• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Trilogi Nasionalisme: Negara, Agama dan Pesantren

Trilogi Nasionalisme: Negara, Agama dan Pesantren
Trilogi Nasionalisme: Negara, Agama dan Pesantren. (Foto: Istimewa)
Trilogi Nasionalisme: Negara, Agama dan Pesantren. (Foto: Istimewa)

Oleh: Muhammad Nurravi Alamsyah *)

 

Isu kenegaraan yang dikonfrontasikan dengan agama akan selalu memantik dialektika masif yang serius. Pasalnya, gejala semacam ini sedikit banyak mengakibatkan degradasi terhadap sikap nasionalisme. Sehingga akan berpotensi melahirkan bibit-bibit pemahaman radikal yang menyangsikan dan melawan dasar negara.

 

Kelompok ekstrem seperti ini senantiasa gencar untuk menebar ideologi mainstream dengan melakukan orkestrasi dogma-dogma agama untuk mengoreksi, mengkritisi, atau bahkan mengkonversi dasar negara.

 

Di Indonesia khususnya, kita telah disuguhkan fenomena atas kaum puritanis-skriptualis yang kontra atau bahkan anti terhadap legalitas Pancasila. Mereka bersikeras mendesak agar negara Indonesia bertransformasi diri menjadi Negara Islam (baca: Negara Khilafah). Kelompok itu memahami, bahwa Pancasila merupakan kreasi modern (baca: bid’ah) yang tidak pernah ada dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW Alhasil, berimplikasi bahwa nasionalisme juga merupakan sikap yang tidak tepat, karena turut serta mendukung kontinuitas formasi kenegaraan yang tidak mencerminkan syariat.

 

Bukan hanya itu, kelompok itu juga tidak segan-segan secara intens mengampanyekan narasi agama sebagai landasan argumentatif, yang secara literal memiliki makna; siapa pun yang tidak menetapkan dan menjalankan hukum atas hukum Allah (yaitu; Al-Qur’an dan Hadis) maka termasuk golongan kafir, zalim, dan fasik. Inilah pelbagai doktrin mainstream yang terus mereka dengungkan agar Indonesia menjadi Negara Islam yang mengusung hukum Allah (baca: Al-Qur’an dan Hadis) secara total.

 

Propaganda tentang topik bahwa ‘Nasionalisme dan Pancasila bukan ajaran Islam’ merupakan concern besar atas stabilitas negara yang secepatnya harus direstorasi. Mindset seperti ini pada asalnya lahir atas pemahaman terhadap teks-teks agama secara dangkal dan parsial. Sehingga, hasil analisis yang didapat tidak terbentuk secara holistik dan komperehensif, melainkan pemahaman yang kaku dan rigid.

 

Munculnya paradigma seperti ini akan mendekonstruksi sendi-sendi bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Imbasnya, masyarakat Islam —khususnya golongan awam— akan terhasut terhadap doktrin-doktrin tersebut dan terpolarisasi secara dikotomis. Pun dengan non-Islam, mereka akan menganggap bahwa Islam adalah agama yang kejam dan bengis, karena sikap fanatisme mereka yang salah dalam mengartikan term fikih klasik —seperti jihad, negara khilafah— dengan aksi teror dan sarkasme. Inilah asal muasal fenomena stigmatisasi terhadap Islam atau Islamphobia, di mana Islam tidak lagi dipandang sebagai agama yang sakral dan ramah, melainkan agama yang profan.

 

Epistemologi Nasionalisme dan Pancasila dalam Agama
Pada hakikatnya, negara dan agama adalah dua pilar yang saling bersinergi satu sama lain. Keduanya tercipta relasi resiprokal-mutualisme untuk merealisasikan misi berupa kesejahteraan masyarakat beragama dalam suatu negara.

 

Nasionalisme merupakan peran fundamental yang seharusnya diejawantahkan bagi seluruh warga negara secara kolektif dan kooperatif. Eksistensi nasionalisme berperan sebagai interkoneksi antar warga dan negara untuk tersulamnya mitra saling membahu satu sama lain.

