• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Refleksi Pesta Demokrasi: Menyelami Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz

Refleksi Pesta Demokrasi: Menyelami Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz
Ilustrasi pesta demokrasi. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi pesta demokrasi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Muhammad Nurravi Alamsyah *)

 

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi asas demokrasi, Indonesia akan dihadapkan dengan tahun politik dalam pancawarsa sekali. Tahun politik (baca: pemilu) merupakan ajang representatif demokratis dalam domain politik kenegaraan. Hegemoni orkestrasi politik di tahun itu akan besar di tengah lapisan sosial. Masyarakat akan turut menyemarakkan pesta demokrasi. Fenomena seperti itu merupakan sesuatu yang lazim dan integral dalam aspek kenegaraan.

 

Secara normatif, pesta demokrasi adalah wujud implementatif akan hak kedaulatan rakyat. Hal ini sesuai atas apa yang tertuang dalam UUD Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan bahwa: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Adapun interpretasi frasa "kedaulatan berada di tangan rakyat”, dalam penjelasan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, adalah; bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Yang mana akan menjalankan fungsi berupa pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak dalam menjalankan fungsi masing-masing.

 

Dalam konteks keagamaan, melegitimasi sosok pemimpin (Naṣb al-Imām) adalah sebuah instruksi yang sifatnya kolektif (baca: Farḍ al-Kifāyah). Hal ini menimbang, bahwa urgensi adanya pemimpin yang legal adalah dalam rangka menciptakan pengayoman dan sebagai peredam konflik perselisihan. Sebab, tanpa pemimpin, masyarakat akan lalim dengan animonya masing-masing. Dengan demikian, turut serta suksesi dalam pesta demokrasi adalah sebuah keharusan. (Imām Shawkānī, Nayl al-Awţār, vol. 8, hal. 265)

 

Dalam aspek aksiologis, pemilu merupakan sistem yang inheren dengan maqāṣid al-sharī’ah. Dalam domain maqāṣid, pemilu berperan aktif dalam rangka hifẓ al-ummah untuk menjamin eksisnya lima hal: hifẓ al-dîn, hifẓ al-nafs, hifẓ al-‘aql, hifẓ al-‘irḍ, dan hifẓ al-māl. Dengan demikian, urgensi pesta demokrasi di tahun politik secara teoritis maupun praksis sangat esensial, sebab eksistensinya merupakan wujud kontinuitas atas stabilitas pemerintah yang berkaitan dengan aspek primordial negara dalam berbagai bidang, seperti keamanan, politik, budaya, sosial, hukum, dan sebagainya.

 

Sketsa Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz
Berbicara tentang pemimpin, salah satu periodisasi Islam pasca era khulafā’ al-rashīdin yang turut mewarnai sakralitas peradaban Islam di tengah dinamika yang fluktuatif adalah Umar bin Abdul Aziz. Pasalnya, kedaulatan Umar merupakan kurun gemilang yang paling berhasil dalam menakhodai kapal pemerintahan Dinasti Umayyah pada masa itu. Fakta empiris menyebut, hal itu tidak luput dari dedikasi Umar yang mengelaborasi serumpun intelektual, spiritual, maupun moral sebagai landasan fundamental selaku mandataris negara. Dalam rekam sejarah, sepak terjang Umar telah terkupas secara komprehensif serta terdiseminasi dengan rapi di berbagai magnum opus oleh para sejarawan. Adapun fragmen penting kehidupan Umar bin Abdul Aziz dalam suksesi kepemimpinannya ialah sebagai berikut:

 

Pertama, pemimpin yang peduli terhadap rakyat. Umar bin Abdul Aziz merupakan satu dari deretan khalifah Dinasti Umayyah yang popular dengan kegemilangan kerjanya. Umar juga disebut dengan titel Umar Śani dan al-Farūq II. Hal ini karena ia tidak jauh berbeda dengan cicitnya, Umar bin Khattab Ra., sosok khalifah ketiga yang terkenal peka dan peduli terhadap kondisi dan situasi lapisan masyarakat, khususnya kaum proletar. Sifat penyayang terhadap masyarakat dan karakter lain dari Umar bin Khattab Ra. telah menurun pada gen kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.

