukup mewakili:
Pertama, tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Andaikan semua manusia memiliki kemampuan, pengetahuan, dan derajat yang sepadan bahkan diasumsikan semua aspeknya sama, tentu urgensi sikap tolong-menolong akan sirna. Perbedaan kapasitas dan seterusnya secara tabiat menghendaki timbulnya rasa butuh pada makhluk lain, berdialog, bahkan melakukan kontrak sosial. Pengertian semacam ini dikuatkan oleh firman Allah surat. az-Zukhruf; 32.
اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّاۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
Ar-Raghib al-Asbahani menginterpretasi ayat ini bahwa keragaman merupakan indikator lahirnya perkumpulan, kesepakatan, dan persatuan. (Kitab az-Dzari’ah ila Makarim as-Syariah, hlm; 266.) Sayyid Qutb mengatakan: umat manusia dalam pandangan Islam adalah satu kesatuan yang secara parsial berbeda dan pemikiran serta mazhabnya juga berwarna, ini dimaksud agar terwujud interaksi sosial dan karakter tolong-menolong yang berujung pada persatuan. (al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam, hlm; 32.)
Meski terkadang sebagian orang benci pada yang lain karena berbeda pandangan atau lainnya tidak berarti dia boleh berbuat dzalim pada orang lain. Allah memerintahkan agar saling membantu dalam kebajikan meski berbeda sebagaimana amanat surat al-Maidah ayat 2.
Kedua, saling mengenal budaya dan peradaban. At-Ta’aruf atau saling mengenal adalah sebuah keniscayaan yang dilegitimasi oleh Allah sejak awal penciptaannya. Pemahaman demikian sudah sangat jelas dalam firman Allah Alquran surat al-Hujurat; 13.
Sedangkan yang dimaksud at-Ta’aruf pada ayat sebelumnya, yakni saling transfer pengetahuan, informasi dan pengalaman antara individul dan dialog pemikiran disertai transaksi peradaban antar umat manusia demi tercapainya keberlangsungan hidup, kebahagiaan dan kersejahteraan bersama. Bukan dipahami hanya berkumpul untuk menyampaikan pendapat belaka tanpa ada diskusi dan kritik antara peradaban yang membawa nilai-nilai humanisme, prinsip-prinsip hidup, dan keistimewaan setiap orang atau kelompok baik yang bersifat materi maupun inmateri. (Muhammad as-Shodiqi al-Umari, Syariyyah al-Ikhtilaf al-Insany; al-Ushul at-Takwiniyah wa al-Maqashid as-Syariah, hlm; 41-58)
Menurut Imam as-Suyuthi seseorang tidak bisa mandiri untuk memenuhi segala kebutuhannya tetapi harus minta tolong pada sesama. Dan sikap seperti itu tidak akan pernah terbentuk tanpa saling mengenal antara kedua belah pihak. (al-Muzhir fi ‘Ulum al-Lughoh wa an-Wa’uha, juz; 1, hlm; 38.) Pendapat ini selaras dengan Abdullah as-Sa’di yang menegaskan bahwa membantu sesama akan tercipta begitu baik dikala mereka mengenal satu sama lain.
Ketiga, menguji umat manusia. Abu Zahrah mengungkapkan bahwa ujian atau cobaan itu bukan di surga, melainkan di bumi yang menjadi tempat dari segala ujian yang bergerumul antara kebaikan dan keburukan, tumpang tindih antar kebenaran dan kebatilan, selain itu juga merupakan ladang Iblis menampakkan permusuhan kepada Adam berikut keturunannya. (Zahrah at-Tafasir, juz; 1, hlm; 24)
Sudah jelas dalam berbagai ayat qur’ani maupun ayat kauniyah bahwa Allah menciptakan makluk berpasangan seperti laki-laki dan perempuan, gelap dan terang, siang dan malam, baik dan buruk. Artinya keberagaman adalah keinginan-Nya yang harus kita akui.
Dengan ini pula akan terlihat siapa yang beriman serta siapa yang kafir. Bebepara ayat sudah bebicara terkait ujian sebagai konsekuensi adanya dualisme tersebut misal al-Anbiya’; 35, Muhammad; 31, lalu al-Imron; 141. Oleh sebab itu, salah satu alasan terkuat adanya keberagaman universal pada setiap mahluk dari Yang Maha Bijaksana ialah tercipta secara berpasangan.
Keempat, terbimbing menuju imam yang benar. Allah berjanji pada manusia untuk menyingkap rahasia-rahasia alam semesta dan rahasia dalam diri mereka sampai tampak keimanan yang benar setelah merenungkan unsur-unsur alam yang beragam. Dan Al-Quran surat Fusshilat ayat 53 sudah memaparkan tentang ini.
Kelima, terbimbing untuk memahami subtansi keberagaman. Syekh Izzuddin bin Abdissalam menafsiri surat ar-Ra’du ayat 4 yang menjelaskan di bumi terdapat mahluk yang berdampingan seperti kebun dan tanaman bahwa ini sebagai perumpamaan bagi anak cucu Adam yang sesungguhnya asal-muasal mereka sama, hanya kemudian berbeda dalam kebaikan, keburukan, iman dan kufur sebagaimana tanaman yang disiram dengan satu aliran air. (Tafsir Alquran, Ikhitshor An-Nukat wa Al-‘Uyun li al-Mawardijus; 2, hlm; 144)
Terakhir, dengan mengutip maqolah Ahmad Raisuni sangat tepat dijadikan pedoman setelah mengenal Maqashid keberagaman:
مَنْ عَرَفَ مَا قُصِدَ هَانَ عَلَيْهِ مَا وُجِدَ
Artinya: Orang yang tahu dimensi esoteris maka mudah baginya dimensi eksoteris. (Ahmad ar-Raisuni, al-Fikr al-Maqashidi, hlm; 115.)
Pakar Ilmu Maqashid ini mensyarahi maqalah di atas begini: Maksud dari pernyataan ini bahwa mukallaf atau orang yang dituntun untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, lalu dia mengetahui tujuan atau maksud di balik tuntutan tersebut tentu hatinya akan tentram, legowo, menerima dan termotivasi untuk merealisasikannya serta tidak peduli bahkan sampai tidak merasa apakah mendapat kesusahan, keberatan atau kesukaran.
Sudah jelas keberagaman adalah realitas bukan kriminalitas. Bagi mereka yang tahu rahasia-rahasia di dalamnya akan menyadari bahwa kemajemukan merupakan rahmat bukan problem harus disingkirkan. Maqashid membantu kita menjadi lebih cerdas dalam menyikapi persoalan keberagaman dan lebih toleran.
*Alumni Ma’had Aly Situbondo