 

Dalam tataran praksis, nasionalisme dapat dimanifestasikan melalui terwujudnya rasa cinta dan bangga terhadap stempel negara. Yakni melalui mendedikasikan jati diri untuk menjaga integritas negara. Dalam epistemologi Islam, nasionalisme tidak salah bila dikatakan sebagai jelmaan adagium familier Ḥubbul Waṭan, yang secara definitif disampaikan oleh Yusuf al-Qardawi (w. 2022M):

 

كان حب الوطن و الحنين اليه فطرة بشرية يشترك فيها الناس عامة مؤمنهم وكافرهم غربهم و عجمهم ابيضهم اسودهم

 

“Cinta Tanah Air adalah fitrah setiap manusia, yang dimiliki bersama oleh seluruh entitas penduduk Tanah Air; baik golongan beriman, non-Islam, warga Arab, warga Ajam (non-Arab), golongan kulit hitam ataupun golongan kulit putih.”

 

Secara pokok, nasionalisme bukanlah produk Barat murni yang paradoks dengan asas-asas Islam. Hal ini dapat dibuktikan secara genealogis, dalam potret sejarah Nabi Muhammad SAW telah menanamkan sikap nasionalisme pada dirinya.

 

Kendati terminologi nasionalisme saat itu berbeda dengan konteks modern ini. Konon, Nabi Muhammad SAW sangat mencintai tanah kelahirannya, yaitu Makkah. Hal ini terbukti saat Nabi Muhammad SAW dideportasi oleh kaum kafir Quraish dari Makkah, sehingga membuat Nabi Muhammad SAW bergelimang duka karena harus angkat kaki dari tanah kelahiran yang sangat dicintai. Ungkapan duka dari Nabi Muhammad SAW ini tersaji dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmizi (w. 892M):

 

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ ‌مَا ‌خَرَجْتُ

 

“Demi Allah, engkau (Makkah) adalah negara terbaiknya Allah dan negara yang paling dicintai Allah. Seandainya aku tidak diusir, maka aku tidak akan pergi.”

 

Atas insiden ini, Nabi Muhammad SAW menetapkan pilihan untuk singgah dan menetap di Kota Madinah. Pasca eksodusi Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, dalam kurun waktu yang panjang, Nabi Muhammad SAW tetap menjaga asa untuk melancarkan ekspansi ajaran Islam di Madinah.

 

Seiring berjalannya waktu, nabi telah mendapat rasa nyaman terhadap Kota Madinah. Hingga pada suatu saat nabi berdoa agar diberikan rasa cinta Tanah Air (baca: Nasionalisme) pada Madinah sebagaimana cinta Nabi Muhammad SAW terhadap Makkah. Doa Nabi Muhammad SAW tertuang dalam Hadis riwayat Imam Bukhāri (w. 870M):

 

‌اللَّهُمَّ ‌حَبِّبْ ‌إِلَيْنَا ‌المَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

 

“Ya Allah. Anugerahkan cinta padaku kepada Madinah sebagaimana Engkau anugerahkan cintaku kepada Mekkah atau bahkan lebih dari itu.”

 

Dua dalil transendental di atas merupakan referensi konkret, bahwa selain kiprah Nabi Muhammad SAW sebagai mandataris pionir syariat, Nabi SAW adalah sosok kepala negara yang merepresentasikan figur nasionalis.

 

Kisah Nabi Muhammad SAW secara implisit merupakan dasar epistemologis bahwa nasionalisme merupakan sikap primordial yang harus ditanamkan pada setiap jiwa warga negara secara optimal. Pasalnya, National Citizenship yang diajarkan Nabi Muhammad SAW merupakan solusi terbaik untuk meng-akur-kan antara negara dan agama yang kerap dibenturkan di era modern ini. Hal ini seperti pernyataan ‘Ali Jum’ah:

 

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم رسخ لأسس المواطنة، وهي الحل الأمثل في العصر الحديث

 

“Sungguh Rasulullah SAW telah menanamkan prinsip-prinsip national citizenship, di mana hal ini adalah solusi terbaik di era modern ini.”