 

Konon, suatu saat Fatimah binti Abdul Malik mendatangi suaminya yang sedang bersimpuh dan berpangku tangan di tempat shalatnya. Saat itu, air mata Umar bin Abdul Aziz mengucur deras di kedua pipinya. Lalu Fatimah bertanya: “Apa yang terjadi padamu, Suamiku?”. Lantas Umar menjawab: “Celakalah! Aku sekarang telah dinobatkan menjadi pemimpin umat Islam. Aku memikirkan bagaimana kondisi kaum fakir yang kelaparan, pasien yang terlantar, kaum proletar yang berjuang keras, anak-anak yatim yang putus harapan, janda-duda sebatang kara yang berjuang sendiri, orang-orang yang terdiskriminasi, keluarga besar yang ekonominya tidak mencukupi, dan problem-problem sejenis yang ada di sudut negara ini. Sementara aku yakin, bahwa Tuhanku akan memintai pertanggungjawaban atas kinerjaku pada mereka kelak di hari kiamat. Sementara apa yang aku hadapi selain urusan mereka adalah Nabi Muhammad SAW. Maka aku sangat khawatir, kelak aku tidak dapat menyampaikan alasanku padanya tentang kesejahteraan umat. Aku sangat kasihan pada diriku, sehingga aku menangis.” (Ibnu Kaṡīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, vol. 12, hal. 686)

 

Kedua, pemimpin yang anti korupsi. Umar bin Abdul Aziz adalah sosok pemimpin yang asketik. Umar sangat jauh dari kehidupan dengan prototipe flamboyan atau hedon. Hal ini dapat dilihat bagaimana Umar sangat hati-hati dalam mendistribusikan dan mengoperasikan fasilitas milik negara. Dengan prinsip seperti ini, Umar merupakan pemimpin yang anti terhadap segala jenis praktik kriminal, seperti korupsi, kolusi, atau nepotisme atas kekayaan negara.

 

Kesederhanaan Umar merupakan manifesto atas ke-wirā’i-annya. Umar mampu menyeimbangkan kehidupan berbasis politik sentral dengan intelectual conscience dalam laku spiritual. Sehingga ia tidak terjerumus dalam nasfu duniawi yang berimplikasi terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Tentang kesederhanaan Umar, salah satu Ulama pernah mengungkapkan fakta sebagai berikut:

 

وكان له سراج يكتب عليه حوائجه ، وسراج لبيت المال يكتب عليه مصالح المسلمين ، لا يكتب على ضوئه لنفسه حرفا . وكان يقرأ في المصحف كل يوم أول النهار

 

Artinya: “Umar bin Abdul Aziz, di dalam kediamannya, dia hanya memiliki dua lampu, yaitu; lampu pribadi yang digunakan menulis untuk kebutuhan sehariannya; dan lampu milik negara (baitul mal) yang digunakan menulis untuk kepentingan kemaslahatan publik. Lampu ini (milik negara) tidak pernah dia gunakan untuk kepentingan pribadi sedikitpun meskipun satu huruf saja. Bahkan, demi menghemat, Umar lebih memilih waktu membaca buku setiap harinya di waktu siang.” (Ibnu Kaṡīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, vol.12, hal.686)

 

Umar bin Abdul Aziz bukanlah khalifah yang konsumtif atau glamor. Jika Umar berkehendak, dia seharusnya mampu untuk berpenampilan seperti raja pada umumnya, yaitu gaya ala borjuis. Namun faktanya, Umar tidak memilih model seperti itu.

 

Pernah suatu saat, Maslamah bin Abdul Malik menjenguk Umar saat sedang sakit. Pada saat itu, Maslamah melihat bajunya yang kotor. Tanpa pikir panjang, ia mengatakan pada saudarinya, Fatimah binti Abdul Malik, istri Umar: “Fatimah, cucilah pakaian Amir al-Mu’minin”. Fatimah menjawab: “Baik, Aku akan segera mencucinya Insyaallah.” Selang beberapa waktu, Maslamah kembali menjenguk untuk Umar di kediamannya. Dan pada saat itu, dia kembali melihat baju Umar masih dalam keadaan yang sama (kotor). Melihat hal itu, Maslamah menanyakan kembali pada Fatimah: “Fatimah, bukankah aku menyuruhmu untuk mencuci pakaian Amir al-Mu’minin? Orang-orang akan mengunjunginya nanti”. Lantas Fatimah menjawab: “Demi Allah, dia tidak memiliki pakaian selain itu.” (Al-Aṣbahāny, Ḥilyah al-Awliyā’ wa Tabaqāt al-Aṣfiyā’, vol. 5, hal. 259)

