Dewasa ini sistem demokrasi telah merambah luas ke seluruh dunia dan secara sukarela atau tidak, diterima oleh sebagian besar negara- negara di dunia. Demokrasi telah menjadi agenda utama dunia, yang dimotori oleh barat. Istilah demokrasi secara singkat diistilahkan dengan kekuasaan atau pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Artinya dalam konsep demokrasi rakyatlah yang memegang kendali keputusan atau kekuasaan.
Dalam praktiknya sistem demokrasi tidak selalu membawa kemaslahatan akan tetapi juga memgecewakan rakyat, karena pemimpin atau wakil rakyat yang dipilih melalui sistem demokrasi tidaklah amanah. Lantas bagaimana pandangan syara' terkait sistem demokrasi yang sudah berjalan ini?
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan),
liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.
Dalam buku Agama, Demokrasi dan Keadilan disebutkan bahwa, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi, serta adanya elemen-elemen pokok demokrasi yang bisa disamakan dalam perspektif Islam seperti: as-syura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah.
Salah satu prinsip yang ada dalam demokrasi adalah musyawarah atau dalam Islam diistilahkan sebagai as- Syura. As-Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Seperti yang disebut dalam QS. As-Syura: 38:
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۚ
Artinya : "(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka."
Akan tetapi, konsep syura mendasarkan keputusannya pada koridor syariah, sementara demokrasi merujuk kepada keputusan mayoritas tanpa menyeleksi kapabilitas kemampuannya dalam memutuskan. Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Qadhaya al-Fiqh wa al-Fikr al-Ma'ashir menjelaskan,
في الجُمْلَةِ أَنَّ السَّيَاسَةَ فِي الدِّيمِقْرَاطِيَّةِ الْغَرْبِيَّةِ هِيَ لِلْأُمَّةِ مُطْلَقًا, وَفِي الْإِسْلَامِ هِيَ لِلشَّرِيعَةِ وَالْأُمَّةِ مَعًا، وَهَذَا لَا يَعْنِي أَنَّ الْإِمَامَ الْحَاكِمُ فِي الْإِسْلَامِ يَحْكُمُ بِمَا كَانَ مَعْرُوفًا فِي الْغَرْبِ بِمُقْتَضَى حَقَّ التَّفْوِيضِ الْإِلَهِيَّ الْمُقَدَّسِ وَإِنَّمَا يَحْكُمُ بِإِرَادَةِ الْأُمَّةِ الَّتِي بَايَعَتْهُ وَلَهَا حَقٌّ مَرَاتِبَتِهِ وَعَزْلِهِ إِنْ خَالَفَ أَحْكَامَ الشَّرِيعَةِ أَوْ خَانَ مَصَالِحَ الْأُمَّةِ أَوْ هَدَّدَ كَيَّانَ الدَّوْلَةِ بِالضَّيَاعِ وَالْخُسْرَانِ وَالزَّوَالِ
"Sungguh politik dalam Demokrasi Barat adalah bagi umat secara mutlak, sementara dalam Islam ialah untuk syariat bersama umat. Ini tidak bermaksud Imam yang berkuasa dalam Islam menghukumi dengan hukum yang dikenal di Barat dengan tuntutan hak pemasrahan yang bersifat ketuhanan yang disucikan, akan tetapi ia menghukumi dengan kehendak umat yang membaiatnya. Umat memiliki hak untuk mengkritiknya dan memakzulkannya jika ia memang menentang hukum- hukum syari'at, mengkhianati kemaslahatan umat, atau mengancam eksistensi negara dengan menyia-nyiakan, merugikan, dan menghilangkan kekuatannya," (Qadhaya al-Fiqh wa al-Fikr al-Ma'ashir li ad-Duktur Wahbah az-Zuhaili, 516-517).