 

Secara historis, berdirinya Indonesia tidaklah luput dari aksi heroik para patriot yang berjibaku demi sebuah kemerdekaan. Tidak pandang bulu, baik Islam atau non-Islam, kulit putih atau hitam, kalangan borjuis atau proletar, semuanya menyatu padu secara impersonal, berjuang seiya-sekata untuk kemerdekaan Indonesia.

 

Hingga pada finalnya, para founding fathers memilih resolusi yang paling tepat dan relevan untuk merumuskan pedoman dasar suatu negara, sebagai wadah untuk mempersatukan keberagaman warga tanpa garis disparitas, yaitu Pancasila.

 

Pancasila merupakan perjanjian sakral yang telah dilegislasi oleh formatur negara secara elaboratif, sistematis, dan presisif. Dalam Islam, Pancasila dapat diterjemahkan sebagai produk musyarawah dengan asas kontrak (baca: konsensus) yang diamini oleh seluruh warga negara. Dengan demikian, eksistensi Pancasila sesuai dengan Firman Allah SWT, QS. Al-Isrā’ (17): 34.

 

Begitu juga dengan Pancasila, dengan segala harkat di dalamnya ia merupakan representasi juang sebagai falsafah gentlemen agreement untuk menjaga keutuhan negara. Pancasila dianggap sebagai penyelesaian terbaik untuk mengharmonikan setiap jenis perbedaan di Indonesia, meliputi agama, etnis, suku, dan budaya.

 

Selain itu, jika kita lebih menyelami sejarah Islam terkait eksistensi Pancasila saat ini, maka kita akan menemukan preseden dasar negara yang mirip dengan Pancasila, yaitu Sahifah al-Madinah (Piagam Madinah). Konstitusi formal Madinah merupakan refleksi nasionalisme yang digagas Nabi Muhammad SAW untuk meredam konflik internal di Madinah.

 

Dengan wujud piagam ini, Nabi Muhammad SAW berupaya merangkul dan menyatukan seluruh entitas penduduk Madinah yang pluralistik tanpa harus mendiferensiasi hak-hak yang bersifat esensial, seperti agama, suku, dan budaya.

 

Nabi Muhammad SAW telah memprakarsai konstitusi ini sebagai kontrak sosial di tengah keberagaman Madinah menjadi satu kedaulatan. Nabi Muhammad SAW juga tidak memberikan status privilese terhadap kaum Islam atas non-Islam atau sebaliknya dalam konteks kenegaraan.

 

Beberapa butir pasal dalam diktum tersebut juga menjadi bukti bahwa Konstitusi Madinah merupakan diplomasi Nabi Muhammad SAW yang dilembagakan menjadi ideologi negara terbaik bagi Madinah saat itu, yaitu dengan menempatkan komunitas-komunitas dengan asas ekuivalen tanpa memberikan strata inferior atau superior.

 

Secara implisit, proses perumusan dekret Piagam Madinah memiliki nilai simetris dengan semangat bhineka tunggal ika di Indonesia. Dalam Konstitusi Madinah, Nabi Muhammad SAW tidak pernah memaksa untuk memadukan keberagaman menjadi negara yang monokrom. Nabi Muhammad SAW telah memberikan ruang bagi seluruh penduduk Madinah untuk berdampingan secara harmonis, humanis, dan menegasikan segala bentuk diskriminatif.

 

Jika konsepsi tersebut aktualisasikan pada negara Indonesia, maka ada titik kesamaan yang kuat, bahwa Madinah dan Indonesia adalah dua negara yang sama-sama sangat mustahil untuk dijadikan satu warna (baca: Negara Islam). Sebab dua negara tersebut sama-sama lahir dengan sosio-kultural yang heterogen. Mengingat kembali bahwa kemerdekaan Indonesia juga tidak hanya direnggut oleh satu agama saja, melainkan prinsip kerja komplementer dari berbagai agama, suku, dan ras.