 

Ketiga, pemimpin yang adil. Selain berwatak jujur dan sederhana, Umar bin Abdul Aziz merupakan pemimpin yang adil. Sebagai khalifah, Umar memberikan hak-hak kepada masyarakat secara proporsional, tanpa diferensiasi status privilege antara golongan satu dengan lainnya. Tentu faktor inilah yang menjadi piranti kuat sebagai modal kinerja Umar dalam kepemimpinan Dinasti Umayyah menuju periode emas. Di masa jabatan Umar sebagai khalifah, ia senantiasa menerapkan prinsip korektif dan kuratif atas apa yang ada pada dirinya, sebelum apa yang ada pada rakyatnya. Umar memprioritaskan untuk menata dirinya sendiri sebelum menata rakyatnya. Dengan manajemen pemerintahan seperti itu, rakyat dapat merasakan hidup dengan tentram, harmonis, sejahtera, dan merasakan keamanan dalam bersosial. Bahkan, setting faktual seperti itu tidak hanya dirasakan oleh manusia saja, melainkan juga dirasakan binatang.

 

Inspirasi Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz
Era imperium Umar bin Abdul Aziz merupakan masa kejayaan Islam yang pernah terdokumentasi dalam rekaman sejarah peradaban. Konsistensi Umar dalam menempatkan keadilan dan kebijaksanaan setinggi-tingginya telah menyematkan pesan inspiratif kepada seluruh umat manusia sebagai pemimpin. Instrumen keadilan inilah yang sejatinya harus senantiasa terejawantahkan secara komplit oleh setiap pemimpin. Tentang standar pemimpin yang adil, Hasan al-Bashri pernah melayangkan secarik pesan kepada Umar, sebagai berikut:

 

اعلم أن الله جعل الإمام العادل قوام كل مائل، وقصد كل جائر، وصلاح كل فاسد، وقوة كل ضعيف، ونصفة كل مظلوم، والإمام العدل يا أمير المؤمنين كالراعي الشفيق على إبله، الرفيق الذي يرتاد  لها أطيب المرعى، ويذودها عن مراتع الهلكة، ويحميها من السباع، ويكنفها من أذى الحر والقر، والإمام العدل يا أمير المؤمنين كالأب الحاني على ولده، يسعى لهم صغارا، ويعلمهم كبارا، والإمام العدل يا أمير المؤمنين كالأم الشفيقة، البرة الرفيقة بولدها، حملته كرها، ووضعته كرها، وربته طفلا، وتسكن بسكونه، ترضعه تارة، وتفطمه أخرى، وتفرح بعافيته، وتغتم بشاكيته

 

“Ketahuilah! bahwasanya Allah menjadikan Pemimpin yang adil itu selaku penegak bagi setiap yang menyeleweng, petunjuk bagi setiap yang lalim, perbaikan bagi siapapun yang perusak, kekuatan setiap orang yang lemah.

 

Pemimpin yang adil, wahai Amirul Mukminin, itu ibarat seorang penggembala yang penyayang terhadap untanya, ibarat sahabat yang mencarikan padang rumput terbaik bagi mereka, melindungi mereka dari padang rumput yang merusak, melindungi mereka dari binatang buas, dan melindungi mereka dari bahaya dan kekeringan.

 

Pemimpin yang adil, wahai Amirul Mukminin, itu ibarat seorang ayah, yang penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya; dia mengasuh ketika belia dan mendidik hingga mereka tua.