Meskipun berbeda dasar pengambilan keputusan antara prinsip syura dalam Islam dengan sistem demokrasi, tidak menjadikan keduanya bertolak belakang, karena jika ada hukum yang sesuai dengan teks Al-Qur'an dan Sunnah atau sejalan dengan prinsip-prinsip umum syariah serta semangat perundang-undangannya, maka wajib mematuhinya dan pantas bagi siapa saja yang melanggarnya untuk mendapatkan hukuman. Dalam Tasyri’ al-Jinai karangan Abdul Qodir Audah dijelaskan sebagai berikut,
إذا القوانين واللوائح متفقة على نصوص القرآن والسنة أو متمسية مع مبادئ الشريعة العامة وروحها التشريعية وجبت الطاعة لها وحقت العقوبة على من خالفها أما إذا جاءت القوانين واللوائح خارجة على نصوص القرآن والسنة أو خارجة على مبادئ الشريعة العامة وروحها التشريعية فهى قوانين ولوائح باطلة بطلانا مطلقة وليس لأحد أن يطيعها بل على كل مسلم أن يحاربها وسيبين فيما يلى أسباب هذا البطلان بعد أن نتكلم عن نظرية البطلان ذاتها
"Jika hukum dan peraturan sesuai dengan teks Al-Qur'an dan Sunnah atau sejalan dengan prinsip-prinsip umum syariat serta semangat perundang-undangannya, maka wajib mematuhinya dan pantas bagi siapa saja yang melanggarnya untuk mendapatkan hukuman. Namun, jika hukum dan peraturan bertentangan dengan teks Al-Qur'an dan Sunnah atau bertentangan dengan prinsip-prinsip umum syariah dan semangat perundang-undangannya, maka hukum dan peraturan tersebut batal secara mutlak dan tidak boleh ada yang menaatinya. Sebaliknya, setiap Muslim wajib menentangnya. Alasan-alasan kebatalan ini akan dijelaskan lebih lanjut setelah kita membahas tentang teori kebatalan itu sendiri."
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa, suatu hukum dan peraturan itu harus sejalan dengan prinsip umum syariat, dan tentunya berdasarkan maslahat umat. Karena menyerasikan hukum-hukum syariat Islam dalam hukum suatu negara tidak menjadi syarat untuk menilai sebuah negara sebagai negara Islam, seperti penjelasan dalam kitab Al-Jihad fi al-Islam, 81:
يُلَاحِظُ مِنْ مَعْرِفَةِ هَذِهِ الْأَحْكَامِ أَنَّ تَطْبِيقَ أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ لَيْسَ شَرْحًا لِاعْتِبَارِ الدَّارِ دَارِ الْإِسْلَامَ وَلَكِنَّهُ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِ دَارِ الْإِسْلَامِ فِي أَعْنَاقِ الْمُسْلِمِينَ. فَإِذَا قَصَّرَ الْمُسْلِمُوْنَ فِي إِجْرَاءِ الْأَحْكَامِ الْإِسْلَامِيَّةِ عَلَى اخْتِلَافِهَا فِي دَارِهِمْ الَّتِي أَوْرَثَهُمُ اللَّهُ إِيَّاهَا فَإِنَّ هَذَا التَّقْصِيرَ لَا يُخْرِجُهَا عَنْ كَوْنِهَا دَارَ الْإِسْلَامِ وَلَكِنَّهُ يَحْمِلُ الْمُقَصِّرِينَ ذُنُوبًا وَأَوْزَارًا
"Melihat pengertian hukum-hukum ini, sungguh menyerasikan hukum- hukum syariat Islam tidak menjadi syarat untuk menilai sebuah negara sebagai negara Islam, akan tetapi hal itu menjadi bagian dari hak-hak negara Islam dalam tubuh umat Islam. Bila warga muslim gegabah dalam memberlakukan hukum-hukum Islam tidak sesuai dengan hak itu di negara mereka yang diwariskan oleh Allah kepada mereka, maka sungguh keteledoran ini tidak mengeluarkan negara dari status negara Islam, akan tetapi orang-orang yang gegabah tadi menanggung beban dan dosa."
Dapat ditarik kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa dalam Islam tidak mengenal prinsip demokrasi, dan prinsip dasar pijakan Islam ialah maslahat ummat. Jika sistem demokrasi dapat memberi maslahat umat maka dapat diakui dan diakomodir, dan jika tidak memberi maslahat umat maka prinsip demokrasi tertolak.