 

Dengan demikian, memaksakan desain negara Indonesia menjadi Negara Islam justru akan mendiskreditkan kaum non-Islam. Secara mekanis, proses manifestasi Pancasila bukanlah hasil apriori semata. Namun, ide ini telah menjadi blue print secara mapan dan matang bahwa legitimasi Pancasila akan membawa Indonesia pada negara yang dapat meniadakan segala bentuk hegemonisne, otoriterisme, dan tiranisme seorang pemimpin.

 

Selain itu, hadirnya Pancasila juga menjadi tanggul untuk meminimalisir ketimpangan sosial yang berkaibat pada kemaslahatan publik. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih:

 

تصرف الامام على الراعية منوط بالمصلحة

 

“Kebijakan pemimpin haruslah mengacu pada kemaslahatan.”

 

Formasi Indonesia dalam Tinjauan Maqasidi
Proses legislasi hukum dalam suatu negara harus mempertimbangkan kemaslahatan publik yang universal (baca: Maqāṣid al-Sharī’ah). Adanya format negara tidak boleh menimbulkan riskan dan kegaduhan dahsyat yang berdampak pada publik.

 

Sejatinya, Nabi Muhammad SAW tidak memberikan konstruksi imperatif atas suatu negara beserta regulasinya. Secara prinsip, Nabi Muhammad SAW telah memberikan clue yang preskriptif, bahwa format suatu negara adalah wasīlah (perantara), sedangkan maqāṣid-nya adalah terealisasinya kesejahteraan, kebebasan, kedamaian, dan keadilan bagi seluruh warga negara.

 

Menyoal tentang dilematis akan positivisasi Hukum Pidana Indonesia, kelompok ekstrem juga bersiteguh untuk merevitalisasi Hukum Pidana Indonesia terhadap ajaran Al-Qur’an dan sabda Nabi SAW, seperti ḥudūd dan qiṣāṣ secara total. Padahal, formalisasi hukum Pidana Islam (baca: Fiqh al-Jināyah) di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia tidak semudah itu. Bahkan dapat dikatakan, bahwa mengoperasikan Hukum Pidana Islam di Indonesia secara total adalah suatu hal yang mustahil.

 

Penerapan Hukum Pidana Islam dalam kronik sejarah pada realitanya tidak selamanya dipraktikkan secara absolut. Tentang ketidakbakuan Hukum Pidana Islam dalam suatu negara sendiri pernah terjadi saat Nabi SAW melarang potong tangan saat kontak senjata dimulai, atau Nabi SAW yang menangguhkan ḥadd al-qaẓf pada Abdullah bin Ubay saat menuduh Aisyah Ra dan Umar bin Khattab RA yang menangguhkan hadd sarīqah berupa potong tangan tatkala musim paceklik tiba.

 

Atas insiden ini, para pemikir hukum Islam kontemporer memahami, bahwa ratio legis dalam pelembagaan Hukum Pidana adalah dari sisi aspek zawājir bukan aspek jawābir. Sehingga pada akhirnya konsepsi ini menjadi epistemologi hukum bagi negara-negara modern untuk menangguhkan setting Hukum Pidana maupun Perdata Islam konvensional secara total.

 

Hal ini juga menimbang, bahwa tolak ukur maslahah dan mafsadah pada setiap kebijakan negara tidak dapat dilepaskan dari prerogatif pemimpin negara. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maḥfuẓ bin Bayyah:

 

أن الإمام العدل الراعي مصالح الدنيا والدين في مقام التنزيل يجوز له أن يعلق الحد أو القصاص إذا ترتبت عليها مفسدة أعظم.

 

“Bahwa seorang pemimpin negara yang adil, yang mempertimbangkan kemaslahatan dunia dan agama dalam pengambilan kebijakan, berhak baginya unntuk menghilangkan hukuman berupa had/qishâs jika memang dalam penerapannya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar.”