 

Pemimpin yang adil, wahai Amirul Mukminin, ibarat seorang ibu yang penuh kasih sayang dan baik hati terhadap anaknya; dia menggendongnya dengan penuh cinta; melahirkannya dengan penuh rasa. Dia membesarkannya ketika masih kecil; memberikan rasa tentram dengan ketenangan hatinya; menimang, menyusui dan menyapihnya pada waktu tertent; bersukacita atas kesehatannya; dan bersedih atas keluh kesahnya.” (Aḥmad Zakkī, Jamharah Khutab al-‘Arab Fī ‘Ūsūr al-‘Arabiyyah al-Zāhrihah, vol.2, hal.95-96)

 

Berdemokrasi dengan Bijak
Sejarah monumental tentang kedaulatan Umar bin Abdul Aziz sudah semestinya menjadi referensi masif bagi pemimpin saat ini. Artinya, bahwa pemimpin bukan hanya tentang ambisius dalam melaksanakan visi-misi, melainkan bagaimana sosok pemimpin mampu menjadi garda terdepan yang akuntabel dan proaktif dalam memprioritaskan serta menjamin keamanan, kesejahteraan, dan keadilan bagi entitas masyarakat. Inilah pemimpin yang ideal; tidak hanya mengandalkan modal dukungan atas propaganda politik identitas, melainkan karena murni atas dasar intelektual dan elektabilitas; dan tidak hanya pandai beretorika secara teoritis, namun juga dapat mengaplikasikan secara holistis.

 

Sebagai warga negara yang menjunjung asas demokratis, adalah perlu untuk turut andil dalam menyemarakkan jalannya pesta demokrasi. Yang goalnya bisa jadi dalam rangka remediasi, revitalisasi atau reorientasi terhadap sistem kenegaraan yang perlu untuk disegarkan. Merepresentasikan demokrasi dalam hak pilih tentu tidak boleh dengan sembrono dan ceroboh. Melainkan harus dengan langkah intensif dan presisif.

 

Secara etis, dalam memilih pemimpin, pemilih tidak boleh menggunakan hak pilih atas dasar intervensi eksternal dengan alasan apapun. Apalagi memilih karena faktor tebal-tipisnya amplop money politic. Pasalnya, menggunakan hak pilih adalah suatu bukti kejujuran dalam berdemokrasi; bahwa masyarakat betul-betul melihat calon pemimpin adalah sosok yang memiliki kapabilitas dan integritas yang mumpuni dan layak menjadi mandataris kepala negara. Bukan hanya tenar karena dekengan partai politik atau gelar akademik. Alhasil, memilih pemimpin harus benar-benar menggunakan premis-premis aposteriori yang kuat berdasarkan data dan fakta yang akurat.

 

Berjalannya sistem sistem politik yang mapan, kualitas hak pilih seorang tentu akan ditentukan dengan kekuatan argumentasi yang menjadi faktor pilihan-pilihan politiknya. Memilih bukan sebatas dorongan afektif, primordial, atau bahkan asal-asalan. Lebih dari itu, menggunakan hak pilih merupakan sikap normatif berbasis kesadaran autentik nurani dan akal tentang baik atau buruknya keputusan. Artinya, menggunakan hak pilih harus berpedoman pada alasan-alasan yang telah matang dan terdidik. (Masdar Hilmy, Rasionalitas Demokrasi, Kompas.id)

 

Pada hakikatnya, misi besar yang dibidik dalam pesta demokrasi adalah senantiasa menjauhkan Indonesia dari para pemimpin yang otoriter, feodal, diktator dan tiranis. Sederhananya, paling tidak, pemimpin harus mampu mengejawantahkan spirit kriteria seperti kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, yaitu; peduli terhadap rakyat, anti korupsi, dan adil. Pun dalam menyikapi pesta demokrasi, friksi yang bergejolak pada lapisan masyarakat majemuk secara dikotomis dan konfrontatif harus berhenti dalam konteks “pendapat atau pilihan”.

 

Jangan sampai, karena berbeda pilihan dapat menimbulkan konflik satu sama lain, terlebih sampai menyebabkan disharmoni sosial dan putusnya interelasi satu sama lain. Tentu ini akan menjadi ironi sosial yang mendistorsi konsepsi berpolitik dengan bijak. Bukan menyemarakkan fungsi demokrasi dengan bijak secara simultan dan kooperatif, justru malah menimbulkan polemik baru yang berkepanjangan.

 

*) Muhammad Nurravi Alamsyah, mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung sekaligus santri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut, Tulungagung.


Opini Terbaru