• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Keislaman

Tidak Jadi Puasa Syawal karena Silaturahim, Bagaimana Hukumnya?

Tidak Jadi Puasa Syawal karena Silaturahim, Bagaimana Hukumnya?
Tradisi makan bersama saat lebaran memaksa untuk menunda puasa Syawal. (Foto: NOJ/BJm)
Tradisi makan bersama saat lebaran memaksa untuk menunda puasa Syawal. (Foto: NOJ/BJm)

Saat hari raya Idul Fitri, sejumlah makanan baik berat maupun ringan tersaji dengan lengkap. Hampir di setiap rumah yang dikunjungi selalu ada beragam makanan yang menggoda selera. Perasaan tidak enak dan menghargai tuan rumah menjadi alasan harus menyicipi jamuan yang disediakan.

 

Masalahnya, saat itu sebagian ada yang telah berkebulatan tekad untuk melaksanakan puasa Syawal. Bagaimana hukumnya membatalkan puasa karena menghormati kerabat dan saudara, maupun teman yang menawarkan makanan?

 

Kesunahan puasa sunnah Syawal ini didasarkan pada riwayat populer dari Rasulullah SAW:

 

   مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ 

 

Artinya: Siapa saja yang berpuasa di bulan Ramadlan kemudian menyusulnya dengan puasa enam hari dari bulan Syawal, maka seperti puasa setahun penuh. (HR Muslim).

 

 

Namun terkadang semangat berpuasa sunah bulan Syawal sedikit menemui kendala ketika berbarengan dengan silaturahim di mana tuan rumah telah menyediakan beraneka ragam hidangan sesuai tradisi lebaran di Nusantara.

 

Hendak tetap puasa sedang bertamu dan ditawari makan, mau membatalkan sangat disayangkan. Lalu sebaiknya bagaimana sikap ideal yang terbaik untuk diambil, tetap berpuasa atau membatalkannya?

 

Dalam kondisi seperti ini, menarik sekali pilihan sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunah di tengah jamuan makanan ia bersabda:

 

   يَتَكَلَّفُ لَكَ أَخُوكَ الْمُسْلِمُ وَتَقُولُ إنِّي صَائِمٌ، أَفْطِرْ ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ 

 

Artinya: Saudara muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata: Saya sedang berpuasa? Batalkanlah puasamu dan qadla-lah pada hari lain sebagai gantinya. (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

 

 

Kemudian dari sinilah para ulama merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunah karena perintah Nabi SAW dalam hadits tersebut.

 

Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa. (Lihat Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 36).

 

Dalam konteks ini Ibnu ‘Abbas RA mengatakan:

 

   مِنْ أَفْضَلِ الْحَسَنَاتِ إِكْرَامُ الْجُلَسَاءِ بِالْإِفْطَارِ

 

Artinya: Di antara kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman semajelis dengan membatalkan puasa (sunah). (Lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 14).

 

Dengan demikian kita ketahui, untuk menjalankan puasa sunah bulan Syawal saat silaturahim lebaran hendaknya diketahui, apakah tuan rumah berkeberatan atau tidak dengan puasa kita. Kalau ia tidak berkeberatan, maka kita tetap berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya.

 

Wallahu a’lam.    

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM adalah Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur.  

 


Editor:

Keislaman Terbaru