 

Berkenaan dengan interelasi Maqāṣid dan Pancasila, sejatinya Pancasila dan seperangkat qanun Indonesia telah merepresentasikan nilai-nilai Maqāṣid al-Sharī’ah. Pilar itu tercermin dengan adanya jaminan kebebasan, humanisme, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Hal ini sesuai dengan reorientasi Maqāṣid al-Sharī’ah yang digagas oleh Jasser Auda, yaitu; ḥifẓ al-dīn pada menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan dalam beragama dan kepercayaan.

 

Lalu, hifz al-‘aql pada optimalisasi pengembangan intelektual dan melepas kebekuan taqlīd; hifz al-‘irḍi pada perlindungan harkat dan martabat manusia, dan menjaga hak- hak asasi manusia (HAM). Kemudian, ḥifẓ al-māl pada kepedulian dan kepekaan sosial, pengembangan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan manusia, dan menghilangkan perbedaan antar kelas sosial-ekonomi.

 

Reorientasi Maqāṣid al-Sharī’ah kontemporer ini tentu lebih elastis untuk diaplikasikan dalam konteks modern dan menjadi kebutuhan primer guna menghasilkan hukum yang holistik dan eklektik.

 

Pada akhirnya, Maqāṣid al-Sharī’ah tidak hanya limit pada protection (perlindungan) dan preservation (pelestarian), namun lebih terhadap development (pengembangan) dan right (kebebasan).

 

Pesantren sebagai Jalan Tengah
Pondok pesantren sebagai full residential boarding school adalah basis sentral untuk eskalasi moral, sosial, dan spiritual yang ideal. Tidak hanya menempa santri dalam bidang intelektual, pesantren juga proaktif dalam membangun dan memupuksuburkan jiwa nasionalisme.

 

Pesantren tidak hanya mencetak santri-santri tulen berfigur religius, namun juga melahirkan santri yang berideologi nasionalis yang militan. Hal ini dapat dilihat secara de facto, bahwa sebagian besar founding father yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia adalah jebolan dari pondok pesantren. Ini adalah salah satu bentuk central figure (uswah al-ḥasanah) atas Ulama dan Kiai yang terus disematkan pada jiwa santri, agar para santri turut menapaktilasi perjuangan Ulama dan Kiai dengan menanamkan sikap nasionalisme.

 

Dalam rangka affirmatif, Kiai selalu mengatakan bahwa “Nasionalisme merupakan bagian dari iman” atau dalam versi Islamnya “Ḥubb al-Waṭan min al-Imān”. Epistemologi jargon yang ditanamkan pada mindset santri secara estafet merupakan interpretasi dari Maḥmūd Ḥijāzī atas QS. Al-Taubah (9): 122:

 

أن ‌حب ‌الوطن من الإيمان، وأن الدفاع عنه واجب مقدس. هذا أساس بناء الأمة، ودعامة استقلالها

 

“Cinta Tanah Air (baca: Nasionalisme) adalah sebagian dari iman. Menjaga Tanah Air adalah kewajiban yang sakral. Ini adalah asas fundamen untuk membangun persatuan Bangsa dan peranti untuk menjaga nilai kemerdekaan.”

 

Korelasi antara pesantren dengan nasionalisme memiliki sinergitas yang amat kuat. Pasalnya, nasionalisme merupakan fragmen dari term jihad yang memiliki makna universal untuk diimplementasikan sebagai proteksi agama serta negara.

 

Istilah jihad tidak tereduksi maknanya pada ruang lingkup fisik saja, seperti berperang atau bersenjata. Namun, segala upaya yang berorientasi untuk mendefensi ideologi dan kemapanan negara juga dapat dikategorikan sebagai bentuk jihad.

 

Dalam pesantren, term jihad telah dikontekstualkan dengan beragam praktik, seperti: memberantas kebodohan, membentuk jati diri yang bermoral, jujur, peka sosial, cinta damai dan toleransi. Adapun terapan aktualisasinya dalam konteks kenegaraan, moralitas adalah fondasi fundamental sebagai modal untuk menjadi pemimpin yang adil.

 

Kejujuran akan membawa setiap pribadi untuk meminimalisir praktik korupsi. peka sosial merupakan penghapus sekat kelas sosial serta menolong kelompok marginal dan cinta damai dan toleransi merupakan kiat preventif atas imperalisme berpaham radikal yang mewabah secara gradual.

 

Multikritis yang dihadapi negara saat ini tidaklah sedikit. Pasalnya, liberalisme dalam realitas empirik telah terorganisir secara sistematis yang menyasar dalam domain agama, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Ideologi ini akan menyebabkan dekandensi moral dan etis.

 

Radikalisme dalam tataran faktual akan terus berkembang. Mereka akan terus berusaha merenovasi setting kultural yang dianggap tidak autentik bersumber dari Islam. Merespon kesenjangan aktual ini, pesantren adalah ladang terkuat yang menemukan jalan tengah (moderat) untuk mendudukkan wacana agama dan negara yang acapkali dikontestasikan satu sama lain.

 

Pesantren mengajarkan, bagaimana santri terus ditempa untuk berpikir secara realistis dan moderat. Tidak hanya sebatas memakan mentah teks-teks klasik, melainkan juga memerankan spirit pilar-pilar ilahiyyah dan maqasiid yang terunifikasi satu sama lain.

 

Pesantren akan terus berperan sebagai basis kuratif atas distorsi terhadap agama dan negara. Pesantren akan terus konsisten menjadi sendi untuk menapaktilasi perjuangan Ulama dan Kiai sebagai pelindung pilar-pilar bangsa. Maka dengan ini, pesantren adalah garda terdepan yang akan terus menekan setiap santri agar tidak buta terhadap multidimensi realitas sosial.

 

Dengan demikian, pesantren akan terus melahirkan santri berjiwa patriot dan nasionalis, yang mampu menjadi problem solving atas problematika yang dialamatkan atas nama agama dan negara yang terus melanda.

 

Kesimpulan
Sudah semestinya, untuk konsisten melawan setiap wacana yang melawan prinsip kenegaraan, seluruh entitas warga negara harus proaktif menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme yang militan secara simultan. Sebagai respons atas tema Negara Islam, poin yang paling urgen untuk dipahami adalah agar tidak gegabah dalam menangkap dan memahami teks-teks agama secara parsial.

 

Membaca teks-teks agama juga tidak boleh secara serampangan begitu saja. Memang benar, wahyu memiliki kebenaran autentik secara mutlak. Hanya saja, cara membaca, memahami, dan mengaktualisasikan pada realitas yang sering terjadi miss-communication, sehingga secara substantif dalam implementasinya tidak akan dapat menghadirkan roh atas spirit teks (baca: Maqasid).

 

Misi internalisasi hukum Islam dalam suatu negara modern tidak boleh hanya mengacu secara positivistik yang saklek pada teks saja, akan tetapi juga harus disertai melek realitas dalam rangka mendialogkan teks dan konteks.

 

Selain itu, yuris hukum Islam juga harus mempertimbangkan aspek-aspek kemasalahatan sesuai faktor sosial-kulturalnya. Inilah kiat-kiat agar dapat memfermentasikan suatu produk hukum yang adaptable dan fleksible secara optimal di Indonesia.

 

Di samping itu, hadirnya pesantren di tengah alotnya dialektika ini merupakan jawaban ideal untuk meng-gugah kembali harmoni negara dan agama. Selain menjadi representasi sumber nasionalisme, pesantren akan terus menciptakan kader-kader berwawasan luas untuk menangkal doktrin-doktrin pinggiran yang berusaha merobohkan formasi Negara Indonesia. Dengan demikian, nasionalisme akan membumi secara kokoh dengan terbinanya harmoni dan sinergi antara agama, negara, dan pesantren.

 

*) Muhammad Nurravi Alamsyah, santri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien (PPHM Ngunut Pusat).


Opini Terbaru